Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi
OPINI  

Learning Agility: Kunci Ketahanan SDM BUMN Menghadapi Era BANI dan TUNA

Oleh: Dr (c). Dedy Haryadi Hasan, ST., MSM

Mahasiswa Doktoral IAIN Lhokseumawe

Dunia terus bergerak dalam ketidakpastian. Dua dekade terakhir cartier Replica uk memperlihatkan bagaimana krisis global silih berganti, mulai dari perubahan iklim, pandemi, hingga konflik geopolitik, menghadirkan tantangan yang kompleks dan tak terduga. Untuk memahami lanskap baru ini, para pemikir memperkenalkan dua kerangka konseptual: BANI dan TUNA. BANI (Brittle, Anxious, Nonlinear, Incomprehensible) menggambarkan cheap Replica Watches uk dunia yang rapuh, gelisah, tidak linier, dan sulit dimengerti. Sementara itu, TUNA (Turbulent, Uncertain, Novel, Ambiguous), menjelaskan situasi dunia yang penuh gejolak, ketidakpastian, kebaruan, dan ambiguitas.

Dalam kondisi ini, BUMN sebagai tulang punggung pelayanan publik dan pembangunan ekonomi rolex replica watches nasional dituntut untuk mampu bertahan dan terus relevan. Pertanyaannya, apakah SDM BUMN cukup siap menghadapi tantangan dunia yang berubah cepat dan tak menentu ini? Di sinilah konsep Learning Agility menjadi krusial. Konsep ini merujuk pada kemampuan individu untuk belajar dengan cepat, beradaptasi dalam situasi baru, serta menggunakan pembelajaran masa lalu guna menyelesaikan tantangan yang belum pernah dihadapi. Diperkenalkan oleh Lombardo dan Eichinger pada tahun 2000, learning agility kini menjadi salah satu indikator utama keberhasilan dalam kepemimpinan dan manajemen perubahan.

Terdapat lima dimensi utama dalam learning agility: people agility (kemampuan menjalin kerja sama dengan berbagai tipe individu), mental agility (kemampuan berpikir kompleks dan lintas konteks), change agility (kenyamanan dalam menghadapi ketidakpastian dan perubahan), results agility (kemampuan mencetak hasil dalam situasi menantang), serta self-awareness (kesadaran diri terhadap kekuatan dan area yang perlu dikembangkan). Menurut Korn Ferry Institute (2021), individu dengan learning agility tinggi memiliki peluang sukses tiga kali lipat dalam posisi baru dibandingkan mereka yang hanya mengandalkan pengalaman masa lalu.

Relevansi learning agility bagi SDM BUMN tidak bisa dipandang sebelah mata. BUMN Indonesia saat ini berada di titik kritis transformasi, di mana tekanan digitalisasi, efisiensi, transparansi, serta keterbukaan terhadap kerja sama lintas sektor dan lintas negara semakin meningkat. Namun, temuan PwC Indonesia (2023) menunjukkan bahwa hanya 32% karyawan BUMN merasa siap menghadapi perubahan teknologi digital. Ini menunjukkan adanya kesenjangan keterampilan yang hanya bisa dijembatani melalui learning agility. Learning agility mendorong munculnya sikap kerja yang proaktif dan inovatif, serta kemampuan untuk melakukan improvisasi dan adaptasi cepat di lapangan. SDM yang agile juga mampu membangun kolaborasi lintas tim, mentransfer pengetahuan secara efektif, serta memperkuat ketahanan organisasi di tengah perubahan yang cepat.

Sayangnya, budaya organisasi BUMN yang cenderung hierarkis dan birokratis sering kali menjadi penghambat. Ketika pengalaman dan senioritas masih dianggap lebih penting daripada kemampuan belajar dan beradaptasi, maka organisasi menjadi rentan tertinggal dalam menghadapi disrupsi. Dunia yang brittle, anxious, nonlinear, dan ambiguous tidak bisa dihadapi dengan cara kerja lama. Oleh karena itu, pola pikir dan cara kerja di lingkungan BUMN perlu diarahkan ke arah yang lebih reflektif, lincah, dan kolaboratif. Budaya belajar sepanjang hayat (long life education) harus diintegrasikan ke dalam DNA organisasi, bukan hanya sebagai program pelatihan sesaat.

Terlebih bagi para pemimpin BUMN, learning agility bukanlah pilihan, melainkan keharusan. Di era transformasi yang penuh ketidakpastian, pemimpin dituntut tidak hanya menjadi pengarah, tetapi juga menjadi pembelajar utama. Laporan Center for Creative Leadership (2022) menyebutkan bahwa pemimpin dengan learning agility tinggi memiliki peluang 75% lebih besar untuk berhasil memimpin organisasi dalam situasi perubahan. Pemimpin seperti ini mampu menjembatani misi strategis dengan fleksibilitas operasional, menciptakan ruang pembelajaran kolektif, membangun rasa memiliki di antara karyawan, serta mendorong inovasi yang sehat meski berisiko.

Membangun learning agility di lingkungan BUMN bukanlah pekerjaan semalam. Dibutuhkan pendekatan sistemik dan strategis. Rotasi peran lintas fungsi, pelibatan dalam proyek-proyek strategis, mentoring dan coaching internal, serta integrasi teknologi digital dalam proses pembelajaran adalah beberapa langkah yang efektif. Selain itu, sistem penghargaan dan evaluasi juga perlu bergeser, dari yang semata-mata berorientasi pada hasil akhir menjadi yang menghargai proses belajar dan perkembangan individu. Kerja sama dengan universitas dan startup teknologi juga dapat memperluas paparan terhadap tantangan baru yang dibutuhkan untuk mengasah agility. Yang tak kalah penting adalah pembentukan unit pengembangan SDM khusus, seperti Learning & Innovation Office di tiap BUMN besar, serta pengembangan kurikulum agile leadership dan micro-credential berbasis kebutuhan nyata di lapangan.

Mengabaikan learning agility berarti mempertaruhkan masa depan. Tanpa kemampuan belajar dan beradaptasi, SDM BUMN akan kalah dalam kompetisi global, transformasi digital akan berhenti pada slogan, dan generasi muda akan kehilangan semangat karena minimnya ruang bertumbuh. Budaya kerja yang kaku akan mematikan inovasi, dan pelayanan publik akan stagnan. Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa menyebabkan BUMN kehilangan pangsa pasar, tidak mampu bersaing secara regional, dan terus bergantung pada subsidi negara.

Oleh karena itu, perlu ada kebijakan yang progresif dan konkret dalam memperkuat learning agility di lingkungan BUMN. Mulai dari integrasi learning agility dalam penilaian kinerja, penganggaran khusus untuk pembelajaran dan reskilling, audit budaya organisasi, hingga penyusunan roadmap digital talent nasional. Semua ini merupakan investasi strategis jangka panjang. Karena sejatinya, investasi terbaik bukanlah pada aset fisik atau infrastruktur, melainkan pada manusia yang terus tumbuh, belajar, dan beradaptasi.

Dalam era BANI dan TUNA, keunggulan kompetitif tidak lagi semata ditentukan oleh besar kecilnya aset atau panjang pendeknya pengalaman, tetapi oleh seberapa cepat dan efektif sebuah institusi, melalui SDM-nya, mampu belajar dan berubah. Maka, BUMN yang agile bukan hanya simbol modernisasi, tetapi juga representasi kesiapan bangsa menghadapi masa depan. Dan penguatan learning agility adalah jalan utama menuju ketahanan dan keberlanjutan itu.