Oeh: Dr (C). Ir. Muhammad Hatta, SST. MT Mahasiswa Program Doktoral Konsentrasi Komunikasi Penyiaran Islam UIN Sultanah Nahrasiyah Lhokseumawe
Media sosial awalnya diciptakan sebagai ruang kebebasan, tempat bertukar cerita, memperluas jejaring, dan menghidupkan kembali relasi-relasi yang sempat terputus. Di warung kopi, di ruang keluarga, hingga di sela waktu kerja, media sosial hadir menyemarakkan percakapan. Ia menawarkan keintiman dalam jarak, dan keterhubungan dalam keterpisahan.
Namun kini, dunia yang kita temui di layar bukan lagi representasi murni dari realitas sosial, melainkan refleksi dari sistem yang memetakan keinginan kita, menyortir perspektif kita, dan mengarahkan perhatian kita. Alih-alih ruang terbuka, media sosial telah berubah menjadi mekanisme instruksi, di mana algoritma mengatur apa yang layak dilihat, didengar, bahkan dipercayai.
Dari Ruang Interaksi ke Mekanisme Instruksi
Jika dulu media sosial seperti pasar yang riuh oleh suara beragam, kini ia lebih mirip koridor sempit yang disesuaikan dengan minat masing-masing individu. Kita tidak lagi menjelajah dunia, tetapi hanya berputar-putar dalam ruang yang disusun berdasarkan histori klik dan preferensi pribadi.
Misalnya, seorang ibu rumah tangga yang sering mencari resep makanan, lama-kelamaan hanya akan disuguhi video masak dan promosi alat dapur. Ia tak lagi melihat berita penting tentang lingkungan sekitar, kebijakan pendidikan, atau isu kesehatan masyarakat. Dunia digitalnya dipersempit oleh algoritma yang menganggap “itu saja yang ia butuhkan.”
Demikian pula, seorang remaja yang suka konten motivasi akan terus dibombardir dengan kutipan inspiratif, tetapi bisa saja terlewat isu besar seperti krisis iklim, konflik politik, atau kenaikan harga bahan pokok. Semua ini mempersempit cakrawala berpikir, karena algoritma lebih mementingkan engagement ketimbang keberagaman informasi.
Polarisasi yang Diproduksi Secara Halus
Di masyarakat yang majemuk, perbedaan pandangan seharusnya menjadi ruang dialog. Namun algoritma media sosial justru memperkeras perbedaan itu, dengan hanya menampilkan konten yang sesuai dengan keyakinan masing-masing pengguna. Fenomena ini menjadi salah satu penyebab meningkatnya polarisasi, baik dalam politik, agama, hingga gaya hidup.
Contohnya terlihat jelas saat Pemilu atau Pilkada. Seorang warga yang menunjukkan dukungan pada kandidat tertentu akan terus disuguhi narasi yang mendukung pilihannya, dan jarang sekali (atau bahkan tidak pernah) melihat narasi dari sisi lawan. Akibatnya, empati dan ruang diskusi menjadi sempit. Masyarakat terbelah bukan karena pilihan yang berbeda, tapi karena tidak saling mendengar.
Di tingkat keluarga, perbedaan pandangan politik bisa menjelma menjadi pertengkaran. Ayah mendukung A, anak mendukung B, masing-masing percaya kebenaran dari informasi yang mereka terima, tanpa sadar bahwa keduanya sebenarnya “dibimbing” oleh algoritma yang berbeda.
Filter Bubble: Dunia dalam Cangkang
Filter bubble adalah keadaan ketika seseorang hanya melihat informasi yang disesuaikan dengan preferensi mereka, menyebabkan mereka terjebak dalam “gelembung informasi.” Ini bukan sekadar isu teknis, tapi menyentuh kehidupan nyata.
Bayangkan seorang guru yang setiap hari misalnya mengakses media sosial hanya untuk menghibur diri dengan konten lucu dan hiburan ringan. Ia mungkin tidak mengetahui bahwa kurikulum pendidikan sedang dalam perubahan besar, atau bahwa ada peluang beasiswa bagi muridnya, karena semua itu tidak muncul di linimasa digitalnya. Algoritma telah menyaring informasi yang menurut mesin “tidak relevan,” padahal dalam kenyataan, sangat penting.
Echo Chamber: Gema Tanpa Dialog
Echo chamber adalah kondisi di mana seseorang hanya berinteraksi dengan orang-orang yang berpandangan sama, sehingga suara dan pandangan mereka terus dikukuhkan tanpa tantangan. Ini menciptakan ilusi kebenaran absolut, yang berbahaya dalam masyarakat demokratis.
Di grup WhatsApp keluarga, kadang kita temui informasi yang terus dibagikan berulang kali oleh orang yang sama. Meskipun keliru, karena semua dalam grup memiliki keyakinan yang serupa, tak ada yang mengoreksi. Dalam kasus-kasus ekstrem, ini bisa memicu kebencian terhadap kelompok tertentu, atau memperkuat teori konspirasi yang tidak berdasar.
Menyadari, Mengendalikan, dan Mengoreksi
Menyalahkan algoritma sepenuhnya tentu tidak adil. Namun, kesadaran adalah langkah awal yang krusial. Kita harus menyadari bahwa apa yang kita lihat di layar bukan seluruh realitas, tetapi versi yang telah disaring oleh mesin.
Sebagai pengguna, kita bisa mulai dengan memperluas jaringan pertemanan digital, mengikuti akun-akun dari spektrum pemikiran yang berbeda, dan memverifikasi informasi sebelum membagikannya. Platform media sosial juga perlu didorong untuk lebih transparan dalam cara algoritma mereka bekerja, serta menyediakan fitur kontrol yang lebih besar kepada pengguna.
Pemerintah dan lembaga pendidikan pun harus mengambil peran. Literasi digital tak cukup hanya mengajarkan cara menggunakan perangkat, tapi juga bagaimana menyikapi informasi, membedakan fakta dari opini, serta berani berpikir kritis di tengah arus konten yang terus bergulir.
Penutup
Dunia kita tak lagi dibentuk oleh interaksi semata, tapi oleh instruksi yang disampaikan lewat algoritma. Kita hidup dalam sistem yang bisa mempertemukan sekaligus memisahkan, bisa mencerdaskan sekaligus menyesatkan. Maka, tugas kita bukan menolak teknologi, tapi mengendalikannya agar tetap menjadi alat, bukan penentu arah hidup.
Mari kembali menjadikan ruang digital sebagai ruang dialog, bukan gema. Sebagai jendela dunia, bukan cangkang. Dan sebagai alat pembebas, bukan pengatur nasib tanpa sadar.