Oleh: Abdul Hamid
Haji adalah rukun Islam kelima. Ia bukan sekadar perjalanan fisik, tapi juga perjalanan spiritual yang menyentuh dasar hati terdalam. Ibadah agung ini hanya diwajibkan bagi mereka yang mampu, baik secara fisik, finansial, maupun mental. Namun, bagi yang menjalaninya, setiap langkah dalam haji bukanlah rutinitas biasa—setiap detik adalah pelajaran, setiap malam adalah makna.
Salah satu malam yang sangat istimewa dalam ibadah haji adalah malam di Muzdalifah. Bagi sebagian orang, ini hanya tempat singgah. Tapi bagi jiwa yang sadar, Muzdalifah adalah titik perenungan. Malam itu bukan sekadar melepas lelah. Ia adalah malam pendidikan jiwa, malam kesetaraan, dan malam yang akan terus dirindukan bahkan setelah pulang ke tanah air.
Muzdalifah: Di Sini Semua Sama
Setelah wukuf di Arafah, jamaah bergerak menuju Muzdalifah. Mereka tidak menuju hotel bintang lima, bukan pula ke vila eksklusif. Tapi ke sebuah padang terbuka, beralaskan tanah, beratapkan langit. Tidak ada kasur empuk, tidak ada AC, tidak ada bantal hangat atau selimut tebal. Yang ada hanyalah bumi, dinginnya malam, dan bintang-bintang.
Di sinilah pelajaran itu hadir. Orang kaya yang biasa tidur di ranjang mahal, kini merebahkan tubuh di tanah yang sama dengan orang miskin. Di Muzdalifah, semua sekat dunia runtuh. Tidak ada gelar, tidak ada jabatan, tidak ada kasta. Yang tersisa hanya kain ihram putih dan tubuh yang lelah—dan hati yang mulai paham arti “sama di hadapan Allah”.
“Malam di Muzdalifah adalah malam di mana istana tidak berarti, kekayaan tak berguna, dan status sosial lenyap. Semua tertunduk dalam kepasrahan.”
Tidur yang Tak Biasa, Tapi Sangat Dirindukan
Ajaibnya, walau tidur di tanah keras, udara dingin, dan tanpa fasilitas mewah, banyak jamaah justru menyebutnya sebagai tidur paling nyenyak, paling damai, dan paling indah dalam hidup mereka.
Kenapa bisa begitu?
Karena tidur di Muzdalifah adalah tidur dalam dekapan langit dan kasih sayang Allah. Di tengah lautan manusia yang berselimutkan kain ihram, engkau merasa begitu kecil—namun begitu dekat dengan-Nya. Tidak ada gangguan dunia. Tidak ada notifikasi HP. Hanya ada zikir, doa, dan air mata yang jatuh diam-diam dalam sujud panjang.
Engkau akan menemukan dirimu berada di antara gelantaran putih yang menggetarkan tubuh. Lautan manusia larut dalam munajat. Suara tangis tertahan, bibir yang terus melafazkan istighfar, dan hati yang meminta ampun dalam hening. Inilah tidur yang dirindukan oleh hati-hati yang pernah mencicipi manisnya kedekatan dengan Allah.
Pelajaran dari Malam yang Membumi
Malam di Muzdalifah mengajarkan kita banyak hal, di antaranya:
1. Kesederhanaan adalah kemuliaan.
Hidup tak harus mewah untuk bahagia. Justru dalam kesederhanaan, kita belajar mengenal nikmat sejati.
2. Kesetaraan di hadapan Allah itu nyata.
Tak peduli siapa kamu di dunia, di hadapan Allah kamu hanyalah hamba. Dan di sinilah harga diri manusia diukur: bukan oleh harta, tapi oleh taqwa.
3. Kepasrahan membawa kedamaian.
Ketika semua dilepas, dan kita menyerah sepenuhnya kepada Allah, saat itulah hati menemukan kedamaian yang tak bisa dibeli oleh apapun.
4. Mengingat kematian.
Tidur di tanah, tanpa bantal dan selimut, dalam pakaian serba putih—seperti latihan menjelang kematian. Tapi justru ini menyadarkan kita akan pentingnya menyiapkan bekal akhirat.
Penutup: Rindu yang Menyentuh Langit
Malam di Muzdalifah adalah malam yang disaksikan langit. Malam yang membuat kita merasa dekat sekali dengan Allah. Malam yang menyatukan umat Islam dalam keikhlasan dan kesederhanaan. Dan siapa pun yang pernah melewatinya akan memahami: tidur di sana bukan sekadar istirahat—tapi ibadah yang begitu dalam dan menggetarkan.
“Tidur yang dirindukan… tidur yang ditulis oleh langit… tidur di Muzdalifah.”
Semoga Allah memberikan kita kesempatan untuk merasakan malam itu. Malam penuh pelajaran. Malam penuh keheningan. Malam yang membuat kita lebih manusiawi, lebih rendah hati, dan lebih dekat dengan-Nya.
Penulis adalah mantan guru SD Negeri Lae Ikan