Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

Paradigma Kritisme Infertil di Sekolah

Oleh: Angga Prasetiya

“There is no power relation without the correlative constitution of a field of knowledge, nor any knowledge that does not presuppose and constitute at the same time power relation”

―Michel Foucault (Discipline & Punish: The Birth of The Prison: 1991:27)―

“Berpikir kritis” hingga saat ini kerap kali digemakan oleh guru di ruang-ruang kelas. Melalui model pembelajaran yang katanya “interaktif” guru menjajakan materi ajarnya sebagai objek pengetahuan untuk dianalisis. Objek pengetahuan di sini dibayangkan sebagai sesuatu yang “objektif” dan berjarak dari guru maupun peserta didik, sehingga penilaian atasnya selalu diandaikan berdasarkan pemberdayaan aktivitas penalaran kritis.

Jika merujuk Imanuel Kant dalam bukunya yang paling terkenal The Critique of Pure Reason, berpikir kritis adalah upaya akal budi untuk mengkonstruksikan pengetahuan yang mungkin atas sebuah objek. Kategori-kategori imperatif pada akal budi merupakan modalitas intuisi untuk menandai, membedakan, dan menetapkan sebuah pengertian atas objek di hadapannya. Akal budi hanya mampu menangkap objek dalam bentuknya sebagai noumena, karena memang akal budi tidak mampu menyatu dengan objek sehingga pengetahuan secara Das Ding an sich tidak dimungkinkan. Dengan demikian, berpikir secara kritis pada dasarnya adalah untuk menghasilkan sejenis penilaian kontigensi-kontingensi atas sebuah objek, bukan sebaliknya menetapkan objek pada tatanan ontologis.

Dari Kant juga diketahui bahwa harus terdapat sebuah hubungan simetris antara individu dan objek, bentuk prakondisi yang memungkinkan penilaian sebuah objek memang berasal dari penalaran kritis akal budi. Bukan dari turunan-turunan premis yang dipaksakan. Lantas kaitannya dengan berpikir kritis di sekolah, kemudian dapat diajukan pertanyaan seperti ini: apakah objek pengetahuan yang diartikulasikan oleh sekolah menempatkan hubungan simetris antara peserta didik dengan objek yang hendak dikritisinya? Apakah objek pengetahuan benar sebagai objek “bebas” tanpa pengkondisian? Apakah dimungkinkan melahirkan suatu penilaian “yang lain” atas objek yang diartikulasikan oleh sekolah?

Jawaban dari pertanyaan di atas sangat mudah ditemukan, jika memposisikan sekolah sebagai lembaga yang bebas nilai, netral, dan objektif. Sekolah memiliki tugas suci untuk mencerdaskan peserta didiknya, sehingga objek pengetahuan yang terdapat di sekolah harusnya sudah pasti objek pengetahuan yang bebas dari kepentingan apapun. Akan tetapi, menempatkan sekolah dalam pengertian seperti itu tentu adalah sebuah kenaifan. Apple menjelaskan dalam bukunya Ideology and Curiculum, bahwa sekolah adalah tempat dilanggengkannya hegemoni dalam bentuk implementasi pengetahuan dari kelompok dominan. Artinya pengetahuan di sekolah berasal dari kelompok dominan, yang menegaskan dominasinya melalui objek pengetahuan. Homogenisasi pengetahuan seperti itu terlihat jelas dari kurikulum yang dirumuskan, sesuai dengan kepentingan kelompok dominan. Sehingga korpus pengetahuan di sekolah bukan lagi kurikulum yang didasarkan pada tatanan episteme, melainkan kepada kepatuhan. Kepatuhan untuk tunduk terhadap pengetahuan yang direproduksi kelompok dominan.

Dalam bentuk regularitasnya sekolah juga menjadi agen order of discursive, sebuah rezim yang menormalisasikan segala pengetahuan dalam bentuk discourse sekaligus cara mengekspresikannya. Di luar order yang telah ditetapkan, semua cara mengeskpresikan diri atas discourse sebagai alternatif dianggap alien dan menyimpang. Hal ini sejalan dengan istilah yang digunakan Rafi dalam bukunya Buku Panduan Melawan Sekolah. Bahwa sekolah selalu menciptakan rerata yang menjadi ambang batas dari cara peserta didik untuk menilai dan bertindak atas objek pengetahuan yang dijajakan kepadanya. Peserta didik sedemikian rupa diarahkan agar sesuai dengan rerata tersebut.

