ACEHSIANA.COM, Jakarta – Lulusan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dan generasi Z mendominasi jumlah pengangguran di Indonesia. Hal itu dikhawatirkan menjadi bencana demografi bagi Indonesia.
Direktur Eksekutif Center for Education Regulations and Development Analysis (Cerdas), Indra Charismiadji menilai, ketidaksinkronan antara pasokan tenaga kerja dan permintaan dari lapangan pekerjaan yang ada menjadi penyebab utama tingginya angka pengangguran di Indonesia.
“Kalau dari data seperti ini yang dituju adalah bencana demografi karena kita punya banyak penduduk usia produktif, tapi tidak produktif,” ujar Indra pada Sabtu (11/11) di Jakarta.
Indra mengatakan bahwa rezim pemerintahan saat ini dinilai tidak memprioritaskan pembangunan manusia. Pemerintahan saat ini, sambung dia, lebih berfokus terhadap pembangunan yang bersifat benda atau fisik saja.
“Masalah utamanya adalah pembangunan manusia tidak menjadi prioritas dari rezim ini. Semuanya fokus membangun benda,” terang Indra.
Dia menyebut, kebijakan Kemendikbudristek terkait pendidikan vokasi dapat dikatakan gagal total. Pasalnya, pendidikan vokasi itu tidak bisa sebatas mengurus supply saja. Menurut Indra, mau dilatih sehebat apapun jika memang lapangan pekerjaan tidak ada, maka yang terjadi adalah semakin banyak pengangguran.
Indra mengungkit, data Bank Dunia sebelum pandemi pada 2018/19 menunjukkan, setiap tahun ada 1,5 juta lulusan SMK dan 1,1 juta lulusan perguruan tinggi. Artinya setiap tahun ada 2,6 juta calon pekerja baru di Indonesia. Sayangnya pekerjaan baru yang tersedia hanya 1,8 juta per tahun.
Dari angka itu, otomatis ada 800 ribu pengangguran baru tercipta setiap tahunnya. “Mau dilatih seperti apapun tidak akan mengurangi pengangguran kalau jumlah lapangan kerja tidak ditambah. Tidak sinkron supply dan demand. Cuma supply doang,” jelas Indra.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat angka pengangguran pada Agustus 2023 terjadi penurunan. Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, pada Agustus 2023 ada 7,86 juta orang pengangguran atau setara dengan 5,32 persen dari total angkatan kerja pada periode tersebut.
Amalia menuturkan, angka tersebut lebih rendah 0,54 persen atau turun sebanyak 0,56 juta orang dibandingkan periode yang sama pada 2022. “Tapi, tingkat pengangguran ini masih relatif lebih tinggi dibandingkan sebelum pandemi Covid-19,” kata Amalia dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (6/11). (*)
Editor: Darmawan