Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

P2G Tolak Usulan Sri Mulyani soal Perubahan Skema Anggaran Pendidikan 20% APBN

P2G Kritik Kebijakan Pendidikan dan Guru di Akhir Tahun 2023
Koordinator P2G, Satriwan Salim

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyatakan penolakannya terhadap rencana Menteri Keuangan Sri Mulyani yang ingin mengubah skema mandatory spending 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pendidikan.

Koordinator Nasional P2G, Satriwan Salim, menyebutkan bahwa usulan tersebut berpotensi melanggar konstitusi. Hal ini disampaikan dalam keterangan resmi yang diterima oleh detikEdu pada Senin (9/9).

Satriwan mengungkapkan bahwa pengubahan skema anggaran ini dikhawatirkan dapat memperkecil alokasi dana pendidikan, terutama karena APBN untuk pendapatan negara lebih kecil dibanding belanja negara.

Alasan P2G Menolak Usulan Sri Mulyani adalah:

1. Anggaran Wajib 20% Sesuai UUD 1945

Menurut Satriwan, pengurangan anggaran pendidikan bertentangan dengan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 yang menetapkan bahwa anggaran pendidikan harus sekurang-kurangnya 20% dari APBN dan APBD.

“Dengan anggaran sebesar 20% atau setara Rp 665 triliun, biaya pendidikan masih terasa mahal bagi masyarakat. Angka ini sudah bersifat minimalis, jadi mengapa harus dikurangi lagi?” ungkap Satriwan.

Ia juga menyoroti penggunaan dan pengelolaan anggaran yang dinilai masih kurang efektif, dengan banyaknya masalah yang belum terselesaikan, seperti bangunan sekolah rusak, tingginya angka pengangguran lulusan SMK, rendahnya rata-rata lama sekolah, hingga gaji guru honorer yang belum layak.

“Potret pendidikan kita masih memprihatinkan. Banyak masalah yang membutuhkan keberpihakan anggaran, tetapi mengapa justru ingin dikurangi?” tambahnya.

2. Alokasi Anggaran yang Timpang

Satriwan juga menyoroti ketimpangan dalam alokasi anggaran pendidikan. Dari total 20% anggaran pendidikan, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) hanya mengelola sekitar 15% atau Rp 98,9 triliun, sementara Kementerian Agama mengelola 9% atau sekitar Rp 62,3 triliun.

Sebagian besar anggaran, sekitar 52% atau Rp 346 triliun, berupa transfer ke daerah dan dana desa.

“Skema ini kami tolak sejak awal. Dana desa seharusnya tidak diambil dari dana pendidikan yang bersifat mandatory,” tegas Satriwan.

3. Redesain Realisasi Anggaran 20%

P2G mendorong pemerintah untuk mendesain ulang realisasi anggaran 20% APBN dan APBD agar lebih efektif dan berdampak nyata.

Menurut Satriwan, alokasi yang lebih besar seharusnya diberikan kepada Kemendikbudristek dan Kemenag, bukan dialihkan ke dana desa yang tidak berkaitan langsung dengan fungsi pendidikan.

4. Anggaran Sekolah Kedinasan yang Disproposional

P2G juga mengkritik alokasi anggaran yang besar untuk sekolah kedinasan, yang mencapai Rp 32,85 triliun.

Sebaliknya, anggaran untuk perguruan tinggi negeri hanya Rp 7 triliun, yang menurut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terlalu kecil dan menyebabkan mahalnya biaya kuliah.

“Minimnya anggaran untuk perguruan tinggi negeri berujung pada mahalnya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang membuat mahasiswa terpaksa meminjam uang melalui pinjaman daring,” ujar Iman Zanatul Haeri, Kepala Bidang Advokasi P2G.

5. Anggaran Pendidikan Harus Menyentuh Kebutuhan Riil

Iman menambahkan bahwa anggaran pendidikan saat ini belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan riil siswa, seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS).

Meskipun sudah ada dana BOS, orang tua masih harus mengeluarkan biaya tambahan untuk seragam, buku, kunjungan lapangan, hingga ekstrakurikuler.

“Pihak kami sangat menyesal bahwa terdapat dana sebesar Rp 111 triliun yang tidak terserap secara maksimal. Padahal, anggaran ini seharusnya bisa digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan guru honorer dan memperbaiki fasilitas sekolah,” lanjut Iman.

Dengan kondisi anggaran yang tidak terserap, sementara pendidikan semakin mahal dan fasilitas masih banyak yang tidak memadai, P2G mendesak agar tata kelola anggaran pendidikan dibenahi.

Mereka berharap pemerintah dapat lebih memperhatikan kebutuhan riil dunia pendidikan dan tidak mengubah skema anggaran yang sudah diatur dalam konstitusi. (*)

Editor: Darmawan