Oleh: Mukhlis Puna
Sastra merupakan sebuah disiplin ilmu tertua di dunia setelah ilmu filsafat. Menurut Endraswara (2003: 89) karya sastra cenderung memantulkan keadaan masyarakat mau tidak mau akan menjadi solusi zaman. Dalam kaitan ini, sebenarnya pengarang ingin berupaya untuk mendokumentasikan zaman dan sekaligus sebagai alat komunikasi antara pengarang dengan pembacanya
Zaman dahulu orang -orang yang menguasai sastra mendapat kedudukan lebih di lingkungan kerajaan. Mereka kebanyakan dijadikan sebagai penasehat para raja pada suatu kurun waktu tertentu. Penggunaan ahli sastra pada zaman dulu bukan kebetulan belaka, namun jasa mereka digunakan karena dipengaruhi oleh budaya berbahasa yang begitu santun dan tidak menohok pada satu permasalahan yang disampaikan. Keunikan dan kemolekan berbahasa dicampur majas dan gaya bahasa serta diksi yang menarik membuat mereka lebih punya nilai jual yang lebih dibanding ahli lain pada waktu itu.
Di Indonesia yang didominasi oleh sastra melayu perkembangan sastra diturunkan melalui tradisi lisan. Penggunaan lisan sebagai medium penyampaian membuat sebuah karya menjadi banyak versi yang berkembang di masyarakat. Banyak penelitian menyebutkan bahwa sastra lisan memiliki kelemahan dalam hal validitas dan reliabilitas.
Gambaran di atas memberikan sebuah informasi penting perkembangan sastra Indonesia di masa lalu dan masa akan datang. Sebuah ilmu pengetahuan apapun disiplin ilmunya penelitian merupakan ruh dari perkembangan ilmu itu sendiri. Menurut Sugiyono, (2008: 5) penelitian adalah sebuah kegiatan mengumpulkan data untuk keperluan tertentu dan kepentingan tertentu. Selanjutnya, pakar ini juga menyampaikan bahwa secara umum tujuan penelitian adalah untuk menemukan, membuktikan dan mengembangkan suatu hal yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan.
Dalam ranah penelitian, penelitian dibagi dalam dua pendekatan yaitu pendekatan kuantitatif dan kulitatatif. Kedua jenis penelitian ini memiliki perbedaan dan karakteristik yang signifikan. Namun yang menjadi pokok pengembangan tulisan adalah pendekatan kualitatif. Pendekatan kualitatif mempunyai banyak turunan jenis penelitian. Salah satu jenis penelitian dari kulitatif adalah penelitian sastra. Kemudian penelitian sastra juga merupakan bahagian terbesar yang mempunyai turunan jenis penelitin tersendiri. Menurut Edasawara (2011 :79) Penelitian sastra di Indonesia belum sepopuler penelitian di bidang lainnya. Hal ini bisa dimaklumi, karena peminat penelitian sastra masih kurang banyak belum memahami metodologi penelitian sastra. Hal inilah yang membuat penelitian sastra di Indonesia terasa kering. Membosankan dan cenderung hanya dianggap sebagai rutinitas belaka. Bila asumsi ini dipakai oleh sebagian besar masyarakat makan akan timbul anggapan bahwa penelitian sastra hanya akan menghasilkan dupikasi-duplikasi yang tidak kontribusi bagi pembaca atau pun masyarakat pada umumnya.
Hal di atas, jika ditinjau dalam masyrakat sastra khususnya para peneliti muda yang bergerak di bidang sastra, mereka sebagai generasi penerus budaya bangsa belum mempunyai motivasi yang kuat untuk membongkar segala tanda dan makna yang menyelinap di balik manuskrip sastra yang berhulu ledak tinggi dalam mengubah tataran berpikir tingkat tinggi. Mereka lebih senang meneliti pada tataran kuantitatif yang sifatnya lebih instan dan cepat. Proses pembuktian sebuah teori yang sedang berkembang dalam berbagai disiplin ilmu menurut mereka lebih mudah, daripada melahirkan sebuah teori baru.
Di negara- negara maju di dunia ini, penelitian yang digalakkan adalah penelitian kualitatif. Walaupun pada awal keluar pendekatan ini dianggap remeh oleh sebagian ahli penelitian pada waktu itu. Seiring perkembangan ilmu, ternyata penelitian ini mempunyai peran yang luar biasa terhadap pengembangan ilmu pengetahuan.
