Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi
SASTRA  

CERPEN: EPIPHANY

EPIPHANY

Ovi Ulyani

(Ovi Ulyani, siswa kelas XII SMAN 1 Meureudu)

CERPEN | Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan.Kata-kata Tan Malaka tersebut adalah pedomanku untuk terus menuntut ilmu. Di tengah-tengah dunia yang semakin berkembang, pendidikan haruslah diutamakan.

Ini bukan lagi zaman di mana sebuah gender dipermasalahkan. Terlebih bagi orang-orang awam yang menganggap perempuan tidak harus sekolah tinggi-tinggi jikalau pada akhirnya hanya akan mengurus rumah tangga, karena itu adalah kodratnya seorang perempuan.

Tapi, aku ingin menjadi perempuan yang berpendidikan tinggi. Karena dunia ini akan sangat keras apabila hanya mengandalkan sebuah kecantikan.

Perguruan tinggi adalah salah satu akses untuk meraih impianku. Aku tahu ini tidak akan mudah, terutama karena biaya. Belum lagi omongan ibu-ibu tetangga yang merendahkan dan mencemooh tanpa pikir panjang.

“Ya ampun, percuma kamu mau sekolah tinggi-tinggi tapi ujung-ujungnya di dapur juga.”

“Emang kamu punya cukup biaya buat kuliah? ‘Kan kuliah itu biayanya mahal?”

“Kamu lihat yang sebelah tuh, anak gadisnya putus kuliah di tengah jalan, ‘ngabisin duit orang tua aja.”

“Anak Bu Marni, juga sudah lulus kuliah tapi sampai sekarang belum dapat kerja.”

“Vi, kodratnya seorang perempuan itu memang di dapur, mengurus suami dan anak.”

Setiap saat aku hanya menanggapi ucapan-ucapan itu dengan senyuman. Kalau memang pada akhirnya aku berakhir di dapur, maka akan aku pastikan kalau dapur seorang perempuan yang berpendidikan tinggi akan jauh lebih berkelas daripada dapur seorang perempuan yang pasrah akan takdir.

Bahkan Tuhan saja akan mengubah takdir hambanya apabila hambanya itu berusaha untuk mengubah takdirnya sendiri.

Dunia akan semakin maju, teknologi semakin berkembang. Aku tidak ingin nantinya keturunanku menjadi orang yang bodoh dan tertinggal apalagi di era globalisasi ini.

* * *

‘Pendidikan adalah senjata yang paling kuat yang dapat kamu gunakan untuk mengubah dunia.’

Kututup buku catatanku dengan kata-kata yang menginspirasi dari Nelson Mandela. Jam pelajaran bahasa Indonesia sudah selesai dan sekarang adalah waktunya jam istirahat.

Di saat teman-temanku yang lain sudah keluar kelas, aku lebih memilih menetap dan mempelajari materi pelajaran yang akan datang. Aku sengaja memilih untuk tidak jajan, itu bukan karena aku pelit atau karena makanan yang dijual di kantin terlalu mahal, hanya saja aku ingin menabung uang jajanku yang tidak terlalu banyak ini.

Diberi uang jajan sepuluh ribu per hari membuatku harus belajar hemat dan pandai mengatur keuangan. Karena aku bukanlah anak orang kaya. Ayahku hanya seorang petani biasa. Sedangkan mamakku, beliau sudah lama tiada. Aku ingin melepas rantai kemiskinan dan mengangkat derajat keluarga merupakan cita-citaku.

“Woi!”

Aku tersentak pelan saat sebuah suara mengagetkanku. Sedangkan si pelaku hanya tersenyum melihat raut wajahku yang tampak sangat terkejut.

“Gigih banget belajarnya.”

“Man jadda wa jadda. Siapa yang bersungguh-sungguh ia yang mendapatkan,” jawabku dengan sebuah senyuman.

Aira, membalas senyuman yang aku berikan. “Ayo makan. Aku tahu kamu hari ini enggak akan jajan. Jadi, tadi pagi aku sengaja masak mie dan beberapa makanan lainnya buat kamu.”

