Oleh. Abdul Hamid
Tidak seperti kebiasaan kebanyakan istri yang menyiapkan nasi hangat, lauk pauk, atau sup untuk makan malam, istriku punya cara lain. Hampir setiap malam ketika aku pulang dan bersamanya, ia menyajikan sesuatu yang sederhana, tapi istimewa: semangkuk alpukat.
Aku masih ingat pertama kali ia melakukannya. Malam itu aku pulang agak larut. Badan terasa lelah, kepala penuh dengan urusan pekerjaan.
Jujur, aku membayangkan nasi putih mengepul dengan sambal pedas.
Tapi yang ia sodorkan hanya sebuah mangkuk berisi alpukat yang telah ia keruk dengan sendok, diberi sedikit susu kental manis.
“Ini makan malam kita malam ini,” katanya sambil tersenyum.
Aku menatapnya heran. “Pokat? Bukan nasi?” tanyaku.
“Ya. Pokat. Kenapa? Tidak suka?” suaranya tenang, seolah yakin aku akan menerimanya.
Aku tergelak kecil, lalu duduk di kursi makan. Awalnya hanya basa-basi, tapi begitu suapan pertama masuk ke mulutku, ada sesuatu yang berbeda.
Bukan hanya soal rasa alpukatnya, melainkan suasana yang tercipta. Ia duduk di depanku, menatap dengan mata penuh perhatian, seakan-akan seluruh dunia menyempit hanya dalam ruangan itu—antara aku, dia, dan semangkuk alpukat.
Sejak malam itu, tradisi itu berlanjut. Hampir setiap malam, ia menyiapkan alpukat. Kadang dengan susu, kadang hanya ditaburi gula, bahkan pernah ia buat jus kental yang kami seruput berdua. Sesederhana itu, tapi terasa istimewa.
Aku sering berpikir, mungkin orang lain akan menganggap aneh.
Bagaimana bisa makan malam hanya dengan buah? Bukankah orang selalu bilang makan malam harus mengenyangkan, harus dengan nasi, harus dengan lauk? Namun justru dari situlah aku belajar arti kebersamaan.
Istriku tidak pernah menjelaskan alasan kenapa ia memilih alpukat.
Mungkin ia ingin aku lebih sehat, mungkin ia ingin kami punya tradisi unik yang berbeda dari orang kebanyakan.
Atau mungkin juga, ia hanya ingin menunjukkan bahwa kebahagiaan tidak selalu datang dari sesuatu yang besar dan mewah.
Yang jelas, aku merasakannya: setiap kali kami duduk berdua, menikmati sajian sederhana itu, ada rasa tenang yang menyelimuti.
Obrolan ringan kami mengalir begitu saja, kadang tentang pekerjaan, kadang tentang rencana masa depan, kadang hanya bercanda kecil yang membuat kami tertawa sampai lupa waktu.
Semangkuk alpukat itu seolah menjadi bahasa cinta kami yang paling sederhana.
Malam demi malam berlalu. Suatu kali, aku berkata padanya, “Kau tahu, mungkin hanya kita satu-satunya pasangan yang makan malam pakai pokat.”
Ia tertawa. “Tidak apa-apa. Biar orang lain dengan cara mereka. Kita dengan cara kita.”
Dan aku pun sadar, kebahagiaan sejati bukan soal apa yang kita makan, melainkan dengan siapa kita menikmatinya.
Alpukat buatan istriku telah mengajarkanku sesuatu yang berharga: bahwa cinta sejati hadir dalam kesederhanaan, dalam perhatian kecil yang mungkin tak terlihat istimewa bagi orang lain, tetapi sangat berarti bagi yang merasakannya.
Sejak itu, setiap kali aku melihat alpukat di pasar, aku selalu teringat wajahnya.
Senyum yang ia berikan ketika menyodorkan mangkuk sederhana itu.
Dan aku pun merasa beruntung, karena dalam hidupku ada seseorang yang bisa membuat semangkuk alpukat terasa lebih istimewa daripada hidangan mewah sekalipun.
Penulis adalah Kacabdin Bireuen