Oleh. Putri Nanda Roswati.
Siswa SMA Negeri 1 Peudada
Di sebuah desa di Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh, semangat seni tetap menyala di tengah keterbatasan. Semangat itu hidup melalui tangan seorang pemuda bernama Syahril Ramadhan, sosok yang berani merintis ruang ekspresi budaya demi mempertahankan warisan seni di tanah kelahirannya.
Syahril mendirikan sebuah sanggar independen bernama Sanggar Putroe Neng, yang berlokasi di Desa Pulo Ara, Kecamatan Peudada, dengan sekretariat di SMAN 1 Peudada.
Menariknya, selain memimpin dan membina Sanggar Putroe Neng, Syahril juga aktif menjadi pelatih seni di sanggar sekolah SMAN 1 Peudada. Peran ganda ini dijalani Syahril sebagai wujud dedikasi dan kecintaannya terhadap dunia seni, agar lebih banyak generasi muda terlibat dalam pelestarian budaya.
Sanggar Putroe Neng lahir pada 3 April 2023 dengan cita-cita besar untuk menjaga dan mengembangkan seni tradisional Aceh, sekaligus membuka peluang bagi generasi muda untuk berkarya. Bukan hanya fokus pada tarian tradisional Aceh, sanggar ini juga mengakomodasi seni musik tradisional dan modern, monolog, serta puisi.
Ragam seni tersebut menjadi jembatan untuk mempererat kebersamaan di kalangan anak muda dan masyarakat sekitar.
Syahril menuturkan, ketertarikannya pada dunia seni muncul sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Baginya, seni adalah napas yang menghidupkan jiwa dan memberikan nilai luhur dalam kehidupan sehari-hari. Melalui seni, ia merasa mampu menuangkan rasa cinta terhadap budaya Aceh yang kaya akan nilai sejarah, adat, dan filosofi hidup.
Namun, jalan menuju cita-cita tersebut tidak pernah mudah.
Sejak awal mendirikan sanggar, Syahril dihadapkan pada berbagai tantangan. Salah satu kendala terbesar adalah minimnya dana untuk menyediakan fasilitas latihan yang memadai, mulai dari alat musik hingga busana penari. Selain itu, menjaga kekompakan anggota dan memastikan keserasian dalam organisasi juga menjadi ujian tersendiri.
Tidak berhenti di situ, dukungan masyarakat pun sempat goyah.
Masyarakat cenderung meragukan kelangsungan sanggar independen, terutama karena sanggar ini tidak dinaungi pemerintah. Mereka khawatir kegiatan seni hanya menjadi euforia sesaat. Namun Syahril membuktikan bahwa kecintaannya pada seni tidak mudah padam, meski dihempas keraguan dan keterbatasan.
Dukungan keluarga pun semula tidak sepenuhnya hadir. Syahril bercerita, keluarganya awalnya menaruh rasa kurang setuju atas pilihannya mendirikan sanggar seni. Mereka khawatir seni tidak akan memberikan masa depan yang jelas. Namun seiring berjalannya waktu, melihat kesungguhan dan kerja keras Syahril, keluarga mulai mendukung dan memberi semangat agar langkahnya tetap teguh dalam merawat budaya.
Untuk menjaga kualitas dan semangat para anggota, Sanggar Putroe Neng membuka kesempatan bagi siapa saja yang ingin bergabung. Akan tetapi, Syahril dan tim memberlakukan proses seleksi berupa tes dan wawancara.
Proses ini penting untuk menggali minat dan bakat calon anggota, sehingga program pengembangan seni dapat berjalan lebih terarah. Sanggar Putroe Neng juga mengadakan latihan rutin setiap akhir pekan, tepatnya hari Sabtu dan Minggu. Di samping itu, kegiatan kebersamaan diselenggarakan satu hingga tiga kali dalam setahun untuk mempererat hubungan antarpengurus, anggota, dan warga sekitar.
Prestasi memang belum banyak diraih, mengingat usia sanggar yang baru berjalan dua tahun. Namun Syahril patut berbangga karena pada tahun 2023, sanggar binaannya berhasil menggarap karya tari kreasi dan musik iringan yang diikutsertakan dalam ajang Pekan Kebudayaan Aceh di Banda Aceh, pada kategori lomba “Tari Kreasi Baru Umum”.
