Oleh: Tgk. Banta Chairullah
Acehnese Traditional Artist
Pegiat Seni Tradisional & Sastra Aceh
Nasehat yang berbentuk hadih maja adalah nasehat di masa lampau yang memadukan unsur pengajaran serta hiburan dimasa lalu. Hadih maja merupakan salah satu perkataan atau peribahasa dalam kehidupan masyarakat Aceh. Di dalamnya mengandung unsur filosofis yang dipergunakan sebagai nasehat, peringatan, penjelasan, perumpamaan, bahkan sindiran halus sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat di Aceh.
Menurut Snouck Hurgronje dalam buku Aceh di Mata Kolonialis jilid II pada bagian kesusastraan, ia menyebutkan bahwa hadih maja dipertahankan melalui tutur para orang tua, khususnya kaum perempuan sebagai penutur utamanya yang diajarkan kepada anak-anak sebagai sarana pendidikan. Sehingga sering kali kualitas bahasa seorang anak di Aceh saat itu ditentukan oleh kecerdasan verbal ibunya.
Dari sisi sejarah, cerita atau tradisi para nenek moyang juga dapat dimasukkan dalam kategori hadih maja. Sebagai pranata dan ruhnya adat dan budaya Aceh, hadih maja memiliki banyak manfa’at, bahkan di lingkungan pendidikan.
Sangat banyak hadih maja bertema pendidikan yang sampai sekarang masih bisa direvitalisasi dan diterapkan dalam pengajaran di sekolah-sekolah, karena nilai-nilai yang terkandung dalam hadih maja umumnya merupakan nilai-nilai untuk perubahan sikap.
Memahami hadih maja membuat mengerti pola pikir orang Aceh. Menjadi tahu mengapa orang-orang Aceh dalam keadaan tersulit mampu menertawakan apa yang terjadi, dengan kebijaksanaan kuno yang diturunkan dari generasi ke generasi.
Di masa silam, barang siapa yang menguasai dan atau memiliki banyak perbendaharaan hadih maja akan menjadi tokoh yang populer dalam pergaulan, sebagaimana masyarakat di belahan dunia lainnya, terdapat fenomena jika ada dalam satu kumpulan atau kelompok seseorang mampu menguasai banyak kosa kata, maka orang tersebut akan lebih dihormati dan didengarkan.
Sekarang ini, penggunaan bahasa daerah khususnya Aceh telah mulai menurun, dimana penggunaan bahasa aceh dan hadih maja sudah semakin jarang digunakan, terutama oleh generasi muda.
Contohnya saja dalam cerita rakyat Aceh Utara tentang Sultan Malikussaleh, Cut Nyak Meutia yang didalamnya terkandung nilai-nilai kearifan lokal yaitu wujud dari kepemimpinan, pantang menyerah, silaturrahmi, persaudaraan, persatuan dan kesatuan, kerjasama dan gotong royong.
Nilai-nilai tersebut nantinya akan memberikan warna terhadap pembentukan diri anak-anak bangsa. Begitu pula dengan cerita lain yang berasal dari daerah Provinsi Aceh yang banyak mengandung nilai-nilai kearifan lokal seperti kisah tentang pahlawan-pahlawan nasional Aceh atau pun cerita legenda-legenda yang berasal dari Aceh.
Cerita-cerita tersebut dapat dimanfa’atkan sebagai bentuk kearifan lokal Aceh yang mengandung nilai kearifan lokal karena dalam sejarah daerah atau cerita rakyat banyak mengandung unsur nilai positif yang dapat ditanamkan pada jati diri seseorang.
Maka penulis akan merangkum sedikit hadih maja beserta terjemahan dalam bahasa Indonesia sebagai pengingat agar kita tak sepenuhnya lupa akan kebijaksanan para leluhur di Aceh.
“Gop yang kap campli gëutanyoë nyáng këu ëung. Gob mëu anëuk gëutanyoë nyáng madëung.” (Orang lain yang memakan cabe, kita yang kepedasan, orang lain melahirkan tapi kita yang diasapi).
Ini merupakan salah satu hadih maja berbentuk sindiran dan peringatan. Orang dengan sifat iri dengki biasanya tidak merasa senang dengan pencapaian dan kesuksesan orang lain. Perumpamaan orang lain memakan cabe tapi kita yang kepedasan, cocok untuk menggambarkan sifat orang yang suka iri dengki.
“Tajak bëutrôh tangiëng bëudëuh. Bèk rugo mëuh sakèt hatè”. (Datanglah ke tempatnya lihat dengan jelas, jangan rugi emas nanti sakit hati).
Ini salah satu anjuran agar kita lebih teliti terlebih dahulu, supaya tidak menyesal di kemudian hari. Hadih maja ini jelas merupakan seruan yang bersifat positif yang diwariskan oleh leluhur bangsa Aceh untuk generasi-generasi setelahnya.
“Adat mëukôh rëubông, hukôm mëukôh purèh, adat jëut bëurangho takông, hukôm hanjëut talanggèh”. (Adat berpotong rebung, hukum berpotong lidi. Adat bisa saja dihindari, hukum tidak bisa dipungkiri.)
Hukum Tuhan adalah hukum yang lebih sempurna dari pada ciptaan manusia. Oleh karenanya tak boleh diganggu gugat.
Sejarah berbasis kearifan lokal ini dapat diangkat menjadi pelajaran untuk menanamkan pendidikan karakter kepada remaja dengan memahami nilai-nilai kearifan lokal yang terkandung didalam kisah tersebut. Karena seiring dengan perkembangan zaman banyak cerita rakyat khusunya dalam masyarakat Aceh mengalami kondisi yang memprihatinkan.
