Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi
OPINI  

Pendidikan Islam di Era Media Sosial: Menjawab Kebutuhan Generasi Z

Oleh: Samhudi

Dosen UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe, Aceh

 

Di abad ke-21 ini, pendidikan Islam berhadapan dengan lanskap baru yang cair dan dinamis. Ruang belajar tidak lagi terbatas pada kelas, masjid, dayah, atau pesantren; ia telah bertransformasi ke dalam layar-layar kecil yang senantiasa berada di genggaman. Generasi Z yang lahir dan bertumbuh bersama internet, tak lagi mengenal batas tegas antara “online” dan “offline”. Bagi mereka, jejaring sosial bukan sekadar alat, melainkan lanskap sosial tempat mereka berinteraksi, berekspresi, bahkan mencari otoritas pengetahuan, termasuk pengetahuan agama.

Dalam konteks inilah, pendidikan Islam tidak cukup bertahan pada pola transmisi satu arah dengan medium tradisional. Ia harus mampu menguasai bahasa, ritme, dan etika ruang digital tanpa kehilangan substansi keilmuan. Menghadirkan agama di layar bukan berarti mengorbankan kedalaman epistemik; sebaliknya, transformasi metodologis mesti berpijak pada maqāṣid al-syarī‘ah dan tradisi ilmiah yang tertata. Dengan landasan ini, pendidik dapat membimbing generasi Z menapaki dunia digital yang penuh sensasi, namun tetap terarah pada nilai-nilai Islam.

Generasi Z dan Tantangan Media Sosial

Generasi Z dikenal kritis, cepat, visual, kolaboratif, serta mengutamakan pengalaman autentik. Mereka terbiasa dengan format singkat, video berdurasi 30 hingga 60 detik, yang menggiring ritme perhatian. Data terbaru menunjukkan pengguna aktif media sosial di Indonesia mencapai lebih dari 143 juta orang pada Januari 2025, atau sekitar 50,2 persen dari populasi nasional. Di antara remaja, YouTube, TikTok, dan Instagram menjadi ekosistem utama. Artinya, di sanalah medan dakwah dan pendidikan harus turut hadir, bersaing dengan algoritma yang lihai memahami kebiasaan penggunanya.

Namun, kepadatan keterhubungan digital juga membawa risiko. Media sosial dapat memperluas jejaring, membuka kesempatan belajar, dan memantik kreativitas, tetapi sekaligus rawan menjerumuskan ke dalam masalah kesehatan mental, paparan konten berbahaya, hingga perilaku saling menyakiti secara daring. Penelitian menunjukkan remaja yang menggunakan media sosial lebih dari tiga jam per hari cenderung berisiko tinggi terhadap masalah citra diri. Maka, pendidikan Islam perlu menghadirkan prinsip sadd al-dzarī‘ah, menutup pintu kerusakan tanpa menutup maslahat yang bisa diraih dari pemanfaatan bijak media sosial.

Etos Literasi Qur’ani di Dunia Digital

Sejak wahyu pertama, Iqra’ (QS. al-‘Alaq [96]: 1–5), Islam telah menegaskan etos literasi. Membaca bukan sekadar akumulasi informasi, melainkan pencarian makna yang berorientasi pada “bi ismi rabbika”, dengan nama Tuhanmu. Dalam era banjir informasi, pesan ini kian relevan: generasi Z harus dilatih keterampilan membaca yang kritis, mengecek kredibilitas, memahami konteks, dan menyusun makna. QS. al-Ḥujurāt [49]: 6 yang menekankan prinsip tabayyun identik dengan fact-checking hari ini. Hadis Nabi SAW, “Cukuplah seseorang dianggap berdusta ketika ia menceritakan semua yang ia dengar”, menjadi pedoman etika digital: jangan membagikan informasi tanpa verifikasi.

Lebih jauh, al-Qur’an menegakkan etika komunikasi yang relevan di dunia maya: larangan prasangka buruk, ghibah, hingga penyebaran aib (QS. al-Ḥujurāt [49]: 12; QS. al-Nūr [24]: 19). Norma-norma ini dapat dikonversi menjadi protokol digital: komentar santun, menjaga privasi, serta mekanisme restoratif saat terjadi pelanggaran.

Literasi Digital Islami sebagai Kompetensi Utama

Pendidikan Islam hari ini perlu merumuskan Profil Pelajar Muslim Digital: beriman, beradab, cakap literasi, kritis terhadap bias, kreatif dalam menyebar kebaikan, serta tangguh menghadapi tekanan sosial. Kompetensi ini sejatinya bagian dari Ttazkiyat al-nafs di era baru, menahan diri dari budaya oversharing, melawan godaan likes, hingga menjaga haya’ di tengah budaya ekshibisionisme digital.

Untuk itu, integrasi lintas disiplin mutlak diperlukan. Guru fikih dapat menekankan adab al-ikhtilāf; guru tafsir melatih close reading ayat-ayat etika; guru TIK memperkenalkan logika algoritmik; sementara guru bahasa mengajarkan argumentasi yang santun. Dengan demikian, literasi digital Islami bukan sekadar pelajaran tambahan, tetapi menjadi benang merah kurikulum.

Guru sebagai Influencer Berintegritas

Pada akhirnya, kualitas pendidik tetap menjadi kunci. Di era media sosial, guru ideal adalah murabbi yang tidak hanya melek metodologi dan teknologi, tetapi juga melek narasi. Mereka bukan influencer, dalam arti sempit yang mengejar angka, melainkan pembentuk pengaruh berbasis integritas. Seorang guru adalah “algoritma hidup” yang menyehatkan: ia mengangkat yang baik, menyembunyikan yang buruk, dan menyarankan yang bermanfaat.

Dalam setiap komentar, ia menimbang qaulan sadīdan; dalam perbedaan, ia memilih qaulan layyinan; dalam kritik, ia berpegang pada qaulan ma‘rūfan. Inilah kosakata Al-Qur’an tentang komunikasi yang layak dihidupkan kembali di era comment section.

Penutup

Media sosial memang bukan pengganti halaqah. Ia hanyalah perpanjangan ruang. Halaqah menjaga keintiman dan adab, sementara media sosial memperluas jangkauan dan membuka akses. Keduanya saling melengkapi, laksana samudera dan sungai yang bertemu dalam muara.

Di tengah derasnya arus digital, pendidikan Islam ditantang untuk tetap menghadirkan uswah (keteladanan) . Sebab pada akhirnya, teladanlah yang membentuk habit of mind sekaligus habit of heart. Seorang guru yang istiqamah, meski tidak hadir di semua platform, tetap akan dikenang oleh murid-muridnya sebagai cahaya yang menuntun, bukan sekadar konten yang lewat di layar.

Wallāhu a‘lam bi al-ṣawāb.