Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

Macron Tolak Tunjuk PM dari Sayap Kiri, Picu Krisis Pemerintahan

Macron Tolak Tunjuk PM dari Sayap Kiri, Picu Krisis Pemerintahan

ACEHSIANA.COM, Paris – Ketegangan politik kembali melanda Prancis setelah Presiden Emmanuel Macron menolak untuk menunjuk Perdana Menteri (PM) dari koalisi sayap kiri yang memenangkan kursi parlemen terbanyak dalam pemilihan bulan lalu.

Keputusan Macron memicu protes keras dari pihak oposisi, khususnya aliansi kiri yang mengklaim kemenangan dalam pemilu legislatif tersebut.

Mengutip The Guardian, Istana Élysée menyatakan bahwa pemerintahan Macron telah melakukan diskusi dengan sejumlah partai sayap kiri pada Jumat (23/8)malam lalu untuk mencari solusi atas situasi politik yang menantang ini. Namun, perundingan itu gagal mencapai kesepakatan yang dapat diimplementasikan.

“Pemerintahan yang dibentuk oleh aliansi sayap kiri Front Populer Baru (NFP), yang terdiri dari Prancis Tak Terkalahkan (LFI), Partai Sosialis (PS), Partai Hijau (EELV), dan Partai Komunis (PCF), akan menyebabkan mosi tidak percaya dan runtuhnya pemerintahan,” jelas Macron saat memberikan alasan atas keputusannya, Senin (26/8).

Menurut Macron, pemerintahan yang dipimpin oleh NFP akan segera mendapat perlawanan dari mayoritas lebih dari 350 anggota parlemen yang menentangnya.

Kondisi ini, lanjutnya, akan membuat pemerintahan tersebut tidak bisa berfungsi secara efektif.

“Stabilitas kelembagaan negara kita harus diutamakan, dan opsi seperti itu tidak boleh dilakukan,” tambah Macron.

Untuk merespons kebuntuan politik ini, Macron mengumumkan akan menggelar putaran konsultasi baru dengan para pemimpin partai dan politisi veteran yang akan dimulai pada hari Selasa (27/8).

Ia menekankan bahwa pihaknya bertanggung jawab untuk memastikan agar negara tetap berjalan dengan baik tanpa terhalang oleh kekacauan politik.

“Dalam masa yang belum pernah terjadi sebelumnya di Republik Kelima ini, ketika harapan rakyat Prancis begitu tinggi, kepala negara menyerukan kepada semua pemimpin politik untuk menunjukkan semangat tanggung jawab dan kebijaksanaan,” ujar Macron.

Keputusan Macron tersebut mendapat kecaman keras dari partai-partai kiri. Front Populer Baru (NFP) yang merasa berhak memimpin pemerintahan menolak untuk berpartisipasi dalam perundingan lebih lanjut kecuali pembicaraan tersebut membahas pembentukan pemerintahan yang dipimpin oleh sayap kiri.

“Presiden republik tidak mengakui hasil dari hak pilih universal yang menempatkan Front Populer Baru di puncak jajak pendapat,” kata Presiden LFI, Jean-Luc Mélenchon, dengan nada tegas.

NFP sebenarnya telah mengajukan Lucie Castets, seorang ekonom berusia 37 tahun dan direktur urusan keuangan di Balai Kota Paris, sebagai calon mereka untuk posisi Perdana Menteri.

Mélenchon menekankan bahwa Macron harus menghormati demokrasi dengan melantik Castets atau akan menghadapi mosi pemakzulan.

“Ia menolak mengangkat Lucie Castets sebagai PM. Berdasarkan kondisi ini, mosi pemakzulan akan diajukan oleh anggota parlemen LFI. Setiap usulan untuk PM selain Lucie Castets akan dikenai mosi kecaman,” tambah Mélenchon.

Selain LFI, kritik keras juga datang dari Partai Hijau (EELV), salah satu anggota aliansi NFP. Sekretaris Jenderal EELV, Marine Tondelier, menyebut tindakan Presiden Macron sebagai ancaman serius bagi demokrasi di Prancis.

“Ini adalah sebuah aib. Tindakan ini sangat tidak bertanggung jawab dan berbahaya bagi demokrasi kita,” kecam Tondelier.

Ketegangan ini memperburuk krisis politik di Prancis, mencerminkan betapa rapuhnya situasi politik negara tersebut di tengah pertarungan antara sayap kiri dan kekuatan pemerintahan yang dipimpin oleh Macron.

Dengan kedua kubu bersikeras pada posisinya masing-masing, krisis politik Prancis berpotensi semakin dalam jika tak ada solusi yang ditemukan dalam waktu dekat. (*)

Editor: Darmawan