Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi
OPINI  

Komunikasi: Jalan Sunyi Menuju Percaya Diri

Penulis:

Dr (C). Ir. Muhammad Hatta, SST. MT Koordinator Humas dan Kerjasama Politeknik Negeri Lhokseumawe

Seperti gunung yang berdiri menembus cakrawala, rasa percaya diri tidak lahir dalam sekejap. Ia bukan anugerah instan, melainkan hasil dari pendakian panjang yang penuh kerikil ragu dan jurang ketakutan. Dalam perjalanan itu, komunikasi hadir sebagai cahaya yang menuntun, memberi arah, dan menjaga langkah agar tidak goyah di tengah kabut.

Setiap kata yang kita ucapkan adalah gema dari batin yang terdalam. Bahasa tidak sekadar alat tukar pesan, melainkan cermin yang menyingkap siapa kita sebenarnya. Mereka yang percaya diri tidak perlu berteriak untuk didengar; ketulusan tutur dan kejernihan kata sudah cukup membuat orang berhenti dan mendengar. Kata yang lahir dari hati, diucapkan dengan teratur, selalu menemukan jalannya menuju jiwa pendengarnya.

Namun, komunikasi bukan hanya perkara kata. Tubuh pun berbicara dengan bahasa yang tak kalah kuat. Tatapan mata yang teduh, senyum yang tulus, dan gerak tubuh yang mantap menyampaikan pesan yang lebih jelas dari ribuan kalimat. Bahasa tubuh adalah simfoni kejujuran dan tak bisa berpura-pura. Ketika kata dan tubuh menyatu dalam harmoni, lahirlah wibawa yang tidak dipaksakan, melainkan mengalir dengan alami.

Di sisi lain, banyak orang menyangka percaya diri hanya diukur dari kefasihan berbicara. Padahal, mendengar adalah seni yang lebih halus dan lebih mendalam. Saat kita sungguh-sungguh mendengar, kita menampung dunia, membuka diri pada keragaman pandangan, dan memperluas cakrawala batin. Dari mendengar tumbuhlah kebijaksanaan, dan dari kebijaksanaan lahirlah keyakinan yang kokoh.

Komunikasi juga menuntut latihan yang terus-menerus. Tidak ada percaya diri yang lahir tanpa pembiasaan. Berbicara di depan cermin, berlatih presentasi di ruang kecil, atau berdialog sederhana dengan sahabat, semuanya adalah langkah kecil menuju keberanian besar. Kegagalan bukan tanda akhir, melainkan batu loncatan yang memperkuat pijakan untuk mendaki lebih tinggi.

Seperti pendaki gunung, yang jatuh tidak berhenti melangkah. Justru dari luka dan goresan itu lahir tekad baru. Begitu pula dalam komunikasi, setiap kegagalan berbicara adalah pelajaran, setiap rasa gugup adalah latihan jiwa, dan setiap keraguan adalah kesempatan untuk menguatkan keyakinan. Percaya diri bukanlah puncak yang statis, melainkan perjalanan yang terus ditempa.

Lebih jauh, komunikasi sejati bukan hanya keterampilan teknis. Ia adalah jalan hidup yang membentuk kepribadian. Ia menuntun kita untuk menemukan keseimbangan, berani tanpa angkuh, yakin tanpa menutup diri, kuat tanpa menghilangkan kelembutan. Dalam keseimbangan itu, percaya diri menemukan bentuknya yang paling indah, sebuah ketegasan yang meneduhkan, bukan menakutkan.

Percaya diri yang lahir dari komunikasi sejati juga jauh dari kepura-puraan. Ia bukan topeng untuk menutupi kelemahan, melainkan cahaya yang bersumber dari ketulusan jiwa. Orang yang percaya diri melalui komunikasi tidak sedang memamerkan dirinya, melainkan menghadirkan dirinya secara apa adanya, dengan segala kerendahan hati namun tetap penuh wibawa.

Komunikasi, pada akhirnya, adalah seni menggerakkan hati, baik hati sendiri maupun hati orang lain. Dengan kata yang tepat, bahasa tubuh yang selaras, dan kesediaan untuk mendengar dengan jernih, lahirlah hubungan yang hidup. Dari hubungan inilah tumbuh rasa percaya diri yang tidak rapuh, karena ia berakar pada keterhubungan, bukan sekadar keberanian berdiri sendiri.

Maka, jadikan komunikasi bukan sekadar keterampilan yang diasah, tetapi laku hidup yang dirawat. Biarkan ia menjadi jalan sunyi yang perlahan menumbuhkan keyakinan, mengikis keraguan, dan mengantarkan pada percaya diri yang sejati. Percaya diri yang sederhana namun berwibawa, tenang namun menggetarkan, lembut namun tak tergoyahkan seperti gunung yang berdiri teguh, kokoh namun tetap bersahaja di bawah langit yang luas.