Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

Mewujudkan Pendidikan Inklusif, Tanpa Kekerasan Mendidik

Oleh: Marlina, S.Pd

Mendidik anak-anak bukanlah perkara mudah. Diperlukan kerja sama antara orang tua, guru, dan masyarakat dalam mendidik anak-anak agar bisa tumbuh dan berkembang secara optimal. Namun, seringkali dalam proses pendidikan, kekerasan masih sering terjadi. Kekerasan dalam mendidik adalah praktik yang berpotensi merusak kesehatan, kesejahteraan, dan perkembangan anak. Dan hal ini tidak bisa dibiarkan terus berlanjut.

Di Indonesia, beberapa upaya telah dilakukan untuk mewujudkan pendidikan yang ramah anak. Salah satunya adalah program sekolah ramah anak. Program ini bertujuan untuk menciptakan sekolah yang aman, nyaman, dan kondusif bagi anak-anak. Sekolah ramah anak dapat membantu mengurangi ketidaksamaan, diskriminasi, dan isolasi yang terjadi pada anak di lingkungan sekolah. Dalam hal ini, lingkungan sekolah tidak hanya merujuk pada lingkungan fisik, tetapi juga pada lingkungan pedagogis.

Pedagogi yang ramah anak adalah suatu sistem pembelajaran yang berasaskan pada prinsip-prinsip persamaan, kebijaksanaan, keadilan, dan kesopanan. Dalam lingkungan ini, siswa dihargai, didukung dan didorong untuk berpartisipasi dalam proses belajar dan diharapkan dapat mengekspresikan diri secara lokal dan global. Dalam pendekatan ini, guru memperlakukan siswa sebagai mitra dalam proses pembelajaran. Guru memberikan kritik secara konstruktif, memotivasi, dan membantu siswa untuk menemukan potensi diri mereka.

Namun, masih banyak guru yang menganggap bahwa kekerasan adalah bentuk komunikasi yang efektif dalam memotivasi dan mengontrol siswa. Kekerasan mendidik menjadi dilema moral dan etika dalam dunia pendidikan. Sejumlah guru menerapkan berbagai teknik kekerasan dalam mendidik siswa, seperti memukul, mengumpan, atau bahkan mengolok-olok siswa. Alih-alih menghargai, menghormati, dan memperkuat siswa, kekerasan dalam mendidik justru memperlemah daya tangkap, kemampuan, kepribadian, dan karakteristik siswa.

Kekerasan dalam mendidik tidak hanya merusak hubungan guru-siswa, tetapi juga merusak hubungan sekolah dengan orang tua dan masyarakat. Orang tua dan masyarakat tidak akan mempercayai sekolah yang menghasilkan siswa-siswa yang merasakan penderitaan dan trauma dalam proses pendidikan.

Oleh karena itu, pendekatan sekolah ramah anak dan kekerasan mendidik memerlukan integritas, partisipasi, dan transparansi dari semua pihak. Guru, orang tua, dan masyarakat harus memberikan dukungan aktif dan kolaboratif untuk mewujudkan sekolah ramah anak yang merupakan sekolah untuk masa depan yang delikat dan inklusif. Dalam pendekatan ini, kepedulian dan penghormatan terhadap anak harus menjadi prioritas utama.

Melalui kebijakan, program, dan perlindungan yang bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan dan keselamatan anak di sekolah, dan dengan menanamkan nilai-nilai kebaikan dalam diri siswa, sekolah ramah anak dan kekerasan mendidik dapat menjadi wujud nyata dari pendidikan inklusif dan beretika. Hal ini memberi kesempatan kepada anak untuk berkembang secara optimal dan mendapatkan pendidikan yang memenuhi hak-hak asasi mereka. Dengan demikian, kita harus tetap berjuang untuk mewujudkan pendidikan yang ramah anak dan tanpa kekerasan; pendidikan yang bermanfaat bagi anak-anak, masyarakat, bangsa, dan dunia yang lebih baik.

Penulis, Marlina, S.Pd, Guru pada SDN Kp. Blang Iboih Kecamatan Simpang Tiga Kabupaten Pidie.