“Makasih, Aira cantik.” Aira tersipu saat aku memeluknya dengan erat. Dia memang sudah tahu sikapku yang tidak akan jajan setiap dua hari. Dan semenjak tiga tahun dekat dengannya, aku juga sudah tahu bagaimana sifat asli gadis manis satu ini.

“Lagi belajar tentang apa, Vi?” tanya Aira yang fokus menata beberapa anak rantang yang dibawanya.

Aku memperlihatkan buku paket yang sedang kubaca pada Aira. Gadis itu hanya mengangguk mengerti. Kemudian kubereskan semua alat tulis yang ada di atas meja lalu setelahnya ikut makan bersama Aira.

“Tamat ini gimana?” tanya Aira membuka pembicaraan.

Aku sudah tahu ke mana arah pembicaraannya. “Seperti yang kamu tahu, kalau enggak lulus jalur bidikmisi, aku terpaksa nganggur dulu setahun sambil kerja lalu tahun depan daftar lagi.”

“Udah yakin mau ambil jurusan itu?”

“Yakin dong,” jawabku. “Kalau kamu gimana?”

“Kamu tahu sendiri ‘kan? Kalau aku cuma suka masak, otomatis aku ambil jurusan tata boga.”

“Kalau enggak lulus jalur bidikmisi?”

“Kita udah rencanakan sama-sama dan jawaban kamu tadi juga jawaban aku.”

“Awas ya, kalau akhirnya kamu cuma jadi sales panci,” candaku.

“Apaan sih, kamu doa’in yang iya-iya aja,” sanggah Aira.

Aku pun terkekeh melihat wajah Aira yang sudah manggut-manggut.

*

Pulang sekolah, kegiatanku adalah mencuci piring, menyapu, memasak, dan berbagai pekerjaan rumah lainnya. Setelah menyelesaikan semua itu, aku akan menghabiskan sisa waktu senggangku dengan belajar.

Duduk di gazebo depan rumah sambil belajar memang sudah jadi kebiasaan rutinku setiap sore. Dulu aku tak duduk sendirian, ada kelurga lengkapku juga. Kami menghabiskan waktu santai dengan cerita-cerita bahagia.

Namun, semenjak mamak sudah tidak ada, aku jadi merasakan sebuah kesepian yang mendalam. Ayah sibuk dengan sawah, kedua saudaraku juga sudah punya keluarga masing-masing.

“Mak, aku rindu masa itu.” Kuhapus air mata yang hendak keluar saat seseorang menyapaku.

“Eh, Sovi. Sendirian aja?” sapa ibu-ibu yang baru pulang dari sawah.

Aku tersenyum menjawab. “Iya nih, Bu. Lagi belajar buat persiapan ikut tes masuk kuliah nanti.”

“Ngapain kuliah, mending tamat sekolah langsung cari kerja atau nikah. Banyak loh sekarang yang nikah muda,”jawab seorang ibu yang lain.

“Jangan begitu loh, Bu. ‘Kan setiap orang beda-beda.”

Aku hanya tersenyum mendengar obrolan singkat ibu-ibu tersebut. Hingga akhirnya mereka berlalu pulang ke rumahnya masing-masing. Bahkan dengan pendapat  itu, aku semakin bertekad untuk mengubah arah pandang mereka terhadap pendidikan.

Keesokan harinya, saat matahari mulai berkarya. orang-orang mulai kembali beraktivitas di bidangnya masing-masing.

Di sekolah, Aira menyampaikan sebuah pengumuman tentang lomba yang diadakan oleh universitas ternama di provinsiku. Juara utamanya adalah beasiswa di universitas tersebut.

Setelah sepakat dengan Aira, akhirnya kami mengikuti lomba tersebut. Lalu aku dan Aira mulai menyusun rancangan dan bahan-bahan untuk mengikuti perlombaan.

Seminggu telah berlalu semenjak aku dan Aira menyusun bahan ikut perlombaan.

Malam ini bintang-bintang terlihat sangat indah. Dari balik jendela aku melihat ada ayah yang sedang merokok di teras rumah ditemani secangkir kopi.

Entah dorongan dari mana, kulangkahkan kaki untuk menuju ke arahnya. Dapat aku lihat kalau lelaki paruh baya itu masih tampak sangat kekar walaupun badannya kurusan. Kuambil tempat duduk di sampingnya.

