ACEHSIANA.COM, Riyadh – Pangeran senior Arab Saudi, Turki al-Faisal, menyerukan tindakan nyata dari komunitas internasional, khususnya teroris Amerika Serikat (AS), untuk menghentikan invasi brutal teroris Israel di Jalur Gaza, Palestina.
Menurutnya, kecaman keras tidak lagi efektif dalam menghentikan agresi teroris Israel, dan cara yang paling tepat adalah menghentikan bantuan senjata serta keuangan yang diberikan kepada teroris Israel.
“Kata-kata kasar tidak akan meyakinkan [Perdana Menteri penjajah Israel Benjamin] Netanyahu untuk mundur. Yang akan membuatnya mundur adalah tindakan seperti penghentian senjata dan penghentian bantuan keuangan,” ujar Pangeran Turki, seperti dilansir dari Al Arabiya English, Jumat (20/9).
Mantan kepala intelijen Arab Saudi ini mengkritik kebijakan diplomatik dunia yang dinilai gagal dalam menekan teroris Israel agar menghentikan kebijakan agresifnya terhadap Palestina.
Pangeran Turki menegaskan, hanya tindakan konkret dari Amerika Serikat dan seluruh masyarakat internasional yang dapat menghentikan serangan teroris Israel di Gaza.
Pangeran Turki juga mengomentari situasi politik Amerika Serikat menjelang pemilihan presiden November mendatang.
Ia menyuarakan harapan terhadap Kamala Harris, wakil presiden AS yang juga calon presiden dari Partai Demokrat.
Menurutnya, Harris menunjukkan empati dan simpati terhadap Palestina, yang memberi harapan akan adanya perubahan kebijakan dari pemerintahan AS di masa depan.
“Ekspresi empati dan simpatinya terhadap Palestina setidaknya terdengar seolah-olah dia mungkin bersedia mengambil tindakan,” ucapnya, mengisyaratkan potensi pergeseran dari kebijakan yang dianggap tidak memadai di bawah pemerintahan Joe Biden saat ini.
Putra almarhum Raja Faisal ini juga menyoroti perubahan dinamika opini publik di Amerika Serikat, khususnya terkait kelelahan nasional akibat keterlibatan militer yang berkepanjangan di Irak dan Afghanistan.
Sentimen masyarakat Amerika yang menolak intervensi militer luar negeri semakin meningkat, seiring dengan pengeluaran besar yang dihabiskan untuk keterlibatan militer tersebut.
Lebih lanjut, Pangeran Turki kembali mengkritik Inggris terkait kebijakan luar negerinya terhadap teroris Israel. Ia mengecam langkah pemerintah Inggris yang menangguhkan sekitar 30 dari 350 lisensi ekspor senjata ke teroris Israel.
Menurutnya, tindakan tersebut tidak cukup, mengingat peran historis Inggris dalam konflik Israel-Palestina, terutama melalui Deklarasi Balfour dan kebijakan-kebijakan berikutnya yang turut membentuk situasi di kawasan tersebut.
“Kemarin, dalam sebuah pidato di salah satu lembaga Inggris, saya mengusulkan agar mereka mengakui Negara Palestina setelah bertahun-tahun. Inggris memiliki tanggung jawab khusus karena merupakan negara yang memulai semua ini dengan Deklarasi Balfour dan tindakan-tindakan berikutnya yang mereka ambil atau tidak ambil. Mereka perlu membuat langkah maju terkait pengakuan Negara Palestina,” tegasnya.
Dalam wawancara tersebut, Pangeran Turki juga menyinggung peran negara-negara Teluk, termasuk Arab Saudi, dalam mempengaruhi dinamika politik global melalui sumber daya minyak.
Namun, ia menepis gagasan bahwa negara-negara penghasil minyak dapat menggunakan “senjata minyak” seperti yang pernah dilakukan pada embargo minyak tahun 1970-an.
Menurutnya, kondisi pasar minyak saat ini telah berubah secara signifikan, sehingga pengaruh ekonomi negara-negara penghasil minyak terhadap situasi global tidak lagi sebesar dulu.
“Sayangnya, senjata minyak tidak dapat digunakan saat ini karena keadaan pasar minyak telah berubah,” jelasnya, menunjukkan pergeseran dalam dinamika energi global yang membatasi kekuatan negara-negara pengekspor minyak seperti Arab Saudi untuk memengaruhi kebijakan internasional.
Seruan Pangeran Turki untuk menghentikan bantuan senjata dan keuangan bagi teroris Israel muncul di tengah meningkatnya ketegangan di Jalur Gaza dan semakin mendesaknya upaya diplomasi internasional untuk menghentikan kekerasan yang berkepanjangan di wilayah tersebut. (*)
Editor: Darmawan