Berpikir kritis di sekolah diajarkan kepada peserta didik dalam kondisi seperti itu, penuh dengan pengkondisian. Peserta didik diajak mengamati dan mengkritisi sebuah objek pengetahuan yang sedari awal makna atasnya telah ditetapkan. Akibatnya peserta didik hanya sekedar menduplikasi pemahaman dan cara pandang guru atas objek pengetahuan yang dijajakannya. Kecenderungan tersebut terjadi ketika cara peserta didik mengkritisi sebuah objek pengetahuan dipadukan dengan model pembelajaran, yang dalam setiap tahapan sintaksnya guru telah menetapkan indikator-indikator sebagai standar kebenaran tertentu. Sehingga cara peserta didik untuk mengkritisi objek pengetahuan pun tidak bisa luput dari order yang ditetapkan oleh guru.

Kritisisme seperti ini lebih tepat disebut dengan istilah “kritisisme infertil”. Sebuah kritisisme yang “mandul”, karena memang hanya sekedar mengkonfirmasi ulang objek pengetahuan yang dijajakan oleh guru tanpa mengkritisinya, tanpa pernah mempertanyakan relasi kekuasaan seperti apa yang memposisikannya sebagai objek pengetahuan. Selain itu, kritisisme infertil mendistorsikan posisi subjek-objek menjadi asimetris, dengan tetap mereproduksi batasan-batasan imajiner atas objek pengetahuan sebagai “pengetahuan yang ilmiah”.

Foucault mengartikan pengetahuan ilmiah bukan dalam bentuk konvensionalnya sebagai sebatas pengetahuan yang objektif. Melainkan kata “ilmiah” sendiri berkelindan dengan hal yang lebih determinan yaitu praktik diskursif. Melalui praktik diskursif, kekuasaan menetapkan suatu utilitas atas setiap komponen pengetahuan termasuk dalam bentuk keilmiahannya. Pengetahuan yang ilmiah hanya bentuk konsisten dari utilitas-utilitas tersebut. Dari sini dapat disimpulkan juga, bahwa tidak ada demarkasi dalam pengetahuan antara objek yang diartikulasikan dengan objek itu sendiri. Semuanya inheren dengan cara kekuasaan mengekspresikan dirinya.

Kritisisme hanya dapat terjadi ketika seluruh kebenaran atas objek pengetahuan yang ditawarkan oleh sekolah ditunda terlebih dahulu. Ia dinilai bukan pada aspek instrinsiknya saja melainkan juga aspek ekstrinsiknya secara bersamaan, akibatnya objek pengetahuan di sekolah akan ditempatkan pada tatanan yang setara dengan semesta objek pengetahuan lainnya untuk dikritisi.

Contoh konkretnya mungkin dapat diterapkan pada mata pelajaran sejarah. Narasi sejarah dalam buku teks sekolah dapat dibaca dengan merujuk cara pembacaan sejarah yang dilakukan oleh Hayden White melalui bukunya Metahistory. White menanggalkan semua bentuk objektivitas narasi sejarah yang diklaim oleh sejarawan sebagai murni hasil rekonstruksi masa lampau, dengan cara mereduksinya sebatas bentuk-bentuk tropologi. Bentuk tropologi berkaitan dengan modalitas bahasa seperti apa yang digunakan sejarawan untuk menjelaskan suatu kronik. White kemudian menjelaskan sebagai sebuah struktur, setidaknya suatu narasi sejarah harus terdiri atas model plot (mode of emplotment) ―romantisme, tragis, komik, satire―; model argumentasi (mode of argument) ―formis, mekanistik, organistik, kontekstual―; dan model ideologi (mode of ideological implication) ―anarki, radikal, konservatif, liberal―. Implikasinya narasi sejarah tidak lagi berbeda dengan narasi fiksi lainnya, karena ia tidak lagi diposisisikan sebagai “fakta sejarah”, melainkan hanya seperangkat modus eksplanasi.

Jika kita memakai istilah Saussure cara pembacaan yang ditawarkan oleh White, sebenarnya berupaya untuk melucuti posisi sejarah sebagai Langue dengan segala bentuk konvensinya, melalui kemunculan Parole sebagai satu-satunya kemungkinan. Narasi sejarah harusnya hanya semacam himpunan kontingensi yang diberi pemaknaan. Sehingga mempelajari sejarah di sekolah tidak lagi sebatas mendengar kisah heroik para pahlawan, atau tidak lagi melulu menghayati sejarah dengan cara-cara yang nasionalistik. Mempelajari sejarah di sekolah harus dimulai dari pertanyaan “mengapa narasi sejarah yang diajarkan di sekolah menjadi satu-satunya narasi yang harus diterima sebagai kebenaran tunggal?”. Kritisisme seperti inilah yang dapat mengatasi kritisisme infertil. (*)

 

Penulis adalah Guru Sejarah
SMAN 19 Takengon, Aceh Tengah.