ACEHSIANA.COM, Jakarta – Pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil dan produk tekstil (TPT) terus menghantui pekerja di seluruh Indonesia.
Terbaru, sekitar 340 buruh pabrik di Semarang kehilangan pekerjaannya setelah di-PHK pada Agustus 2024.
Kondisi ini menambah panjang daftar korban PHK di sektor TPT, yang tercatat telah mencapai lebih dari 15.000 orang sejak awal tahun 2024.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa gelombang PHK masih terus berlanjut, dan banyak perusahaan yang melakukan pemangkasan jam kerja.
“PHK masih terjadi, dan banyak perusahaan hanya memberlakukan kerja 3 hari seminggu, yang tentu berdampak pada penghasilan pekerja,” kata Ristadi pada Selasa (10/9).
Menurut data KSPN, lebih dari 15.000 pekerja di sektor TPT terkena PHK sejak awal 2024. Ristadi menjelaskan bahwa sebagian besar PHK terjadi karena penutupan pabrik atau efisiensi produksi.
Berikut data rinci yang dihimpun KSPN:
1. PHK Pabrik Tutup:
– 6 pabrik di Jawa Tengah: 13.300 pekerja di-PHK.
– 1 pabrik di Jawa Barat: 700 pekerja di-PHK.
2. PHK Efisiensi Pabrik:
– 6 pabrik di Jawa Tengah: 1.400 pekerja di-PHK.
– 2 pabrik di Jawa Barat: 714 pekerja di-PHK.
Dengan demikian, total jumlah pekerja yang terkena PHK mencapai 15.114 orang. Pabrik TPT yang tutup sejak awal tahun kini bertambah menjadi 7, dengan tambahan satu pabrik di Semarang, yaitu PT Sinar Panca Jaya.
“PT Sinar Panca Jaya di Semarang baru saja menutup operasionalnya setelah mem-PHK 314 orang di bulan Agustus 2024. Sebelumnya, mereka memiliki 3.000 pekerja,” ujar Ristadi.
Ristadi menyoroti beberapa faktor yang menjadi penyebab utama gelombang PHK di sektor TPT, terutama untuk perusahaan yang berorientasi pasar lokal.
Salah satunya adalah gempuran barang impor, baik yang legal maupun ilegal, yang telah mendominasi pasar domestik.
“Masuknya barang impor ilegal sudah mengakar kuat, dan saya ragu Satgas Barang Impor Ilegal yang baru dibentuk bisa menyelesaikan masalah ini,” jelasnya.
Selain itu, banyak perusahaan yang tidak lagi menerima pesanan, sehingga produk yang dihasilkan tidak terjual.
Hal ini menyebabkan pabrik kesulitan untuk tetap beroperasi dan harus melakukan efisiensi atau menutup pabrik sepenuhnya.
Gelombang PHK yang terus berlanjut memberikan dampak besar bagi para pekerja yang kehilangan mata pencaharian.
Ristadi mengungkapkan bahwa para korban PHK mengalami tekanan ekonomi yang berat, terutama terkait biaya hidup sehari-hari, pendidikan anak, hingga cicilan kendaraan.
“Yang bikin depresi korban PHK itu karena biaya sekolah anak dan tagihan-tagihan, termasuk cicilan motor. Situasi ini sangat memprihatinkan,” ujar Ristadi dengan nada prihatin.
Ristadi berharap pemerintah segera mengambil langkah konkret untuk menangani gelombang PHK yang terus terjadi di sektor TPT.
Ia juga menyatakan bahwa diskusi informal dengan pemerintah sudah dilakukan, dan upaya untuk menyelesaikan masalah ini akan terus dilanjutkan hingga pemerintahan baru yang akan dilantik pada Oktober 2024.
“PHK masih akan terus terjadi, terutama di perusahaan yang berorientasi pasar lokal. Meski ada investasi baru di sektor ekspor, itu tidak sebanding dengan jumlah perusahaan yang tutup,” jelas Ristadi.
Ia memperkirakan bahwa gelombang PHK masih akan berlanjut sepanjang tahun ini, hingga tidak ada lagi perusahaan tekstil lokal yang mampu bertahan.
Gelombang PHK di sektor tekstil menjadi tantangan serius bagi pemerintah, terutama dalam melindungi pekerja dan menjaga stabilitas ekonomi nasional di tengah gempuran impor barang. (*)
Editor: Darmawan