Oleh: Dr (C). Ir. Muhammad Hatta, SST. MT Ketua Komunitas Pemuda Subuh (Kompas) Aceh Utara dan Mahasiswa S3 Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sulthanah Nahrasiyah Lhokseumawe.
Hidup ini tak selamanya berselimutkan cahaya mentari. Ada waktu ketika langit batin kita mendung, ketika hujan masalah turun deras tanpa tanda-tanda, seolah semesta sedang menguji seberapa dalam daya tahan jiwa kita. Tak jarang, kita merasa seperti perahu kecil di tengah samudra luas, terombang-ambing oleh gelombang ujian, kehilangan arah, kehilangan pegangan. Namun pada saat-saat seperti itulah, justru kita disadarkan bahwa ada satu hal yang tak pernah benar-benar hilang, sebuah pilihan batin yang lembut tapi penuh daya: sikap positif.
Sikap positif tak menjanjikan jalan bebas hambatan. Ia tidak menghilangkan rintangan, tidak menyingkirkan kepedihan, tidak serta-merta menghapus air mata. Namun ia seperti payung yang sederhana. Ia tak bisa menghentikan hujan, tetapi ia bisa menjaga agar kita tak basah kuyup oleh keputusasaan. Dalam sikap positif, kita menemukan ruang untuk bernapas di tengah sesak, menemukan jeda untuk bersyukur di tengah keluh, dan menemukan cahaya yang samar di ujung lorong gelap bernama ujian.
Setiap manusia pasti pernah berada dalam posisi yang melelahkan. Saat janji tinggal janji, ketika harapan tampak menguap, dan ketika kenyataan terasa terlalu tajam untuk dihadapi. Dalam kondisi seperti itu, mudah sekali bagi hati untuk runtuh, bagi pikiran untuk menyerah. Namun justru di situlah sikap positif menemukan panggungnya. Ia hadir bukan karena segalanya baik-baik saja, melainkan karena kita memilih untuk tetap percaya bahwa kebaikan itu masih mungkin terjadi.
Sikap positif adalah bentuk keteguhan jiwa. Ia tidak lahir dari kemewahan, tapi dari kesadaran yang dalam, bahwa hidup ini adalah perjalanan, dan dalam setiap perjalanan pasti ada hujan, ada kabut, ada jalan terjal yang harus dilalui. Orang yang bersikap positif bukan berarti tidak merasakan sakit, mereka hanya memilih untuk tidak menyerah. Mereka tahu, bahwa badai tidak abadi. Bahwa langit pun, seberapa kelam pun ia tampak, pada akhirnya akan kembali cerah.
Bayangkan seorang anak kecil yang berjalan di tengah gerimis, dengan payung kecil di tangan. Ia mungkin menggigil, langkahnya pelan, sepatunya mungkin becek oleh genangan air. Tapi ia tetap melangkah. Di wajahnya masih ada senyum, atau setidaknya harapan. Dalam bayang-bayang anak kecil itulah sikap positif hidup, sederhana, bersahaja, tapi membawa kekuatan besar.
Di dunia yang kini serba cepat dan penuh tekanan, memilih untuk bersikap positif bisa jadi adalah bentuk perlawanan yang paling sunyi sekaligus paling mulia. Ketika semua orang sibuk mengeluh, kita memilih untuk bersyukur. Ketika semua sibuk menyalahkan keadaan, kita memilih untuk memperbaiki diri. Ketika semua panik oleh ketidakpastian, kita memilih untuk tetap berjalan, satu langkah demi satu langkah, dengan keyakinan bahwa segala sesuatu akan menemukan jalannya.
Sikap positif tidak berarti menutup mata dari realita. Justru ia adalah cara terbaik untuk menghadapi realita dengan hati yang utuh. Ia membentuk kita menjadi manusia yang bukan hanya tahan banting, tetapi juga lembut hati. Ia menuntun kita untuk tidak hanya bertahan, tetapi juga belajar, tumbuh, dan memberi.
Dan pada akhirnya, yang membuat hidup ini berharga bukanlah banyaknya hari cerah yang kita lewati, tetapi keberanian kita untuk tetap membawa payung, bahkan ketika ramalan cuaca berkata, hujan akan turun sepanjang hari.
Jadi, saat hidup mulai meneteskan hujan masalah tanpa henti, peganglah payung itu erat-erat. Payung yang bernama sikap positif. Mungkin ia tak akan menghentikan derasnya beban, tapi ia cukup untuk melindungi jiwa dari kebasahan yang melumpuhkan. Dan percayalah, selama kita masih mampu bersikap positif, maka kita masih punya harapan.
Karena badai, sekuat apa pun, tak akan bertahan selamanya.