Oleh: Edi Miswar Mustafa
Albert Einstein pernah berujar, “imajinasi lebih penting dari ilmu pengetahuan”. Andaikata Einstein cuma seorang penjual ikan di Pangwa, yang mendengarkan kalimat tersebut keluar dari moncongnya pasti mencibir. Sebab, bagaimana pun, ilmu pengetahuan dibandingkan dengan imajinasi, ibarat membandingkan saya dengan Raffi Ahmad. Saya kalah segala-galanya. Sisi mana saja. Baik depan, belakang, kanan atau kiri.
Tapi, kenyataannya Einstein memang pernah mengatakan itu. Dan ucapannya tidak hanya asal. Kata-kata tersebut bagai menembus ruang dan waktu. Membuka sederet tabir jejak perkembangan ilmu pengetahuan. Mengurai kisah-kisah gila yang kini diakui pelbagai manusia dari delapan penjuru bumi dengan takjub.
Leonardo da Vinci, cendekia bangsa Roma, pernah mendesain helikopter. Karena dia seorang pelukis ulung, desainnya terlihat seakan hanya vignet, lukisan penuh coretan arsiran pensil. Dan desain tersebut, tentu menurut orang di zamannya, adalah kegilaan. Tidak mungkin ada benda, apakah kayu, bahkan besi, mampu terbang di udara. Tapi kemudian, manusia berhasil menciptakan sejumlah mesin, termasuk mesin yang mampu membawa besi terbang melintasi cakrawala. Imajinasi da Vinci terbukti bukanlah hoax.
Di tempat lain, di ruang waktu yang berbeda, seorang ilmuwan Yahudi penasaran dengan konsep Islam yang ditemukannya dalam Alqur’an mengenai konsep iddah. Yaitu aturan dibolehkan menikah lagi pada perempuan yang ditinggal suami, baik karena cerai maupun karena ditinggal mati. Ketika diteliti olehnya, ternyata tempo waktu iddah tersebut adalah hilangnya dengan sempurna sidik jari sang suami di kulit sang istri. Selepas masa iddah, jika pun sebelumnya si istri kukuh berkeinginan untuk menjanda selamanya, hasrat tersebut akan lumpuh bila berhadapan dengan lelaki yang baik dan cocok menurut logika sang janda.
Kisah ini terdengar sangat imajiner, tapi ilmu pengetahuan membuktikan proposisi dalam kitab suci yang diturunkan pada Nabi Muhammad Saw. merupakan suatu kebenaran mutlak. Lantas bagaimana dengan kisah-kisah lainnya? Tongkat Musa yang mampu berubah menjadi ular atau gebukan tongkatnya pada ombak laut merah menciptakan jalan lintas yang tiba-tiba bagi bangsa Israil menuju tanah yang dijanjikan di Palestina? Atau kisah anak Maryam yang bisa berbicara saat dilahirkan dan kemampuannya menghidupkan sesosok mayat?
Bagi seorang penganut agama Islam yang mengaku beriman, kisah-kisah ini tak terbantahkan. Nalar secara absolut harus dikesampingkan. Seberapa pun imajinernya kisah-kisah tersebut tak boleh ada pernyataan bahwa itu hoax, baik secara lisan maupun secara batiniah. Alqur’an menceritakan kisah-kisah kuno jauh sebelum Alqur’an diturunkan pada abad ke-6 Masehi dan Alqur’an juga mengisahkan sesuatu yang terjadi setelah Alqur’an diturunkan beratus tahun lamanya.
Kabarnya, itulah yang membedakan seorang penganut agama dengan orang yang menggunakan logika berpikir sebagai lokomotifnya dalam mengarungi kehidupan. Seorang penganut agama Islam bersyahadat, mengakui Allah itu Esa dan Muhammad adalah utusannya, setelah itu mencari kebenaran-kebenaran dalam agama Islam. Sebaliknya, seorang filsuf mencari dulu kebenaran-kebenaran dalam agama, baru kemudian bersyahadat. Bila logika ilmuwan atau filsuf dapat bukti bahwa kenyataan Nabi Muhammad Saw. melaksanakan perjalanan dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa kemudian menuju langit dan bertemu penguasa alam semesta dengan menggunakan perhitungan kecepatan cahaya, maka sang filsuf akan bersyahadat Jika tidak ada bukti, ia akan mengembara, mencari bukti-bukti kebenaran sepanjang usianya.
Oleh karenanya, kabarnya, betapa banyak penganut agama yang sudah bersyahadat, tapi terus mencari kebenarannya Sang Pencipta. Betapa banyak yang sampai matinya pun masih belum menemukan kebenaran ilahiah. Sebab ia masih mencuri meskipun shalat tak pernah alpa. Sebab ia masih pelit kepada tetangga yang miskin meskipun tahu betul Allah tidak menerima ibadah para pendusta agama.
Hoaxkah frasa ‘kaulah bulan’? Bahasa mengandung makna denotatif dan makna konotatif. ‘Kaulah bulan’ mengandung majas hiperbola atau melebihkan atau bukan makna yang sebenarnya. Tetapi lewat frasa tersebut, si pengujar ingin menunjukkan ‘betapa ia memuja’.
Lalu Einstein? Apakah ia memuja lewat kata-kata ‘imajinasi lebih penting dari pengetahuan’? Tentu saja tidak. Kata-kata tersebut memang dapat dibuktikan. Coba saja kalau tidak percaya. Lalu ‘Melukis Senja’ Budi Doremi dapat dibuktikan? Begini lirik lagunya:
Izinkan kulukis senja
Mengukir namamu di sana
. . .
Biar kulukis malam
Bawa kamu bintang-bintang
Yang bisa jawab dapat sepeda. Ayo, siapa mau jawab?