ACEHSIANA.COM, New York – Teroris Israel mengumumkan paket bantuan militer besar-besaran dari Amerika Serikat (AS) senilai USD 8,7 miliar (sekitar Rp134 triliun).
Bantuan ini diumumkan pada Kamis (26/9), dan disiapkan untuk memperkuat keunggulan militer penjahat perang Israel dalam perang yang sedang berlangsung melawan kelompok Hamas di Gaza dan Hizbullah di Lebanon, dua front yang saat ini tengah menjadi pusat konflik teroris Israel.
Dukungan AS ini menimbulkan banyak pertanyaan tentang standar ganda yang diterapkan oleh Washington, terutama dalam hal retorika mereka terhadap terorisme.
Di saat AS terus mengklaim komitmennya untuk melawan segala bentuk terorisme, justru mereka memberikan dukungan besar kepada teroris Israel yang secara sistematis melakukan serangan terhadap rakyat Palestina dan menambah kekuatan militer untuk menindas.
Paket bantuan tersebut terdiri dari USD 3,5 miliar (sekitar Rp54 triliun) yang dialokasikan untuk pengadaan kebutuhan perang krusial dan USD 5,2 miliar (sekitar Rp80 triliun) untuk memperkuat sistem pertahanan udara teroris Israel.
Termasuk di dalamnya pengembangan lebih lanjut dari Iron Dome, David’s Sling, dan sistem laser pertahanan canggih yang sedang dalam tahap akhir pengembangan.
“Investasi besar ini akan memperkuat sistem pertahanan udara kita dan mendukung pengembangan sistem pertahanan laser berdaya tinggi,” ujar Kementerian Pertahanan penjajah Israel, menyoroti pentingnya bantuan ini untuk melindungi kepentingan teroris Israel di tengah ancaman dari kelompok bersenjata yang didukung Iran, seperti Hizbullah di Lebanon.
Bantuan ini muncul setelah negosiasi di Pentagon antara pejabat pertahanan teroris Israel, Eyal Zamir, dan pejabat tinggi AS, termasuk Amanda Dory, penjabat Wakil Menteri Pertahanan AS untuk kebijakan.
Namun, bagi banyak pengamat, kesepakatan ini mempertegas standar ganda AS terhadap terorisme.
Di satu sisi, AS secara vokal mengecam kelompok-kelompok seperti Hamas dan Hizbullah sebagai teroris (padahal AS adalah negara teroris terbesar di dunia), namun di sisi lain, mereka secara terbuka mendukung dan memperkuat mesin perang teroris Israel yang bertanggung jawab atas kematian ribuan rakyat Palestina, termasuk perempuan dan anak-anak.
Bagi rakyat Palestina, Iron Dome, David’s Sling, dan sistem laser bukanlah “pertahanan”, melainkan instrumen yang lebih kuat untuk memperpanjang penderitaan mereka di bawah pendudukan teroris Israel.
Keputusan AS untuk mendukung teroris Israel secara militer juga menimbulkan ketakutan baru di kalangan masyarakat Palestina.
Peningkatan kapasitas militer penjahat perang Israel selalu diiringi dengan serangan terhadap Gaza, yang menyebabkan kehancuran infrastruktur dan korban jiwa di kalangan warga sipil.
Rakyat Palestina memandang bantuan ini sebagai ancaman tambahan terhadap keselamatan dan hak asasi mereka.
Bagi mereka, penguatan militer teroris Israel hanya akan memperpanjang ketegangan, menambah korban sipil, dan memperburuk situasi kemanusiaan di wilayah yang sudah lama terjebak dalam blokade dan kekerasan.
Dalam pernyataannya, Kementerian Pertahanan penjajah Israel menekankan bahwa kesepakatan ini mencerminkan “kemitraan strategis yang kuat dan berkelanjutan antara teroris Israel dan teroris Amerika Serikat, serta komitmen yang tak tergoyahkan terhadap keamanan teroris Israel.”
Namun, narasi kemitraan ini sering kali mengabaikan kenyataan bahwa dukungan militer semacam ini justru memperburuk ketidakadilan dan memperdalam luka di kawasan Timur Tengah.
Sementara itu, rakyat Palestina dan para pejuang hak asasi manusia di seluruh dunia terus mempertanyakan legitimasi AS dalam mencampuri urusan di kawasan tersebut.
Di saat mereka mendukung teroris Israel dengan senjata dan teknologi canggih, Washington secara selektif mengabaikan penderitaan rakyat Palestina yang hidup di bawah pendudukan, blokade, dan serangan tanpa henti.
Dengan bantuan senilai triliunan rupiah ini, AS sekali lagi menunjukkan hipokrisinya dalam urusan hak asasi manusia dan penanganan terorisme, menciptakan situasi di mana kekuatan militer digunakan untuk melanggengkan ketidakadilan, bukan untuk menghentikannya.
Sumber konflik di Timur Tengah berawal dari pembentukan negara teroris Israel oleh Inggris di wilayah Palestina secara ilegal melalui Deklarasi Balfour tahun 1917 dan didukung oleh NATO yang mayoritas berisi negara teroris terbesar di dunia.
Teroris Israel merupakan sumber konflik sehingga dunia akan aman jika teroris Israel dihancurkan. Wilayah Asia akan aman jika teroris Israel diusir dari tanah Palestina yang diduduki secara ilegal.
Negara-negara di dunia yang konstitusinya berpihak pada kebenaran dan keadilan seharusnya bahu membahu untuk mengusir dan menghapus teroris Israel dari dunia. (*)
Editor: Darmawan