Pengalaman itu menjadi pijakan awal untuk terus berkarya dan mengasah kemampuan para anggota.
Dalam proses kreatifnya, Syahril tidak berjalan sendiri. Ia menggandeng teman-teman terdekat dan anak muda lain di kawasan Peudada, yang sama-sama punya semangat mencintai budaya Aceh.
Kebersamaan ini menjadi fondasi kuat dalam mempertahankan keberlangsungan sanggar, terutama di tengah tantangan menjaga kekompakan organisasi dan memupuk semangat anggota agar tidak mudah menyerah.
Bagi Syahril, motto sanggar adalah pegangan hidup sekaligus sumber inspirasi, yakni “Budaya Tapeutimang, Bek Tapeurenggang Kekompakan.”
Dalam bahasa Indonesia, semboyan ini berarti “Budaya Kita Lestarikan, Jangan Renggangkan Kekompakan.” Kalimat tersebut mencerminkan filosofi yang diyakini Syahril, bahwa kebudayaan tidak akan pernah lestari tanpa kebersamaan dan solidaritas.
Syahril menegaskan, sanggar ini bukan sekadar ruang latihan, tetapi juga menjadi tempat anak-anak muda mengekspresikan kreativitas, menambah wawasan, serta belajar disiplin. “Dengan seni, hidup terasa lebih indah. Ada nilai moral, budaya, dan rasa kebersamaan yang sulit kita temukan di tempat lain,” ungkapnya.
Harapan jangka panjang Syahril untuk Sanggar Putroe Neng juga tidak main-main. Ia bermimpi agar sanggar ini bisa terus konsisten menjaga nilai budaya, menelurkan karya-karya yang membanggakan, serta menjadi wadah bagi pemuda bertalenta untuk berkembang. Syahril percaya, kelak sanggar ini akan mampu tampil di ajang besar, bahkan mewarnai kancah seni nasional dengan sentuhan khas budaya Aceh.
Kepada para remaja atau pemuda lain yang mungkin ragu menekuni dunia seni, Syahril punya pesan yang tulus. Menurutnya, tidak perlu takut menghadapi penilaian orang lain atau anggapan bahwa seni hanya membuang waktu. “Selama kita sungguh-sungguh dan punya semangat, seni justru akan membangun karakter, mengajarkan kita nilai saling menghargai, kerja sama, dan keindahan,” tegasnya. Ia juga mengingatkan bahwa dalam proses berkesenian, pasti ada riuh, keraguan, dan tekanan, tetapi semua itu dapat diatasi dengan niat baik dan semangat kebersamaan.
Syahril menyadari, sanggar yang ia pimpin masih jauh dari kata sempurna. Banyak yang perlu dibenahi, termasuk menumbuhkan rasa percaya masyarakat agar seni tradisi tetap dipelihara. Namun dengan tekad dan komitmen yang kuat, ia yakin cita-cita membangun ruang berkesenian independen akan terus bertahan dan memberi manfaat luas.
Kisah Sanggar Putroe Neng dan aktivitas Syahril di dua sanggar berbeda menjadi bukti bahwa cinta terhadap seni tidak pernah padam meski diterpa keterbatasan. Pemuda seperti Syahril mengajarkan kita bahwa melestarikan budaya adalah bentuk tanggung jawab moral untuk merawat identitas bangsa. Seni bukan hanya soal gerak atau suara, tetapi juga tentang hati dan tekad untuk menjaga warisan leluhur.
Di akhir percakapan, Syahril menegaskan kembali mimpinya: “Semoga Sanggar Putroe Neng bisa terus hidup, semakin besar, dan mewadahi orang-orang yang mau berkarya. Karena seni bukan sekadar hiburan, tetapi juga wujud kecintaan kita pada budaya.”
Lewat ketulusan, semangat, dan komitmen seorang pemuda, nyala seni di Bireuen terus terjaga. Di sanalah harapan tentang masa depan budaya Aceh bersemi, menanti generasi penerus lain yang berani mencintai dan merawatnya.
Penulis adalah didikan pelatihan jurnalis Siswa SMA SMK Cabdin Bireuen.