Oleh Heni Ekawati, S.Pd., M.Pd
Di ujung barat Pulau Sumatera, terletak sebuah kota yang kaya akan sejarah dan kekayaan budaya, yang dikenal sebagai Kota Banda Aceh. Kota ini dikelilingi oleh pegunungan hijau dan lautan yang luas, dan di tengah-tengah mengalir sungai yang menyediakan sumber kehidupan bagi penduduknya. Kota ini memiliki 9 Kecamatan. Satu di antaranya adalah kecamatan Syiah Kuala.
Di Kecamatan Syiah Kuala ini ada satu gampong yang memiliki kisah cerita, menjadi legenda cerita rakyat Aceh, yakni Gampong Alue Naga. Lokasinya berhadapan langsung dengan Pulau Weh dan berbatasan dengan Desa Kajhu yang sudah masuk dalam territorial Aceh Besar.
Secara geografis, desa Alue Naga jadi pertemuan Samudera Hindia dengan aliran sungai Krueng Aceh yang jadi denyut jantung Kota Banda Aceh sejak dulu. Desa ini pun punya cerita yang sangat melegenda.
Di zaman dahulu kala, hiduplah seorang Sultan bernama Sultan Meurah. Sultan tersebut terkenal baik dan bijak. Dia kerap berkunjung ke pedesaan untuk mendengar keluh kesah rakyatnya yang jauh dari jangkauannya.
Suatu hari Sultan Meurah mendapat kabar tentang keresahan rakyatnya di suatu tempat, lalu beliau mengunjungi tempat tersebut di pinggiran Kuta Raja untuk mengetahui lebih lanjut keluhan rakyatnya.
“Tuanku banyak ternak kami raib saat berada di bukit Lamyong,” Kemarin juga 2 kambing tetangga saya hilang entah kemana”.keluh seorang peternak.
“Terkadang bukit itu menyebabkan gempa bumi, sehingga sering terjadi longsor dan membahayakan orang yang kebetulan lewat di bawahnya,” tambah yang lainnya.
“Sejak kapan kejadian itu?” Tanya Sultan Meurah. “Sudah lama Tuanku, menjelang Ayahanda Tuanku mangkat,” jelas yang lain.
Sesampai di istana, Sultan memanggil sahabatnya Renggali. Renggali sendiri adalah anak Sultan Alam adik dari Raja Linge Mude. Sultan pun akhirnya memerintahkan sahabatnya yaitu Renggali untuk mencari tahu keluhan masyarakat tersebut.
“Dari dulu aku heran dengan bukit di Lamnyong itu,” kata Sultan Meurah. “Mengapa ada bukit memanjang di sana. Padahal di sekitarnya rawa-rawa yang selalu beratı,” sambung Sultan Meurah. “Menurut cerita orang tua, bukit itu tiba-tiba muncul pada suatu malam,” jelas Renggali. “Ayah hamba, Raja Linge Mude, curiga akan bukit itu saat pertama sekali ke Kuta Raja, seolah-olah bukit itu memanggilnya,” tambahnya. “Cobalah engkau cari tahu ada apa sebenarnya dengan bukit itu!” Perintah Sultan.
Mendengar dirinya mendapat perintah, Renggali segera bergegas menuju puncak bukit. Sesampainya di sana, ia melihat Ada genangan air yang sangat luas. Dia menelusuri setiap jengkal dan sisi bukit tersebut, mulai dari pinggir laut di utara sampai ke kesisi selatan. “Bukit yang aneh, “bisik Renggali dalam hati. Kemudian dia mendaki bagian yang lebih tinggi dan berdiri di atasnya. Tiba-tiba dari bagian di bawah kakinya mengalir air yang hangat. Renggali kaget dan melompat ke bawah sambil berguling. Kemudian suara menggelegar yang meminta maaf terdengar memekakkan telinga.
“Ku mohon, maafkan aku!”
Bersamaan dengan suara itu, gempa terjadi. Renggali tentu mencari sumber suara itu. Ternyata, ia melihat seekor naga besar yang tertutup semak belukar. Renggali tentu terkejut.
“ Maafkan hamba putra Raja Linge!” Tiba-tiba bukit yang tadi dipijaknya bersuara. Renggali kaget dan segera bersiap-siap, “siapa Engkau?” Teriaknya. Air yang mengalir semakin banyak dari bukit itu membasahi kakinya, “hamba naga sahabat ayahmu,” terdengar jawaban dari bukit itu, dikuti suara gemuruh.
Renggali sangat kaget dan diperhatikan dengan saksama bukit itu yang berbentuk kepala ular raksasa walaupun di penuhi semak belukar dan pepohonan. “Engkaukah itu? Lalu di mana ayahku? Tanya Renggali. Air yang mengalir semakin banyak dan menggenangi kaki Renggali.
“Panggilah Sultan Alam, hamba akan buat pengakuan!” Isak bukit tersebut. Maka buru-buru Renggali pergi dari tempat aneh tersebut. Sampai di istana hari sudah gelap, Renggali menceritakan kejadian aneh tersebut kepada Sultan.
Itukah Naga Hijau yang menghilang bersama ayahmu?” Tanya Sultan Meurah penasaran. “Mengapa dia ingin menemui ayahku, apakah dia belum tahu Sultan sudah meninggal?” tambah Sultan Meurah. Maka berangkatlah mereka berdua ke bukit itu. Sesampai di sana, tiba-tiba bukit itu bergemuruh. “Mengapa Sultan Alam tidak datang?” Suara dari bukit. “Beliau sudah lama meninggal, sudah lama sekali, mengapa keadaanmu seperti ini Naga Hijau? Kami mengira engkau telah kembali ke negerimu, lalu di mana Raja Linge?” Tanya Sultan Meurah.
