ACEHSIANA.COM – Ribuan warga Israel turun ke jalan-jalan di berbagai kota untuk menuntut pengunduran diri Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan pembebasan sandera yang masih ditahan oleh Hamas di Jalur Gaza. Aksi protes ini merupakan bentuk ketidakpuasan terhadap kebijakan pemerintah yang dianggap gagal mengakhiri perang di Gaza dan mengancam demokrasi di Israel.
Salah satu aksi protes yang paling menonjol adalah penutupan Jalan Ayalon, jalan utama di Tel Aviv, oleh sekelompok pengunjuk rasa yang membawa spanduk-spanduk bertuliskan “Bebaskan Sandera” dan “Netanyahu Mundur”. Aksi ini dilaporkan oleh saluran TV swasta Channel 12 sebagai bagian dari gerakan yang menyerukan pembubaran pemerintah yang dipimpin oleh Netanyahu.
Aksi penutupan jalan ini mendapat reaksi keras dari pihak kepolisian yang segera menangkap delapan orang yang diduga terlibat. Sementara itu, di pusat kota Tel Aviv, ribuan orang lainnya juga menggelar unjuk rasa yang menuntut pembebasan empat warga Israel yang ditahan oleh Hamas di Gaza sejak 2014. Unjuk rasa serupa juga terjadi di kota Haifa, di mana ratusan orang mengecam Netanyahu karena dianggap tidak mampu mengendalikan perang di Gaza.
Aksi-aksi protes ini terjadi di tengah eskalasi konflik antara Israel dan Hamas, yang telah menewaskan lebih dari 2.000 orang, sebagian besar warga sipil Palestina, sejak November 2023. Hamas, kelompok bersenjata yang menguasai Gaza, mengumumkan pada Sabtu bahwa mereka kehilangan kontak dengan kelompok yang menyandera empat warga Israel, dan mengaitkan negosiasi pembebasan mereka dengan penghentian perang total di Gaza. Tuntutan ini selalu ditolak oleh Israel, yang menyatakan bahwa mereka hanya bersedia melakukan jeda kemanusiaan sementara.
Sebelumnya, pada November 2023, Israel dan Hamas telah mencapai kesepakatan jeda kemanusiaan pertama, yang menghasilkan pembebasan 105 tawanan, termasuk 81 warga Israel, 23 warga negara Thailand, dan satu warga negara Filipina. Kesepakatan ini juga melibatkan pembebasan 240 tahanan Palestina oleh Israel. Namun, kesepakatan ini tidak bertahan lama, karena kedua belah pihak kembali saling menyerang dengan roket dan bom.
Para pengunjuk rasa di Israel menuduh Netanyahu sebagai penyebab utama perang yang berkepanjangan dan berdarah ini. Mereka juga mengecam rencana pemerintah untuk mereformasi sistem peradilan, yang akan memberikan kekuasaan lebih besar kepada parlemen untuk mengabaikan keputusan pengadilan tertinggi. Mereka menganggap rencana ini sebagai upaya Netanyahu untuk menghindari hukuman atas kasus korupsi yang menjeratnya.
Netanyahu, yang telah menjabat sebagai perdana menteri sejak 2009, membentuk koalisi pemerintah yang paling kanan dan nasionalis-agama dalam sejarah Israel pada Desember 2022. Koalisi ini terdiri dari partai-partai sayap kanan, termasuk yang dipimpin oleh orang-orang yang pernah divonis karena rasisme anti-Arab, homofobia, dan misogini. Ketika mengambil alih kekuasaan, pemerintah ini menyatakan hak eksklusif Yahudi atas “seluruh wilayah” tanah, termasuk wilayah Palestina yang diduduki.
Netanyahu sendiri belum memberikan tanggapan resmi terhadap aksi-aksi protes yang menuntutnya mundur. Ia hanya mengimbau para pengunjuk rasa untuk “bersikap bertanggung jawab dan tidak bertindak kekerasan”. Ia juga menegaskan bahwa ia tidak akan menyerah kepada tekanan internasional, termasuk dari Mahkamah Internasional, yang diminta oleh Afrika Selatan untuk menghentikan perang di Gaza. Ia menyebut Hamas dan “poros kejahatan” lainnya sebagai musuh yang harus dikalahkan demi keamanan Israel. (*)
Editor: Darmawan