Kembali kepada penelitian sastra sebagaimana yang sudah dijabarkan, bahwa para pegiat literasi sastra zaman sekarang hampir tidak menaruh minat sedikitpun terhadap penelitian sastra. Hal ini tidak dapat disimpulkan bahwa mereka tidak punya kompentensi terhadap penelitian sastra. Secara genetika, mereka tidak dilahirkan sebagai generasi sastra. Peran para dosen, guru yang mengampu bidang disiplin ilmu sastra yang menjadi tolak ukur. Seberapa besarkah pengaruh mereka dalam menggalakkan budaya meneliti di bidang sastra?
Sebagai pengetahuan awal bagi pembaca. Pengalaman penulis sejak Tahun 2007 mengajar mata kuliah Metode Penelitian Bahasa dan Sastra Indonedia di perguruan tinggi, membuktikan bahwa banyak mahasiswa yang ingin meneliti tentang sastra. Ketidaktahuan mereka tentang apa yang diteliti, bagaimana meneliti, bagaimana mengumpulkan data serta apa manfaat dari penelitian sastra sesungguhnya? Pertanyaan- pertanyaan seperti ini terus saja menghadang mereka ketika hendak menuju gerbang penelitian.
Tidak sedikit dari mereka yang sudah menetapkan masalah penelitian yang mengarah pada penelitian sastra, akhirnya harus gagal dan dialihkan ke penelitian lain, karena hal pengetahuan tentang penelitian sastra tidak ada atau sama dengan nol. Para dosen, guru, dan praktisi penelitian khususnya sastra, hal ini hendaknya menjadi perhatian ekstra. Untuk keluar dari permasalahan yang menggurita dalam kehidupan sastra Indonesia, penulis mencoba menawarkan beberapa solusi.
Pertama, Budayakan Pengenalan Sastra Sejak Dini. Sastra merupakan sebuah karya estetik, kreatif dan imajintif. Melalui sastra karakter berpikir anak lebih mudah diarahkan. Perhatikan contoh yang terjadi di sekitar kehidupan anak hari ini. Mereka dibesarkan dan dididik oleh film- film barat yang penuh dengan imajinasi merusak karakter bangsa. Bukankah mereka adalah aset masa depan kelak? Seandainya kita sebagai orang tua mulai mengenalkan budaya negeri ini secara simultan tentang nilai-nilai keluhuran sejak dini sama seperti mengenalkan nilai – nilai religi. Jika hal ini digalakkan, maka otomatis kelak budya meneliti sastra menjadi subur dan berkembang.
Kedua, Peran Praktisi, Dosen dan Guru Sastra. Bahasa Indonsia adalah mata pelajaran penghela, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Salah satu materi yang ada dalam pelajaran tersebut adalah materi sastra. Menggalakkan minat siswa dan mahasiswa terhadap materi sastra adalah langkah nyata dalam membangun kembali nilai-nilai kebangsaan dan budaya bangsa yang makin rapuh lewat karya sastra. Mengarahkan siswa, mahasiswa untuk mendalami karya sastra yang bermuatan lokal juga termasuk usaha yang positif untuk menggiring peserta didik ke arah penelitian sastra.
Ketiga, Perlombaan Penelitian Karya Sastra. Selama ini yang sering dijadikan lomba pada setiap event siswa, mahasiswa dan umum selalu berkaitan dengan karya ilmiah. Pertanyaannya kok karya sastra tidak pernah diperlombakan? Berarti pihak instansi terkait juga telah berperan dalam menjauhhkan peserta didik dari kehidupan sastrawi. Alangkah eloknya jika pihak pelaksanaan event memberikan ruang untuk sastra diteliti layaknya ilmu lainnya. Misalnya OPSI ( Olipmpiade Penelitian Siswa Indonesia) dimana dalam moment tersebut ada genre sastra yang diperlombakan.
Jika ketiga hal di atas mempunyai sinergitas tinggi, suatu hari kelak akan kita dapati hasil penelituan sastra yang dipublis di media-media utama yang dibaca publik. (*)
Mukhlis Puna adalah guru SMAN 1 Lhokseumawe dan Ketua Tim Literasi Ikatan Guru Indonesia (IGI) Kota Lhokseumawe