Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

Bullying dan Kecerdasan Emosional Anak

Oleh: Nelliani, M.Pd

Guru SMAN 3 Seulimeum

Peran guru di era digital tampaknya makin berat dan penuh tantangan. Selain dituntut mampu beradaptasi dengan perkembangan teknologi, guru diharapkan lebih mengenal dan memahami karakteristik siswa yang merupakan bagian kompetensi pedagogik yang harus dimiliki. Pemahaman tentang karakter tidak sebatas mengenal minat, bakat atau ragam gaya belajar saja, namun memiliki pengetahuan terkait pola perilaku maupun kecerdasan emosional mereka.

Pemahaman terhadap kecerdasan emosional penting untuk mencegah perilaku negatif yang timbul dan menghambat proses pembelajaran peserta didik. Salah satu fenomena yang menyita perhatian belakangan ini, maraknya tindak bullying di kalangan pelajar. Bentuknya pun beragam. Dari bullying verbal sampai penindasan yang membuat korban tersakiti secara fisik.

Akhir-akhir ini kita disuguhkan berita meninggalnya seorang santri karena penindasan oleh senior. Seorang pelajar terpaksa dirawat karena depresi akibat kekerasan dari temannya. Munculnya geng-geng sekolah yang gemar melakukan perundungan. Kegiatan orientasi siswa baru yang tak sepi dari aksi kekerasan. Mirisnya, pada kebanyakan kasus, perundungan dipicu karena korban atau pun pelaku tidak mampu mengendalikan emosi menyikapi suatu permasalahan.

Kecerdasan Emosi

Daniel Goleman, pakar psikologi dari Universitas Harvard dalam bukunya Emotional Intelligence (2002) mengatakan kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengatur emosinya dengan inteligensi; menjaga keselarasan emosi dan pengungkapannya melalui keterampilan kesadaran diri, pengendalian diri, motivasi diri, empati dan keterampilan sosial. Dengan kata lain, kecerdasan emosional merupakan kemampuan seseorang mengelola emosi. Begitu juga memiliki kepekaan yang tinggi terhadap kondisi orang lain dan lingkungan.

Kecerdasan emosional memberi andil besar terhadap keberhasilan peserta didik dalam interaksi sosial maupun kesuksesan akademiknya. Dalam hubungan dengan beragam individu yang berbeda latar belakang, tidak selamanya seorang anak mengalami kondisi menyenangkan. Ada kala ia harus menghadapi situasi tidak sesuai harapan, teman-teman yang menyebalkan, beban belajar, maupun guru-guru yang kurang bersahabat.

Berbekal kecerdasan emosi yang baik, anak mampu mengelola suasana hati untuk berkompromi dengan berbagai situasi, mampu mengekspresikan perasaannya secara bijak serta saling menghargai perbedaan diantara sesama.

Ketika berada pada kondisi tidak menyenangkan, ia tidak larut dalam keterpurukan. Bisa berpikir rasional, memotivasi diri dan terus berjuang. Sebaliknya, anak dengan kecerdasan emosional rendah, mudah melakukan tindakan negatif bahkan cenderung agresif pada orang lain serta lingkungan.  

Penelitian menyatakan kecerdasan emosional seorang anak merupakan akumulasi dari beberapa faktor. Selain bawaan dari dalam diri individu, terdapat faktor dari luar diri seperti keluarga, media dan teman sebaya. Kondisi keluarga berkontribusi pada perilaku anak. Anak berperilaku negatif jika di rumah kerap menyaksikan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman seperti pertengkaran orang tua atau sebagai korban kekerasan. Akibatnya, anak rentan stres sehingga melampiaskan emosi dengan berlaku kasar.

Media sosial internet tidak selalu berdampak positif terhadap perkembangan emosional anak. Tontonan yang tidak mendidik dan konten-konten negatif yang mudah diakses beresiko buruk pada perilaku anak. Anak cenderung agresif, emosional karena meniru adegan negatif dari tayangan yang dilihat.

American Psycological Association (APA) dalam laporan mereka berjudul Big World, Small Screen: The Role of Television in American Society pada tahun 1992 menegaskan bahwa tayangan kekerasan berdampak besar pada perilaku agresif anak. Tayangan kekerasan akan memproduksi suasana hati yang tidak enak (bad mood) dalam diri penonton dan membuat mereka berada dalam keadaan mudah marah. Penelitian lain menjelaskan, jika anak terus menyaksikan tayangan kekerasan dalam tempo lama, maka pengalaman tersebut akan tertanam dalam memori jangka panjang. Ide-ide agresif dari tontonan akan mempengaruhi pola pikir dan cara mereka melihat lingkungannya.  

Maka tidak mengherankan, jika sebagian kasus bullying berawal dari tontonan yang bermuatan kekerasan. Sebagai pribadi dengan kecerdasan emosi yang belum matang, anak punya keinginan dalam dirinya untuk mempraktekkan tayangan yang dilihat meskipun tanpa memahami resiko yang ditimbulkan. Oleh karena itu, sudah saatnya orang tua menyadari bahaya kebebasan media digital bagi buah hati. Pengawasan dan kontrol orang tua diperlukan supaya anak dapat menggunakan gadget dan internet secara bijak dan aman.

Kehadiran teman sebaya memberi pengaruh pada perilaku dan cara manajemen emosi anak khususnya remaja. Pada usia ini, remaja membutuhkan orang lain untuk saling berbagi terkait problemanya. Rasa nyaman itu didapat dengan membangun hubungan sesama sebaya, karenanya mereka menghabiskan banyak waktu bersama komunitas.

Keinginan untuk diakui dan diterima membuat remaja harus menyesuaikan diri dengan pola tingkah laku teman sebayanya. Hubungan kelompok sebaya yang positif akan membawa hasil positif pada kecerdasan emosi yang berdampak pada perilaku dan kesuksesan akademik. Sayangnya, hubungan teman sebaya negatif sering menimbulkan beragam masalah perilaku akibat lemahnya kontrol diri, seperti terlibat perkelahian, tawuran, pornografi, perundungan sampai penyalahgunaan obat-obat terlarang.

Faktor-faktor tersebut kerap mewarnai emosional anak dalam pergaulan di sekolah.  Anak mudah marah, gemar merundung temannya atau melanggar aturan sebagai dampak dari kondisi yang sering dialami. Guru dapat mengenali emosi anak dari cara ia berkomunikasi, bekerja sama dalam tim atau bagaimana sikapnya menyikapi suatu keadaan.

Oleh karena itu, guru tidak boleh abai terhadap perkembangan emosi peserta didik. Berbagai perilaku negatif dapat diminimalisir jika saja pendidik memiliki hubungan emosional yang baik dengan siswanya. Mampu memahami mereka dan bisa mengambil posisi sebagai sahabat yang menyenangkan. Terkadang anak hanya butuh tempat berbagi untuk sekedar meringankan permasalah yang dihadapi.

Bullying makin meresahkan. Pencegahannya perlu terus dilakukan dengan membangun kecerdasan emosi siswa baik dalam proses pembelajaran maupun melalui aneka kegiatan sosial untuk mengasah empati, saling menghargai dan kepedulian. Demikian juga, sebagi role model guru harus mampu menjadi teladan dalam sikap dan perilaku. Selanjutnya, komunikasi dan kerja sama dengan orang tua perlu terjalin baik. Hal itu memudahkan dalam proses bimbingan dan memantau perkembangan anak saat ia di sekolah, rumah maupun dalam pergaulannya di masyarakat. Ketika peserta didik bisa lebih baik kecerdasan emosinya, maka bullying dapat di cegah dan dihentikan. (*)

Editor: Darmawan