Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

Transformative Learning, Dorong Siswa untuk Berpikir Kritis

Transformative Learning, Kunci Membangun Kesadaran dan Aksi Nyata Hadapi Perubahan Iklim

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Perubahan iklim adalah salah satu isu global yang menuntut perubahan perilaku dan pola pikir masyarakat. Namun, cara penyampaian pengetahuan tentang perubahan iklim yang selama ini bersifat naratif dan informatif ternyata tidak cukup efektif untuk meningkatkan kesadaran dan keterlibatan masyarakat dalam menangani permasalahan ini.

Hal ini disampaikan oleh Laksmi Rachmawati, peneliti Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), dalam Reading Group Reboan BRIN di Jakarta, Rabu (24/1). Menurutnya, diperlukan transformasi dalam pembelajaran atau transformative learning yang mampu mendorong pelajar untuk berpikir kritis dan mengambil aksi nyata dalam mewujudkan suatu perubahan.

“Di transformative learning yang menjadi penting adalah proses perubahan, jadi bagaimana awareness meningkat. Tentu dalam konteks ini pemuda menjadi sangat penting karena ujung tombak perubahan,” katanya.

Laksmi menjelaskan bahwa transformative learning adalah pembelajaran yang melibatkan pengalaman atau experimental serta memberi ruang untuk eksplorasi, berdialog, dan merefleksi. Dengan demikian, pelajar tidak hanya menerima pengetahuan secara pasif, tetapi juga mempertanyakan asumsi, nilai, dan pemahaman yang dimiliki terhadap suatu isu.

“Transformative learning tidak hanya memberi pemahaman melainkan juga memicu awareness hingga mampu mengubah perilaku pelajar dan masyarakat. Pengalaman itu dia masuk ke bagaimana melihat apa yang saya punya, nilai-nilai apa yang saya punya, pemahaman apa yang saya punya. Itu dipertanyakan kembali dengan konteks perubahan iklim, apa harus ada yang berubah,” katanya.

Laksmi menambahkan bahwa dialog dalam transformative learning adalah proses berdiskusi sehingga saling belajar, saling berbagi pemikiran, saling berbagi pengetahuan sehingga dapat dipahami bahwa dunia itu tidak statis. Dialog juga dapat membantu pelajar untuk mengatasi rasa takut atau apatis yang sering timbul akibat cara penyampaian pengetahuan yang naratif.

“Dialog dapat membuka ruang untuk melihat perubahan iklim dari berbagai perspektif, tidak hanya dari sudut pandang ilmiah, tetapi juga sosial, budaya, politik, ekonomi, dan sebagainya. Dialog juga dapat membangun solidaritas dan kolaborasi antara pelajar dan masyarakat untuk bersama-sama mencari solusi dan melakukan aksi nyata,” katanya.

Terakhir, Laksmi mengatakan bahwa refleksi adalah proses untuk berpikir ulang seperti aspek-aspek atau modal apa saja yang sudah dimiliki diri untuk berkontribusi terhadap perubahan lingkungan hingga akhirnya dapat melakukan aksi nyata. Refleksi dapat membantu pelajar untuk mengevaluasi hasil belajar dan tindakan yang telah dilakukan, serta merencanakan langkah-langkah selanjutnya.

“Refleksi adalah bagian penting dari transformative learning, karena tanpa refleksi, kita tidak akan tahu apakah kita sudah berubah atau tidak, apakah kita sudah berkontribusi atau tidak, apakah kita sudah mencapai tujuan atau tidak. Refleksi juga dapat meningkatkan motivasi dan komitmen pelajar untuk terus belajar dan beraksi,” katanya.

Laksmi berharap bahwa transformative learning dapat diterapkan dalam sistem pendidikan di Indonesia, khususnya dalam menghadapi isu perubahan iklim. Ia meyakini bahwa transformative learning dapat membentuk pelajar yang kritis, kreatif, kolaboratif, dan berdaya saing dalam era global.

“Transformative learning adalah kunci untuk membangun kesadaran dan aksi nyata hadapi perubahan iklim. Kita tidak bisa hanya mengandalkan pengetahuan yang sudah ada, tetapi kita harus terus belajar dan berubah sesuai dengan tantangan zaman. Kita juga tidak bisa hanya mengandalkan diri sendiri, tetapi kita harus bersama-sama dengan masyarakat untuk menciptakan dunia yang lebih baik,” katanya. (*)

Editor: Darmawan