Oleh: Safira Hafiza Zahwa, Mahasiswa Program Studi Psikologi UIN Sunan Ampel Surabaya
“Kesetaraan gender bukan hanya soal keadilan bagi perempuan, ini adalah investasi paling cerdas untuk masa depan sebuah bangsa.”
Pernyataan ini bukan sekadar kutipan inspirasional, tetapi cermin dari kegelisahan saya sebagai anak muda yang tumbuh dalam masyarakat yang plural dan sarat dinamika sosial. Saya sering bertanya, mengapa potensi setengah penduduk negeri ini, yakni perempuan masih sering diabaikan dalam pengambilan keputusan penting? Dalam ruang-ruang publik, di meja-meja kebijakan, suara perempuan masih belum menjadi arus utama. Padahal, jika kita ingin serius bicara tentang pembangunan berkelanjutan, maka kesetaraan gender bukan bisa-tidaknya, melainkan harus.
Dalam kerangka Sustainable Development Goals (SDGs), kesetaraan gender berdiri kokoh sebagai Tujuan ke-5. Ini bukan sekadar angka dalam dokumen internasional. Ini adalah panggilan untuk menghapus diskriminasi dan memastikan perempuan mendapat ruang seluas-luasnya untuk berkembang dan berkontribusi. Namun realitas di Indonesia masih penuh tantangan. Budaya patriarki, stereotip gender, dan beban ganda yang dipikul perempuan membuat kebijakan yang sudah baik di atas kertas, sering kali terhambat di lapangan.
Ambil contoh Permendagri No. 15 Tahun 2008 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). Semangatnya jelas: memastikan kebijakan daerah memasukkan perspektif gender. Tapi dalam praktik, banyak daerah masih kesulitan. Minimnya pendampingan teknis, anggaran yang terbatas, serta kurangnya pemantauan membuat kebijakan ini sering mandek di tengah jalan. Studi di Kota Malang menunjukkan, tanpa kolaborasi kuat antara pemerintah, sekolah, dan masyarakat, PUG sulit menembus akar persoalan.
Kesetaraan gender bukan tentang menyamakan segala hal antara laki-laki dan perempuan. Ini tentang keadilan, akses yang setara, kesempatan yang sama, dan partisipasi yang adil dalam segala ranah kehidupan. Tapi ketika perempuan masih harus berjuang keras untuk diakui, ketika suara mereka tidak dianggap penting, ketika mereka dibebani tugas domestik sekaligus publik tanpa dukungan memadai, maka yang terjadi bukan keadilan, tapi ketimpangan yang diwariskan secara sistematis.
Data dari World Economic Forum pada 2025 menempatkan Indonesia di peringkat 97 dalam laporan kesenjangan gender global. Ini bukan sekadar angka, ini alarm keras bahwa bangsa kita masih tertinggal dalam soal keadilan gender. Padahal, berbagai studi menunjukkan bahwa pemberdayaan perempuan, khususnya secara ekonomi, justru berdampak positif bagi institusi dan komunitas. Perempuan yang terlibat aktif dalam koperasi, manajemen, dan kewirausahaan terbukti meningkatkan kinerja lembaga. Namun semua itu tidak akan berarti tanpa dukungan kebijakan yang konkret, monitoring yang ketat, dan edukasi yang berkelanjutan.
Dunia pendidikan pun memegang peranan kunci. Di banyak sekolah, masih ditemukan kurikulum yang bias gender, atau pendekatan pengajaran yang belum sensitif terhadap realitas perempuan. Padahal dari sekolah dasar hingga pendidikan tinggi, semangat kesetaraan harus sudah ditanamkan. Pendidikan Islam pun perlu membuka ruang diskusi kritis tentang peran perempuan dalam masyarakat Muslim yang lebih adil dan kontekstual.
Teknologi digital seharusnya bisa menjadi jembatan untuk mempercepat kesetaraan. Lewat media sosial, perempuan kini bisa berbagi kisah, membentuk opini, dan menjadi agen perubahan. Tapi kenyataannya, kesenjangan digital antara laki-laki dan perempuan masih menjadi tantangan nyata. Tanpa literasi digital yang merata dan akses yang adil, teknologi justru bisa melanggengkan ketimpangan.
Indonesia sudah meratifikasi CEDAW dan berbagai konvensi internasional tentang hak perempuan. Tapi apa arti ratifikasi jika implementasinya lemah? Budaya birokrasi yang belum responsif, lemahnya kapasitas kelembagaan, dan resistensi sosial membuat perjalanan kesetaraan gender masih panjang dan berliku.
Maka saya percaya: kesetaraan gender harus menjadi strategi utama dalam pembangunan bangsa. Ini bukan urusan perempuan semata. Ini adalah urusan kita semua. Laki-laki dan perempuan harus berdiri sejajar, saling menguatkan, dan bersama-sama membawa Indonesia menuju masa depan yang inklusif, adil, dan berkelanjutan.