Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

Budi dari Lombok: Tangis Haru di Balik Senyum Seorang Wisudawan, Ia Tanpa Siapa-siapa

Kisah nyata saya tulis hari ini

Bogor, 21 Mie 2025 Abdul Hamid

Gedung Graha Wisuda Institut Pertanian Bogor (IPB) dipenuhi oleh suka cita. Sekitar 800 wisudawan bergembira menyambut hari yang mereka nanti-nantikan selama bertahun-tahun. Wajah-wajah bahagia tampak di setiap sudut, lengkap dengan pelukan hangat dari orang tua, kerabat, dan orang-orang terkasih yang hadir untuk merayakan momen penting itu.

Di antara lautan toga dan senyum haru, ada seorang mahasiswa yang tidak ditemani siapa pun dari keluarganya. Namanya Budi, pemuda asal Nusa Tenggara Barat (NTB) yang telah menyelesaikan studi Pascasarjana di IPB. Budi bukan mahasiswa biasa. Ia dikenal sebagai sosok yang tangguh, rendah hati, dan penuh semangat. Sejak awal kuliah, ia bersahabat erat dengan putra kami, Afdhalul Ahmar. Mereka berdua hampir selalu bersama — dari awal orientasi mahasiswa baru, kerja kelompok, hingga menghadapi berbagai tantangan di dunia akademik.

Namun, berbeda dari teman-teman lainnya yang didampingi ayah, ibu, kakak, atau kerabat dekat di hari kelulusan, Budi berdiri sendiri. Bukan karena tidak ingin membawa keluarganya, tapi karena ia memang tak punya siapa-siapa lagi yang bisa hadir. Ayah dan ibunya telah lama meninggal dunia. Satu-satunya keluarga yang tersisa adalah neneknya yang sudah sangat renta dan tak mungkin bepergian jauh dari Lombok ke Bogor.

Hari itu, suasana di Graha Wisuda benar-benar meriah. Setelah prosesi selesai, setiap mahasiswa dikerumuni keluarga masing-masing untuk berswafoto, memeluk, bahkan menitikkan air mata bahagia bersama. Di tengah kerumunan itu, Budi tetap setia berdiri di sisi Ahmar. Mereka berfoto bersama sebagai sahabat karib.

Namun ada satu momen yang takkan pernah kami lupakan. Saat kami sekeluarga sedang berfoto bersama Ahmar, Budi hanya berdiri di belakang, menatap dengan pandangan kosong — seolah menyimpan rindu yang dalam untuk bisa memeluk dan berfoto bersama orang tua seperti teman-teman lainnya.

Dengan suara pelan, namun cukup jelas terdengar, Budi berkata kepada Ahmar, “Bang Amar, boleh saya foto dengan ayah abang?”

Ucapan itu menusuk kalbu kami. Saya, yang selama ini memang dekat dengan Budi karena kedekatannya dengan Ahmar, langsung memeluknya sambil menjawab, “Boleh… boleh sekali.”

Saya dan istri langsung merangkul Budi. Ia tersenyum lebar, bahagia seolah menemukan kembali sosok orang tua di tengah kerumunan. Namun justru kami yang menitikkan air mata. Ada getar perasaan yang sulit dijelaskan — antara haru, sedih, dan bangga.

Budi bukan hanya seorang anak perantauan. Ia adalah simbol dari keteguhan hati. Di saat banyak orang menyerah pada keadaan, ia tetap melangkah. Tanpa orang tua, tanpa kemewahan, namun penuh dengan semangat dan rasa syukur. Ia menyelesaikan studinya dengan penuh kerja keras, dan pada hari kelulusannya, ia memilih untuk tetap tegar.

Kisah Budi adalah potret nyata dari ribuan mahasiswa Indonesia yang merantau demi cita-cita. Ia mewakili suara mereka yang kehilangan orang tua, namun tetap berjuang, tidak untuk dikasihani, tapi untuk menunjukkan bahwa cinta, semangat, dan ketulusan dapat melampaui batas fisik.

Saya bersyukur, di hari itu, saya diberi kesempatan oleh Tuhan untuk menjadi ‘ayah’ bagi Budi walau hanya beberapa menit saat pemotretan. Tapi momen itu mungkin akan menjadi kenangan seumur hidup, bukan hanya bagi Budi, tapi juga bagi kami sekeluarga.

Hari itu kami belajar satu hal penting: Tidak semua orang yang tersenyum sedang bahagia, dan tidak semua orang yang sendiri berarti tidak punya siapa-siapa. Kadang, pelukan hangat bisa datang dari siapa pun, bahkan dari orang tua sahabat terdekat.

Terima kasih, Budi, sudah mengajarkan kami arti kekuatan, ketabahan, dan keikhlasan. Semoga masa depanmu secerah senyum yang kau tunjukkan di depan kamera hari itu. Di hatimu mungkin tidak hadir ayah dan ibu secara fisik, tapi percayalah, mereka hadir dalam setiap langkah keberhasilanmu.

Dan kini, dalam kenangan keluarga kami, engkau telah menjadi bagian yang takkan pernah terlupakan

Bogor,21 Mei 2025 Goresan Ayah Afdhalul Ahmar Untu Sobatmu BUDI . (Abdul Hamid)