Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

Krisis Lapangan Kerja Layak di Indonesia, Masyarakat Terjebak sebagai Driver Ojek Online

Krisis Lapangan Kerja Layak di Indonesia, Masyarakat Terjebak sebagai Driver Ojek Online

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Indonesia dinilai tengah menghadapi krisis lapangan kerja yang layak, ditandai dengan maraknya masyarakat yang terpaksa menjadi pengemudi ojek online (ojol).

Fenomena ini menunjukkan keterbatasan pilihan di sektor formal bagi banyak pekerja yang berharap mendapatkan pekerjaan yang lebih stabil dan terjamin.

Dosen Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM) Institut Teknologi Bandung (ITB), Yorga Permana, dalam diskusi yang diselenggarakan oleh Institute for Development of Economics and Finance (Indef) bertajuk Kelas Menengah Turun Kelas, mengungkapkan hasil studinya mengenai pengemudi ojol di wilayah Jakarta.

Berdasarkan penelitian tersebut, mayoritas pengemudi ojol sebenarnya ingin bekerja di sektor formal.

“Kesimpulan studi saya adalah 66% dari mereka ingin bekerja menjadi pegawai atau buruh, tapi mereka tetap bekerja di sektor gig worker karena tidak ada pilihan lain,” jelas Yorga, Selasa (10/9).

Yorga menekankan bahwa tingginya jumlah masyarakat yang terjebak sebagai gig worker menjadi ancaman serius bagi stabilitas ekonomi.

Gig worker, seperti pengemudi ojek online, lebih rentan secara ekonomi karena tidak memiliki upah bulanan tetap dan kepastian pendapatan.

Menurut Yorga, hal ini menjadikan para pengemudi ojek online tergolong ke dalam kelas ekonomi rentan atau maksimal aspiring middle class (AMC).

“Fenomena gig worker ini juga sangat kental di perkotaan. Kami menemukan bahwa 25% pengemudi ojol dan kurir tinggal di Jabodetabek, dan sekitar 40% dari mereka berada di Pulau Jawa,” tambah Yorga.

Ia juga menjelaskan bahwa tren gig worker bukanlah fenomena baru. Dalam 10 tahun terakhir, peningkatan pekerjaan di sektor logistik dan self-employment mendominasi pertumbuhan pekerjaan baru di DKI Jakarta. Sebaliknya, tidak ada peningkatan signifikan dalam penciptaan lapangan kerja formal.

“Secara agregat, tidak ada pekerjaan baru di sektor formal, tapi pekerjaan di bidang logistik, *self-employment*, meningkat pesat,” kata Yorga.

Yorga juga mengkritik bahwa masalah ini tidak bisa hanya dilihat dari sisi ketidakadilan dalam skema kemitraan yang menguntungkan platform besar.

Menurutnya, krisis pekerjaan layak yang terjadi di Indonesia adalah akar dari banyaknya orang yang terpaksa menjadi pengemudi ojol.

“Indonesia sedang mengalami krisis pekerjaan layak, sehingga banyak orang lari menjadi driver ojol karena tidak adanya pilihan pekerjaan lain,” tegasnya.

Fenomena ini juga berdampak pada kondisi kelas menengah di Indonesia. Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), sebanyak 9,48 juta orang dari kelas menengah turun ke kelas ekonomi yang lebih rendah sepanjang 2019-2024.

Yorga mengatakan, keberadaan kelas menengah yang kuat hanya dapat terwujud jika tersedia pekerjaan dengan gaji yang layak.

“Kelas menengah yang kuat tidak akan tercipta tanpa pekerjaan layak dan stabil,” ujarnya.

Hal senada diungkapkan oleh Teuku Riefky, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI).

Menurutnya, penurunan kelas menengah di Indonesia tidak terlepas dari stagnasi di sektor lapangan kerja.

Riefky mencatat bahwa sejak satu dekade terakhir, tidak banyak perubahan signifikan dalam mobilitas tenaga kerja Indonesia.

Pada 2014, sekitar 72,6% kelas menengah masih bekerja di sektor produktivitas rendah seperti pertanian, dan angka tersebut tidak banyak berubah pada 2023, yaitu sebesar 72,3%.

“Ini mengindikasikan tidak adanya perbaikan signifikan dari mobilitas tenaga kerja menuju sektor yang lebih produktif,” tutur Riefky.

Krisis pekerjaan layak di Indonesia, yang ditandai dengan maraknya gig worker dan ketidakmampuan sektor formal dalam menciptakan lapangan kerja yang memadai, berpotensi menambah tekanan pada kelas menengah dan memperburuk ketimpangan ekonomi di masa depan. (*)

Editor: Darmawan