Oleh: Abdul Hamid
Demokrasi sejatinya adalah jalan terbaik yang dipilih bangsa ini untuk mengelola perbedaan, menyalurkan aspirasi, dan menjaga keadilan sosial. Ia lahir dari semangat reformasi yang ingin memastikan kekuasaan tidak lagi dimonopoli segelintir elit, melainkan dijalankan atas nama rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Namun, dua dekade lebih setelah reformasi, muncul pertanyaan yang menggantung di benak banyak warga: salah apa demokrasi di negeri ini, hingga wajahnya tampak berbeda dari yang kita cita-citakan?
Demokrasi yang Bergeser Makna
Pada praktiknya, demokrasi di Indonesia sering kali hanya berhenti pada ritual lima tahunan: pemilu. Rakyat dipanggil ke bilik suara untuk mencoblos calon yang disodorkan, tetapi setelah itu banyak yang merasa ditinggalkan. Aspirasi rakyat yang seharusnya menjadi dasar kebijakan justru digantikan oleh kepentingan politik dan kepentingan pribadi.
Tak jarang, suara rakyat diperoleh bukan lewat gagasan dan rekam jejak, melainkan melalui transaksi. Fenomena “politik uang” masih menjadi rahasia umum yang diwariskan dari satu pemilu ke pemilu berikutnya. Akibatnya, demokrasi tidak lagi sekadar soal representasi, tetapi berubah menjadi ajang jual beli suara.
Kekuasaan yang diperoleh dengan cara transaksional pada akhirnya dijalankan dengan mental kepemilikan pribadi. Kebijakan publik pun tidak jarang lahir bukan untuk kepentingan rakyat, melainkan untuk kepentingan kelompok, kroni, atau bahkan hanya segelintir individu.
Di Mana Letak Masalahnya?
Bila ditelisik, masalah demokrasi di negeri ini bukan pada sistemnya semata, melainkan pada budaya politik yang berkembang di dalamnya. Demokrasi butuh ekosistem yang sehat: partai politik yang transparan, politisi yang berintegritas, media yang independen, serta masyarakat yang kritis. Sayangnya, banyak di antara pilar itu yang rapuh.
Partai politik kerap menjadi kendaraan kekuasaan, bukan sekolah kepemimpinan. Politisi lebih banyak diukur dari kekuatan modal ketimbang kapasitas intelektual dan moral. Media kadang ikut larut dalam arus sensasi, bukan edukasi. Dan masyarakat sering terjebak pada pragmatisme sesaat: memilih karena uang saku, sembako, atau janji-janji instan.
Dari Demokrasi ke Meritokrasi
Jika kita ingin negeri ini benar-benar maju, maka demokrasi harus dibersihkan dari penyakit transaksional. Kita perlu membangun meritokrasi, sebuah sistem di mana jabatan dan tanggung jawab diberikan kepada mereka yang memiliki kapasitas, integritas, serta rekam jejak yang teruji, bukan sekadar karena uang, popularitas, atau hubungan darah.
Meritokrasi akan melahirkan kebijakan yang rasional, adil, dan berkualitas. Karena yang memimpin adalah orang-orang yang layak, bukan orang-orang yang membeli kursi.
Kunci: Integritas dan Kesadaran Kolektif
Meritokrasi hanya bisa berjalan bila masyarakat juga berubah. Rakyat harus terbiasa menilai calon pemimpin bukan dari berapa banyak uang yang dibagi, tetapi dari visi, gagasan, dan komitmen moral yang ditawarkan. Integritas perlu dibudayakan sejak dini—dari rumah, sekolah, hingga ruang publik.
Memang tidak mudah mengubah budaya politik yang sudah lama berjalan. Tetapi setiap langkah kecil menuju integritas akan memperkuat pondasi demokrasi. Jika rakyat berani menolak politik uang, maka para politisi pun terpaksa mengubah cara mereka meraih simpati.
Penutup
Maka, mari kita renungkan kembali: demokrasi bukan sekadar alat untuk memilih, melainkan jalan untuk memperjuangkan keadilan dan kemajuan bangsa. Bila kita ingin kebijakan yang adil, berkwalitas, dan berpihak kepada rakyat, maka kita harus berani mengoreksi arah demokrasi yang kini melenceng.
Pertanyaan “salah apa demokrasi di negeri ini?” sebenarnya bisa dijawab dengan jujur: yang salah bukan demokrasi, melainkan cara kita memperlakukan demokrasi itu sendiri.
Kini saatnya kita membela meritokrasi dan membudayakan integritas, agar demokrasi kembali menjadi jalan terang menuju kejayaan negeri.
Penulis, kacabdin