Oleh: Nelliani, M.Pd
Menuju 100 tahun kemerdekaan di tahun 2045, Indonesia memiliki visi sebagai negara berdaulat, maju, adil dan makmur. Untuk mewujudkan visi tersebut dibutuhkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing global. Oleh karena itu, pendidikan menjadi pilar utama yang perlu mendapat perhatian. Negara harus menjamin setiap warga negara memperoleh pendidikan sebagaimana amanat Undang-Undang Dasar 1945 yaitu negara berkewajiban mencerdaskan kehidupan bangsa.
Upaya mencerdaskan bangsa bisa tercapai jika seluruh anak Indonesia memperoleh kesempatan yang setara terhadap akses pendidikan. Nyatanya, sampai saat ini masih ditemukan berbagai permasalahan dan tantangan yang melingkupi dunia pendidikan. Sering diberitakan anak berhenti sekolah karena terkendala biaya, infrastruktur pendidikan yang belum merata, disparitas kualitas antara kota dan desa, transportasi yang terbatas di wilayah pelosok hingga kebijakan yang acap kali tidak memihak masyarakat lemah.
Biaya pendidikan yang terus naik menjadi penyebab utama anak putus sekolah. Kabar yang menyedot perhatian baru-baru ini tentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) disejumlah kampus. Akibatnya, sejumlah calon mahasiswa baru di beberapa perguruan tinggi negeri memilih mengundurkan diri karena tidak sanggup membayar uang kuliah yang terbilang mahal.
Persoalan lain yang perlu dibenahi adalah ketimpangan akses pendidikan di perbatasan atau daerah terpencil. Banyak kita dengar kisah anak-anak pedalaman kesulitan mengenyam bangku sekolah. Mereka harus menempuh jarak cukup jauh dengan kondisi medan yang tidak ringan. Seperti cerita 3 siswa SD di Pangkep, Sulawesi Selatan harus berjalan kaki sejauh 10 km setiap hari menuju sekolah.
Itulah sebagian kecil potret perjuangan anak negeri dalam meraih impian. Bisa jadi di luar sana banyak kisah serupa dan lebih memilukan. Sungguh ironi, ketika di kota tersedia bermacam fasilitas, disaat yang sama anak-anak pedalaman harus berjuang keras melewati jalanan terjal, gunung, mengarungi sungai untuk sampai sekolah. Terkadang minimnya sarana transportasi membuat mereka terpaksa memadamkan cita-cita. Di tengah visi besar menuju Indonesia emas, seyogianya pemerintah bergerak cepat membereskan permasalah yang selama ini belum tersentuh.
Pajak
Pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang sangat penting. Hampir 80 persen keuangan nasional yang tersusun dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN) berasal dari pajak. Pajak dimanfaatkan mendukung berbagai program prioritas dan kebijakan nasional termasuk sektor pendidikan. Untuk itu, setiap tahun pemerintah mengalokasikan 20% APBN sebagai anggaran pendidikan.
Tahun 2024 anggaran pendidikan mencapai 660,8 triliun dari APBN 2024. Dana itu digunakan untuk membangun sekolah, laboratorium, ruang perpustakaan, membayar gaji guru dan tenaga pendidik, meningkatkan kesejahteraan dengan pemberian insentif dan tunjangan profesi, menyediakan bantuan belajar siswa miskin atau beasiswa berprestasi. Pajak juga menjadi sumber pendanaan peningkatan kualitas pendidikan seperti pelatihan, pengembangan kurikulum serta penyediaan perangkat teknologi untuk meningkatkan mutu pembelajaran.
Salah satu bantuan pendidikan yang dirasakan manfaatnya adalah pemberian beasiswa bagi peserta didik kurang mampu melalui Program Indonesia Pintar (PIP). Dilansir dari laman pip.kemdikbud.go.id, PIP dirancang membantu anak usia sekolah dari keluarga miskin/rentan miskin/prioritas tetap mendapatkan layanan pendidikan sampai tamat pendidikan menengah, baik melalui jalur formal SD sampai SMA/SMK dan jalur non formal paket A sampai C dan pendidikan khusus. Melalui program ini pemerintah berupaya mencegah peserta didik dari kemungkinan putus sekolah.
Menurut data Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan (Puslapdik) Kemdikbudristek, 9,7 juta siswa SD, SMP, SMA dan SMK telah menerima dana PIP sampai Maret 2024. Pada tahun ini, pemerintah menargetkan 18,6 juta siswa menerima bantuan PIP dengan anggaran 13,4 triliun. Jumlah itu meningkat dibanding tahun sebelumnya yakni 9,1 triliun dengan sasaran 18,1 juta siswa disemua jenjang.
Pemberian bantuan pendidikan merupakan contoh bagaimana pajak yang dipungut, dikelola oleh negara dan pada akhirnya dikembalikan kepada masyarakat dalam berbagai bentuk layanan pendidikan. Beasiswa menjadi solusi ideal meringankan beban peserta didik dari keluarga ekonomi lemah agar dapat merasakan kesempatan belajar yang sama seperti anak berkemampuan lainnya. Kita berharap juga pemerintah mengoptimalkan layanan pendidikan di bidang lain dan tidak melupakan anak-anak bangsa yang berjuang sendiri di pelosok negeri.
Sadar Pajak
Meskipun pajak berkontribusi besar dalam mendukung pendidikan, namun kesadaran masyarakat membayar pajak masih rendah. Tahun 2023 rasio pajak Indonesia 10,21% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Angka tersebut termasuk paling rendah diantara negara-negara di kawasan Asia Tenggara.
Kenapa kesadaran masyarakat untuk taat pajak tergolong rendah?. Ada beberapa faktor mendasarinya, pertama banyak masyarakat belum memahami rupiah yang mereka bayarkan berdampak langsung terhadap keberhasilan agenda-agenda pendidikan. Sebagian lainnya meragukan dana mereka dikelola dengan bijak melihat fenomena yang ada tentang berbagai ketimpangan pendidikan di wilayah pinggiran.
Faktor lain, terungkapnya kasus-kasus petugas pajak yang kurang berintergritas. Oknum yang berani “bermain” dengan wajib pajak, belum lagi gaya hidup mewah pegawainya sehingga menurunkan trust terhadap pengelola pajak itu sendiri.
Tidak dimungkiri pajak memiliki andil dalam pembiayaan pendidikan di Indonesia. Untuk meningkatkan kepatuhan pajak, pemerintah perlu memjamin setiap uang pajak yang disetor dikelola dengan sistem yang bersih, adil dan menjunjung tinggi azas kebermanfaatan. Pengelolaan pajak yang profesional akan menghadirkan manfaat nyata bagi seluruh rakyat Indonesia. Diantaranya dengan terwujudnya akses pendidikan yang setara untuk semua anak bangsa dimana pun berada. (*)
Penulis adalah Guru SMAN 3 Seulimeum
Editor: Darmawan