Acehsiana.com – Beberapa waktu lalu, seorang guru mengeluhkan fenomena yang terjadi di kelasnya. “Belakangan anak-anak tidak mau memperhatikan saat guru menjelaskan,” ungkapnya dalam sebuah diskusi. Pernyataan ini memicu pertanyaan lebih lanjut tentang penyebab di balik perubahan perilaku siswa tersebut.
Ketika guru tersebut menegaskan bahwa situasi ini adalah hal yang baru, bukan sesuatu yang terjadi sejak lama, diskusi pun berlanjut. “Sebelum terjadi perubahan pada diri anak-anak, perubahan apa yang terjadi pada sekolah atau guru?” tanya fasilitator diskusi. Sang guru kemudian menjelaskan bahwa perubahan tersebut terjadi setelah pihak sekolah menerapkan pendekatan baru pasca mengikuti pelatihan tertentu.
Dalam pelatihan tersebut, sekolah diminta untuk menerapkan prosedur baru, di mana aturan kelas, termasuk sanksi dan hukuman, dirumuskan bersama oleh para siswa. Hal ini dianggap sebagai metode yang digunakan di negara-negara maju dan diadopsi dengan harapan dapat memberikan hasil yang lebih baik.
Namun, implementasi prosedur ini tidak memberikan hasil yang diharapkan. Guru-guru mulai memperhatikan bahwa anak-anak tidak memperhatikan saat proses belajar mengajar berlangsung. Ketika ditanya lebih lanjut, para guru mengakui bahwa siswa-siswa tersebut belum memiliki budaya belajar yang kuat saat merumuskan sanksi atas pelanggaran yang mereka lakukan.
Pertanyaan kunci yang diajukan adalah, “Jika anak-anak belum memiliki budaya belajar yang kuat, kira-kira sanksi yang mereka rumuskan akan mendorong mereka untuk merenungkan perbuatan mereka, atau justru membuat mereka merasa ringan melanggar aturan?” Para guru dengan cepat menyadari bahwa aturan dan sanksi yang dirumuskan siswa cenderung tidak efektif. Mereka mengakui bahwa anak-anak lebih memilih sanksi yang ringan sehingga pelanggaran aturan tidak lagi dianggap serius.
Dari diskusi ini, jelas bahwa masalah utama berasal dari penerapan pendekatan yang terbukti sukses di negara lain tanpa mempertimbangkan kondisi lokal, terutama budaya belajar siswa. Meskipun metode tersebut berhasil di negara-negara maju, di mana siswa sudah memiliki tanggung jawab dan disiplin yang tinggi, penerapannya di sekolah-sekolah lokal yang belum memiliki budaya belajar kuat justru menimbulkan masalah.
Banyak yang setuju bahwa pengambilan pendekatan dari luar negeri harus disertai dengan adaptasi dan pertimbangan terhadap kondisi yang berlaku di dalam negeri. Memaksakan pendekatan yang sama tanpa memperhatikan konteks dan faktor-faktor lokal hanya akan menghasilkan hasil yang berlawanan. Di sinilah pentingnya pemahaman terhadap dinamika sosial dan budaya sekolah setempat sebelum menerapkan perubahan besar dalam metode pengajaran.
Kasus ini juga menyoroti pentingnya membangun budaya belajar yang kuat terlebih dahulu sebelum memberi kebebasan penuh kepada siswa untuk menentukan aturan dan sanksi. Jika kebebasan diberikan tanpa fondasi disiplin yang kokoh, “merdeka belajar” bisa saja berubah makna menjadi “merdeka untuk tidak belajar sama sekali.”
Pembelajaran dari Pengalaman:
Pendekatan inovatif dalam dunia pendidikan perlu dilakukan dengan hati-hati. Keberhasilan di negara lain tidak bisa serta-merta diadopsi tanpa memperhatikan faktor budaya, kesiapan siswa, serta lingkungan belajar di sekolah-sekolah lokal. Merdeka belajar seharusnya memberikan ruang untuk berkembang di atas standar, bukan sebaliknya, memberikan kebebasan tanpa tanggung jawab yang jelas.