Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

Tarian Kehidupan: Harmoni Antara Rasa, Logika, dan Norma

Karya: Hasan Basri, S.Pd., M.Pd

Mentari pagi menyapa, membawa serta harapan dan semangat baru. Namun, kehidupan, oh, kehidupan… ia tak pernah benar-benar mengikuti garis lurus yang tertulis dalam buku-buku teori. Ia adalah sebuah perjalanan yang kita rajut sendiri, langkah demi langkah, seiring dengan denting waktu.

Kita diajarkan tentang logika, tentang sebab dan akibat yang terukur. Namun, di relung hati, bersemayamlah perasaan. Ada suka cita yang meluap, duka yang menyesakkan, dan segala spektrum emosi yang mewarnai hari-hari kita. Terlalu hanyut dalam lautan perasaan, kita bisa terombang-ambing, kehilangan arah dan tujuan. Keputusan yang diambil hanya berdasarkan emosi sesaat seringkali berujung pada penyesalan.

Di sisi lain, akal budi hadir sebagai kompas. Ia menimbang, menganalisis, dan mencoba memahami kompleksitas dunia. Namun, jika kita hanya bertumpu pada pikiran, tanpa sentuhan kehangatan hati, kita bisa menjadi sosok yang kaku, dingin, dan jauh dari esensi kemanusiaan. Dunia terasa kering dan tanpa makna jika hanya diukur dengan angka dan logika.

Lalu, di tengah tarik-menarik antara hati dan pikiran, hadir sebuah panduan bijak: aturan kehidupan. Ia adalah rambu-rambu yang menuntun kita, bukan untuk mengekang, tetapi untuk menciptakan keseimbangan. Ada kalanya, kita perlu mendengarkan bisikan hati, memberikan ruang bagi empati dan kasih sayang. Di saat lain, pikiran yang jernih dan rasional menjadi nahkoda yang mengarahkan biduk kehidupan.

Kearifan terletak pada kemampuan kita untuk menimbang dan memilih. Kapan perasaan perlu didengarkan sejenak, kapan logika harus memegang kendali, dan bagaimana aturan kehidupan menjadi landasan yang kokoh. Ketika ketiganya berpadu secara harmonis, barulah kita menemukan makna yang lebih dalam dalam setiap hembusan napas.

Para pemimpin, yang mengemban tanggung jawab besar, seyogianya memahami dan memaknai hal ini. Mereka perlu memiliki kepekaan terhadap perasaan anggotanya, menggunakan akal sehat dalam setiap pengambilan keputusan, dan menjunjung tinggi aturan yang berlaku.
Petuah bijak dari para pendahulu pun terngiang: akal (akai), modal (pangkai), dan tidak terganggu dengan privasi orang (poe pasai). Akal sebagai suluh penerang, modal sebagai bekal dalam berkarya, dan menghormati ruang pribadi orang lain sebagai wujud kebijaksanaan sosial.

Dan seringkali, dalam keheningan, bukan berarti kita sepakat. Diam bisa menjadi ruang bagi pikiran untuk berdialog dengan perasaan. Mencari titik temu, merajut pemahaman, sebelum akhirnya mengambil sikap.
Hidup ini memang sebuah tarian yang kompleks. Ia menuntut kita untuk terus belajar, beradaptasi, dan menemukan keseimbangan antara apa yang kita rasakan, apa yang kita pikirkan, dan bagaimana kita menjalani aturan yang ada. Dengan kebijaksanaan dan kehati-hatian, semoga kita dapat menavigasi ombak kehidupan ini dengan lebih bermakna.( HBJ)