Bukit itu begemuruh keras sehingga membuat ketakutan orang-orang tinggal dekat bukit itu.
“Hukumlah hamba Sultan Meurah,” pinta bukit itu. “Hamba sudah berkhianat, hamba pantas dihukum,” lanjutnya. “Hamba sudah mencuri dan menghabiskan kerbau putih hadiah dari Tuan Tapa untuk Sultan Alam yang diamanahkan kepada kami dan hamba sudah membunuh Raja Linge,” jelasnya.
Tubuh Renggali bergetar mendengar penjelasan Naga Hijau, “bagaimana bisa kamu membunuh sahabatmu sendiri?” Tanya Renggali.
“Awalnya hamba diperintah oleh Sultan Alam untuk mengantar hadiah berupa pedang kepada sahabat-sahabatnya, semua sudah sampai hingga tinggal 2 bilah pedang untuk Raja Linge dan Tuan Tapa, maka hamba mengunjungi Raja Linge terlebih dahulu, beliau juga berniat ke tempat Tuan Tapa untuk mengambil obat istrinya, sesampai di sana Tuan Tapa menitipkan 6 ekor kerbau putih untuk Sultan Alam. Kerbaunya besar dan gemuk.
Karena ada amanah dari Tuan Tapa, maka Raja Linge memutuskan ikut mengantarkan ke Kuta Raja, karena itu kami kembali ke Linge untuk mengantar obat istrinya.
Namun di sepanjang jalan hamba tergiur ingin menyantap daging kerbau putih tersebut, maka hamba mencuri 2 ekor kerbau tersebut dan hamba menyantapnya. Raja Linge panik dan mencari pencurinyalalu hamba memfitnah Kule si raja harimau sebagai pencurinya, lalu Raja Linge membunuhnya.
Dalam perjalanan dari Linge ke Kuta Raja kami beristirahatdi tepi sungai Peusangan dan terbit lagi selera hamba untuk melahap kerbau yang lezat itu, lalu hamba mencuri 2 ekor lagi. Raja Linge marah besar, lalu hamba memfitnah Buya siraja buaya sebagai pencurinya, maka dibunuhlah buaya itu. Saat akan masuk Kuta Raja, Raja Linge membersihkan diri dan bersalin pakaian di tepi sungai, lalu hamba mencuri 2 ekor kerbau dan menyantapnya, tetapi kali ini Raja Linge mengetahuinya. Lalu kami bertengkar dan berkelahi. Raja Linge memiliki kesempatan membunuh hamba, tetapi dia tidak melakukannya, sehingga hamba lah yang membunuhnya,” ceritanaga sambil berurai air mata.
“Maafkanlah hamba, hukumlah hamba!” terdengar isak tangis sang naga. Mengapa engkau terjebak di sini?” Tanya Sultan Meurah. “Raja Linge menusukkan pedangnya ke bagian tubuh hamba, sehingga lumpuhlah tubuh hamba. Kemudian terjatuh dan menindihnya. Sebuah pukulan Raja Linge ke tanah membuat tanah terbelah dan hamba tertimbun di sini bersamanya,” jelas sang naga.
“Hamba menerima keadaan ini. Biarlah hamba mati dan terkubur bersama sahabat hamba,” pinta Naga Hijau.
“Berilah dia hukuman Renggali. Engkau dan abangmu lebih berhak menghukumnya,” kata Sultan Meurah. “Ayah hamba tidak ingin membunuhnya, apalagi hamba. Hamba akan membebaskannya,” jawab Renggali. “Tidak! Hamba ingin di hukum sesuai dengan perbuatan hamba,” pinta Naga Hijau. “Kalau begitu bebaskanlah dia!” Perintah Sultan Meurah.
Maka berjalanlah mereka berdua mengelilingi tubuh naga untuk mencari pedang milik Raja Linge. Setelah menemukannya, Renggali menarik dengan kuat dan terlepaslah pedang tersebut. Namun Naga Hijau tetap tidak mau bergerak. “Hukumlah hamba Sultan Meurah!” Pinta Naga Hijau.
“Sudahcukup hukuman yang kamu terima dari Raja Linge. Putranya sudah membebaskanmu. Pergilah ke negerimu!” Perintah Sultan Meurah.
Mendengar pengakuan tersebut, Sultan Meurah dan Renggali mencabut pedang yang selama ini membuat naga lumpuh. Setelah pedang tersebut lepas, sang naga diminta untuk kembali ke tempatnya berasal yaitu di laut.
Sambil menangis naga tersebut menggeser tubuhnya dan perlahan menuju laut. Maka terbentuklah sebuah alur atau sungai kecil akibat pergerakan naga tersebut. Maka di kemudian hari, daerah di pinggiran Kuta Raja itu disebut Alue Naga. Di sana terdapat sebuah sungai kecil yang di sekitarnya dipenuhi rawa-rawa yang selalu tergenang dari air mata penyesalan seekor naga yang telah mengkhianati sahabatnya.
Dari sana terbentuk sebuah tempat yang dipenuhi rawa dan sungai kecil, dikelilingi oleh air mata penyesalan dari seekor naga yang telah mengkhianati temannya, dan pada akhirnya sungai kecil tersebut dinamakan sebagai Sungai Alue Naga. (*)
Penulisan adalah Kepala Sekolah SLB Yayasan Pendidikan Disabilitas Insani (YAPDI) Banda Aceh