ACEHSIANA.COM, Takengon – Guna mempermudah akses pendidikan bagi warga Aceh yang tinggal di daerah terpencil dan pedalaman, Dinas Pendidikan Aceh membuka kelas jauh. Terdapat beberapa kelas jauh yang sudah dibuka yaitu kelas jauh Alur Keujruen di Kluet Tengah, Aceh Selatan, dan kelas jauh Pameu di Angkup, Aceh Tengah.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Drs Alhudri MM, meninjau langsung pelaksanaan kelas jauh tersebut. Pada Sabtu (27/8), Alhudri yang turut mengajak beberapa kepala bidang pada Dinas Pendidikan Aceh serta beberapa Kepala Cabang Dinas (KCD), meninjau secara langsung pelaksanaan kelas jauh di Pameu, Aceh Tengah.
Bukan hanya kelas jauh, Alhudri beserta rombongan juga sempat meninjau SDN 10 Linge di Desa Jamat, Kecamatan Linge, Aceh Tengah.
Mahlil (45 tahun) yang bekerja sebagai sopir di Dinas Pendidikan Aceh, menceritakan bahwa akses jalan menuju Jamat lebih parah dbandingkan jalan menuju Pameu.
“Jalan sempit dan berlumpur sehingga pandangan mata harus fokus,” ujar Mahlil.
Mahlil menambahkan bahwa memerlukan waktu sekitar dua jam lebih untuk menuju Pameu, Kecamatan Angkup, Aceh Tengah. Pameu merupakan desa terpencil tempat dibukanya kelas jauh oleh Dinas Pendidikan Aceh.
Secara geografis, Pameu hanya berjarak 24 km dari Kecamatan Geumpang, Pidie, tetapi tidak memiliki akses jalan. Oleh karena itu, rombongan Dinas Pendidikan harus menuju Pameu melalui Takengon, Aceh Tengah. Kelas jauh Pameu secara administratif di bawah binaan SMAN 19 Takengon, Angkup.
Salah seorang siswa kelas jauh Pameu, Rohana menjelaskan bahwa terdapat sekitar 31 siswa bersekolah di kelas jauh Pameu. Rinciannya, tambah Rohana, 9 siswa kelas X, 15 siswa kelas XI, dan 5 siswa kelas XII.
“Kami belajar pada balai desa. Atas bantuan masyarakat dan tetua kampung, balai des aini dibagi menjadi 3 kelas yang disekat dengan triplek. Namun saat perayaan hari-hari besar, sekat dibongkar agar dapat digunakan untuk acara lain,” sebut Rohana.
Dikatakan Rohana bahwa kelas yang mereka tempati untuk belajar sangat sempit. Jika hujan turun, maka mereka akan kena tempias hujan.
Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Alhudri, menerangkan bahwa seluruh guru di sekolah ini didatangkan dari SMA Negeri 19, Angkup. Jumlahnya 12 orang. Mereka harus berkendara sekitar 1,5 jam dari Angkup. Sebagian besar guru-guru yang mengajar di kelas jarak jauh itu menggunakan sepeda motor.
Saat pertemuan di sebuah rumah warga, Alhudri menawarkan kerjasama kepada istri prajurit TNI yang tinggal di asrama Kompi Senapan D, Yonif RK 114/SM Pameu, yang memiliki latar belakang pendidikan guru, untuk mengajar di sekolah jarak jauh itu. Sehingga guru-guru yang mengajar di SMA jarak jauh itu juga dibantu dari asrama kompi yang berjarak beberapa kilometer dari balai desa itu.
Alhudri menawarkan langsung ide tersebut kepada komandan kompi, Kapten Inf Raswan. Raswan menyanggupi dan menyatakan siap membantu pembangunan SMA pertama di Pameu.
Alhudri sangat memahami semangat untuk memiliki SMA yang representatif di daerah tersebut. Tergambar jelas saat warga menghibahkan tanah seluas satu hektar kepada Pemerintah Aceh. Mereka berharap di atas lahan ini Dinas Pendidikan Aceh dapat mendirikan sekolah untuk pendidikan anak-anak mereka.
“Semangat yang sama juga ditunjukkan oleh warga di Jamat. Masyarakat berharap Pemerintah Aceh segera mendirikan bangunan SMA di kawasan itu,” ucap Alhudri.
Alhudri menambahkan bahwa pihaknya menyatakan tekad untuk mendekatkan sekolah ke rumah siswa. Dengan demikian, anak-anak dapat terus mendapatkan pendidikan, sesuai jenjang, dan tetap bersama orang tua mereka setelah jam pelajaran berakhir.
Alhudri meyakinkan warga yang hadir pada dua pertemuan terpisah itu untuk tidak buru-buru membangun sekolah. Alhudri mengatakan membangun sekolah itu adalah urusan mudah. Namun memastikan sekolah-sekolah itu berfungsi dengan baik, adalah persoalan kompleks. Ada banyak faktor yang perlu dipertimbangkan untuk mendirikan sekolah dan memastikan uang Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh dimanfaatkan sebaik-baiknya.
“Di Sikundo (Aceh Barat) terdapat bangunan SD. Bagus, lengkap dengan sejumlah fasilitas. Namun sekolah itu akhirnya terbengkalai karena tidak ada siswa,” imbuh Alhudri.
Alhudri menegaskan bahwa pendidikan adalah hak semua anak. Anak-anak Aceh tidak kalah cerdas dari anak-anak di daerah lain. Tugas para pendidik saat ini adalah memastikan kesempatan untuk mendapatkan ilmu pengetahuan itu dapat dijangkau oleh anak-anak usia sekolah. Sehingga mereka bisa meraih masa depan, seperti yang mereka damba-dambakan.
“Saya hakul yakin bahwa sekolah merupakan tiket bagi anak-anak di kampung itu untuk mengenyam pengalaman lebih baik. Seperti di banyak daerah terpencil, fenomena kawin muda marak karena, selepas SMP, anak-anak tidak lagi melanjutkan pendidikan karena tidak ada SMA di daerah mereka,” pungkas Alhudri.
Alhudri menuturkan bahwa masa depan bangsa ini tergantung pada anak-anak hari ini. Baik atau buruk mereka ditentukan oleh pendidikan yang mereka kenyam. (*)
Editor: Darmawan