Seperti pada perkembangan teknologi informasi, kebanyakan dari kalangan remaja menganggap bahwa cerita rakyat itu kuno, mereka lebih menyukai bermain gadget, bermain game dan lain sebagainya, serta menghilangnya generasi penutur
Hadih maja merupakan sebuah budaya serta sastra lisan yang patut diapresiasi oleh semua pihak. Terlebih bagi masyarakat Aceh, kita harus bangga dengan warisan budaya dan adat dari indatu kita
“Yôhna tëuga ta ibadat. Ta harëukat yôhgôh matè”. (Selagi kuat beribadatlah, berusahalah mencari rezeki sebelum mati).
Artinya, masa dan waktu dimanfa’atkan dengan sebaik-baiknya untuk beribadat kepada Allah, disamping itu pula pergunakanlah untuk mencari kebutuhan hidup.
“Umông mëuatëung, Urëung mëupëutuwa. Rumôh mëuadat, pukat mëukaja”. (Sawah berpematang, orang berpemimpin.
Rumah beradat, pukat berkaja)
Maksudnya adalah setiap masyarakat harus ada pemimpin untuk mengatur hak dan kewajiban anggota masyarakatnya, sehingga tujuan kerajaan tercapai sebagaimana mestinya.
“Hukôm nanggroë këupakaian, hukôm Tuhan këu kulah kama”. (Hukum negara untuk pakaian, hukum Tuhan untuk mahkota).
Hukum pada sesuatu tempat atau negara harus dipergunakan dan dipatuhi, sebagai tatacara dalam penghidupan. Hukum Tuhan adalah merupakan pedoman hidup kita dan wajib dijunjung tinggi daripada hukum negara itu sendiri.
“Matè anëuk mupat jëurat, matè adat pat tamita”. (Mati anak ada kuburan, hilang adat dimana kita harus mencarinya).
Seandainya seseorang itu tidak lagi mematuhi peraturan-peraturan yang berlaku dalam masyarakat, berarti seseorang atau anggota masyarakat tersebut tindak tanduknya menjurus kepada pembasmian adat istiadat yang berlaku. Kalau hal itu terjadi bagaimanakah untuk mengembalikan adat istiadat tersebut pada tempatnya semula.
“Ulëu bu matè rantèng bèk patah, but bëuhasè gëutanyö bèk lëumah”. (Ular harus mati, ranting jangan patah, pekerjaan harus jadi, kita jangan nampak).
Menyelesaikan sesuatu perkara hendaklah dengan bijaksana, sehingga menyenangkan bagi kedua belah pihak .
“Tahimat yôh mantôngna, bëutëugôh that yôh gôh cëulaka”. (Hemat semasa masih ada, hati-hati sebelum celaka).
Berhematlah semasa dalam keadaan senang ataupun berada, dan berhati-hati pula sebelum celaka
“Jak bëulaku linggang, pinggang bëulaku ija”. Lakukanlah sesuatu menurut kadar yang seharusnya, tidak perlu memaksakan diri bilamana memang kemampuan itu sangat terbatas.
“Nyáng miyub talingkëu, nyáng manyáng talôp, mëunan nyáng patôt hudèp lam dônya”. Menghargai yang kecil dan menghormati yang lebih tua merupakan cara hidup yang ideal dalam interaksi sosial.
“Tajak ukëu kalôn ulikôt, tajak lam pëungëuh kalôn lam sëupôt”. (Melangkah ke depan lihatlah ke belakang, melangkah didalam cahaya lihatlah ke arah gelap).
Dalam beraktifitas, harus memperhitungkan segala dampak yang nantinya diakibatkan olehnya.
“Lëumo gop mandum cirèt”. (Lembu orang semua mencret). Tidak mengakui kelebihan orang lain, hanya dirinya sajalah yang benar.
“Adat bak Potëumëruhôm, hukôm bak Syiah Kuala, qanun bak Putrô Phang, rëusam kak Bèntara”. (Adat pada sultan, hukum pada orang berilmu, undang-undang pada parlemen, Kekuatan pada militer).
“Bakgob mupakè bèk gata pawang, bakgob muprang bèk gata panglima”. (Ketika orang bertikai jangan kamu jadi pemandu, ketika orang berperang jangan kamu jadi panglima).
“Bakta tunyôk bèk mëu isëuk, bakta pëuduëk bëu mëulabang”. (Apa yang ditetapkan jangan bergeser, dimana diletakkan disitu dipaku).
“Hina bak dônya harëuta tëuh tan, hina bak Tuhan èlëumè hana”. (Terhina di dunia tiada harta, terhina di mata Tuhan tidak ada ilmu).
“Jak tajam trôk sibulëun, jak pëulëuhëun trôk siurô”. (Ngebut sampainya sebulan, lambat sampainya sehari).
“Jarak tajak le pu taëu, trèp ta hudèp le pu ta rasa”. (Jauh perjalanan banyak yang dilihat, panjang usia banyak yang telah dirasakan)
“Jaroë unëun tak, jaroë wië tarèk”. (Tangan kanan menebas, tangan kiri menarik). Hadih maja ini menyiratkan bahwa lebih baik berusaha sendiri daripada mengharapkan bantuan orang lain.
“Lagèe kaméng jak atëuh batèe”. Ini suatu ungkapan kepada orang yang belum lancar membaca (Seperti kambing berjalan di atas batu). Hadih maja ini adalah sindiran bagi orang yang belum lancar membaca.
Hadih Maja mengajarkan kita agar tidak gegabah dalam bertindak, semuanya perlu dipikirkan lebih dulu baik buruknya. Seperti halnya dengan istilah nasi sudah jadi bubur, semuanya akan tidak berguna dan sia-sia