“Kamu kok belum tidur?” beliau bertanya tanpa mengalihkan atensinya.

“Lagi ada tugas tadi.” Aku dengan canggung menjawab. Seakan-akan ini adalah pertemuan pertamaku dengan beliau. Entah sudah berapa jauh jarak yang tercipta di antara kami.

“Sudah selesai tugasnya?”

“Belum. Aku lagi mengistirahatkan otak.”

Setelahnya hanya ada keheningan yang cukup lama.

Hingga beberapa saat berlalu. Ayah membuang puntung rokoknya ke dalam asbak. Lalu menyeruput sedikit kopi hitam kesukaannya.

“Tamat sekolah ini, kamu mau masuk universitas mana?”

Saat mendengar pertanyaan itu, aku sama sekali tak bergeming.

“Jangan dengarkan omongan orang yang katanya anak perempuan enggak harus  sekolah tinggi-tinggi. Ayah akan usahakan untuk biaya kamu masuk kuliah.”

“Kamu enggak harus memikirkan ayah akan bagaimana kalau kamu kuliah dan tinggal jauh di sana. Ingat! Selama ayah masih ada, kamu jangan takut untuk bermimpi.”

Air mataku jatuh dengan sendirinya saat mendengar ucapan dari laki-laki yang merupakan cinta pertamaku itu.

Di malam yang penuh bintang itu, di teras rumah, aku mengungkapkan semua rasa sakit dan mengadu pada ayah tentang omongan orang-orang yang merendahkan cita-citaku.

Di malam yang penuh bintang itu, salah satu beban dalam pikiran dan juga hatiku seakan hilang dengan tiba-tiba. Dan seolah langkahku menjadi lebih ringan.

Dua bulan berlalu. Anak-anak kelas dua belas sedang mengerubungi mading utama untuk membaca informasi tentang siapa saja yang lulus saat ujian nasional kemarin. Ini adalah puncaknya. Aira menerobos kerumunan itu. Dengan teliti ia mencari namanya.

“Sovi, aku lulus!” Dia memekik dengan girangnya.

Akhirnya aku juga berinisiatif untuk mencari namaku. Aku mulai membaca dari nomor dua puluh ke bawah hingga kesekian. Namun, tak kutemui namaku.

“Gimana?” tanya Aira. Aku hanya tertunduk lesu.

Sekali lagi, Aira menerobos kerumunan itu untuk mencari namaku.

“Vi,” panggilnya. “Kamu enggak buta ‘kan?” aku tak bergeming. “Itu nama kamu ada di nomor lima. Masuk sepuluh besar!”

Aku tertegun atas apa yang dikatakan Aira. Merasa tak percaya, aku kembali masuk ke dalam kerumunan dan melihat di nomor lima yang Aira sebutkan. Benar saja, namaku ada di sana.

Sangking gembiranya, aku memeluk Aira begitu erat sampai-sampai sahabatku itu kesusahan untuk bernapas.

Beberapa jam kemudian aku kembali diresahkan oleh hasil lomba yang juga akan keluar hari ini.

“Tenang, Vi. Aku yakin banget kalau kita pasti menang.”

Tak kuhiraukan ucapan dari Aira. Saat ini aku sibuk berdoa dalam hati. Tiga puluh menit kemudian akhirnya ada notifikasi yang masuk ke dalam handphone Aira.

Aku terdiam di tempat saat membaca hasil pengumumannya. Hingga sampai Aira menarikku untuk lompat bersamanya. Persis seperti anak kecil.

“Aira, kita menang!” aku berteriak dengan sangat keras karena saking bahagianya.

* * *

Kini aku di sini. Di depan gerbang besar universitas yang sangat aku impikan dari dulu.

Aku masih tak menyangka bisa berada di sini. Ini adalah sebuah epiphany yang tak terduga. Tapi ini bukanlah akhir dari semuanya. Aku baru mulai hendak mendaki. Masih banyak tanjakan yang harus aku lalui agar bisa sampai di puncak dan melihat pemandangan yang indah.

‘Hari ini terbatas untuk kebebasan. Esok bebas atas segala keterbatasan.’

By Scout

Aku tersenyum membaca kembali catatan itu di buku catatan harianku.