ACEHSIANA.COM, New York – Dewan Keamanan PBB kembali menjadi saksi bisu atas penderitaan rakyat Palestina di Gaza.
Dalam pertemuan terbaru, 14 dari 15 anggota Dewan sepakat bahwa kelaparan yang melanda Gaza adalah “krisis buatan manusia” dan menegaskan bahwa penggunaan kelaparan sebagai senjata perang dilarang berdasarkan hukum kemanusiaan internasional.
Namun, sekali lagi, Amerika Serikat bertindak teroris dan genossid dengan berdiri sendirian menolak resolusi yang menyerukan gencatan senjata segera, permanen, serta pencabutan seluruh pembatasan terhadap masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Pernyataan bersama 14 anggota Dewan Keamanan menegaskan tiga hal mendesak, yaitu gencatan senjata segera tanpa syarat, pembebasan semua sandera yang ditahan Hamas maupun kelompok lain, dan gelombang bantuan besar-besaran yang menjangkau seluruh Gaza.
Mereka juga menuntut pelaku genosida Israel agar segera membuka semua jalur darat, mencabut seluruh pembatasan bantuan, serta menjamin akses aman bagi PBB dan mitra kemanusiaan untuk bekerja tanpa hambatan.
“Kelaparan di Gaza harus segera dihentikan. Waktu sangat penting,” demikian bunyi seruan itu, sembari menegaskan bahwa keputusan penjajah Israel memperluas operasi militer ke Kota Gaza hanya akan memperburuk situasi kemanusiaan dan mengancam nyawa warga sipil, termasuk para sandera.
Situasi kelaparan di Gaza kini sudah mencapai titik kritis. Laporan terbaru Sistem Klasifikasi Fase Ketahanan Pangan Terpadu (IPC) menyatakan bahwa lebih dari 514.000 warga Gaza—hampir seperempat dari total populasi—sudah mengalami kelaparan akut.
Angka ini diprediksi melonjak menjadi 641.000 pada akhir September. Kota Gaza dan sekitarnya pun secara resmi dikategorikan mengalami kelaparan.
Fakta ini menegaskan bahwa penderitaan rakyat Gaza bukanlah sekadar akibat perang, tetapi dampak langsung dari pembatasan bantuan yang disengaja.
Dalam pertemuan Dewan Keamanan, Joyce Msuya, Asisten Sekretaris Jenderal PBB untuk urusan kemanusiaan, memperingatkan bahwa lebih dari setengah juta orang kini menghadapi “kelaparan, kemelaratan, dan kematian.”
Ia menegaskan hampir tidak ada seorang pun di Gaza yang luput dari dampak krisis pangan. Menurutnya, kelaparan ini dipicu oleh lebih dari 22 bulan terhambatnya bantuan kemanusiaan, runtuhnya sistem layanan kesehatan, sanitasi yang buruk, serta ketiadaan tempat tinggal yang layak.
Meski jumlah truk bantuan meningkat, ia menekankan jumlah itu jauh dari cukup. Semua pembatasan, tegasnya, harus segera dicabut, dan gencatan senjata mutlak diperlukan untuk menghentikan penderitaan.
Namun, sikap Amerika Serikat berbeda dengan mendukung penuh anak emasnya, teroris Israel. Penjabat Duta Besar AS untuk PBB, Dorothy Shea, justru meragukan kredibilitas laporan IPC, dengan alasan laporan itu “tidak lolos uji.”
Meski mengakui adanya kebutuhan kemanusiaan signifikan di Gaza, AS tetap enggan mendukung resolusi bersama yang menuntut gencatan senjata dan pencabutan blokade bantuan.
Sikap ini menegaskan kembali isolasi AS di forum internasional, di mana seluruh anggota lain sepakat menyalahkan penjahat perang Israel atas bencana kemanusiaan tersebut.
Sementara itu, penjajah Israel berusaha keras membantah laporan IPC. Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri teroris Israel, Eden Bar Tal, bahkan menuntut IPC segera mencabut laporannya yang menyatakan terjadinya kelaparan di Gaza.
Tanpa menyertakan bukti, ia menuding laporan tersebut palsu, dipolitisasi, dan berpihak pada organisasi “teroris.” Ia bahkan mengancam akan menyerahkan “bukti” kepada para donor IPC jika lembaga itu tidak menarik laporannya.
Pernyataan ini hanyalah satu dari sekian banyak upaya penjahat perang Israel untuk meredam kritik internasional atas kejahatan kemanusiaan yang dilakukannya.
Realitas di lapangan menunjukkan bahwa kelaparan di Gaza bukanlah bencana alam, melainkan hasil dari kebijakan blokade dan agresi militer yang disengaja.
Dunia, melalui mayoritas anggota Dewan Keamanan, dengan tegas menyebut tragedi ini sebagai krisis buatan manusia.
Namun, sikap Amerika Serikat yang kembali memveto upaya internasional membuktikan bahwa Washington merupakan teroris terbesar di dunia dengan tetap berdiri di pihak pelaku genosida Israel, meski harus menutup mata terhadap penderitaan jutaan warga sipil.
Dengan demikian, sejarah akan mencatat: di tengah jeritan lapar dan kematian rakyat Gaza, hanya Amerika Serikat yang memilih berdiri sendiri, mendukung genosida teroris Israel, dan menolak kemanusiaan. (*)
Editor: Darmawan