Memutus Rantai Tawuran Remaja
ACEHSIANA | OPINI – Belakangan ini tawuran dikalangan remaja makin sering terjadi. Sebagaimana dilansir media lokal, akhir Januari lalu masyarakat diresahkan ulah sekelompok remaja yang tergabung dalam komunitas geng motor yang hendak melakukan tawuran di depan Perpustakaan Wilayah (Puswil) Aceh, Jalan Teuku Nyak Arif. Aksi itu memakan korban.
Mereka menyerang seorang warga yang melintas dan seorang lainnya di warung kopi. Akibatnya, korban mengalami luka sayatan terkena sabetan benda tajam.
Dalam bulan suci Ramadhan ini, tawuran remaja bukan berhenti. Baru-baru ini, personel Polres Lhokseumawe mengamankan 8 remaja terduga pelaku tawuran di desa Hagu Teungoh, kecamatan Banda Sakti.
Mereka terlibat insiden tawuran dengan kelompok remaja Tumpok Teungoh. Tawuran diduga dipicu ejekan dan tantangan di grup whatsapp Asbuh Pride.
Tidak hanya tawuran, kini remaja kerap terlibat balap liar. Aksi tersebut dilakukan di jalanan jelang tengah malam atau saat sepi. Meskipun kerap dibubarkan, balap liar terus terjadi. Menggunakan sepeda motor yang dimodifikasi, anak-anak ini bertaruh nyawa adu kecepatan. Tidak peduli resiko, balapan liar sangat membahayakan keselamatan mereka dan mengganggu kenyamanan warga.
Perilaku Menyimpang
Tawuran merupakan bentuk perilaku menyimpang sosial kolektif remaja. Para ahli menyatakan, suatu perilaku dikatakan menyimpang jika tidak sesuai dengan nilai atau norma yang berlaku. Perbuatan tersebut juga mengakibatkan kerugian pada diri sendiri dan orang lain. Jatuhnya korban menunjukkan aksi tawuran sudah diluar nalar. Unjuk keberanian saling serang dengan senjata tajam,
pengeroyokan hingga penganiayaan. Aksi itu sangat meresahkan dan menggangu ketertiban.
Pelaku tawuran kebanyakan usia sekolahan, tidak sedikit juga remaja putus sekolah. Anak-anak ini punya banyak waktu luang dan sering menghabiskan bersama teman sebaya atau kelompok sehobi. Untuk membangun kekompakan, mereka membentuk komunitas, seperti komunitas geng motor. Rasa setia kawan antar anggota sangat tinggi.
Sering kali komunitas ini melakukan hal-hal negatif seperti balap liar atau tawuran. Kelompok ini juga rentan terlibat penyalahgunaan narkoba dan pornografi. Karena itu, semua pihak perlu memberikan perhatian serius pada gejala tidak baik ini. Jangan biarkan perilaku tersebut merusak masa depan anak-anak kita.
Sebelumnya, fenomena tawuran marak di kota besar. Seiring perkembangan teknologi informasi dan luasnya koneksi media sosial, tawuran mulai merambah kota kecil bahkan terjadi di kampung-kampung. Kita sering mendengar tawuran antar sekolah, antar geng sampai tawuran antar tim olah raga.
Jika dicermati, penyebab tawuran sangat kompleks dan beragam. Ada kalanya aksi ini berawal dari hal sederhana, misal saling ejek, membela teman yang punya masalah dengan kelompok lain, ikut tradisi senior atau unjuk kekuatan dengan geng remaja lain.
Ada beberapa alasan anak terjerumus tawuran seperti, ingin mendapat pengakuan dari kelompok, agar diterima oleh komunitas, ingin dinilai pemberani atau terlihat keren oleh lawan jenis. Di sisi lain, anak terlibat tawuran sebagai tempat pelarian dari berbagai persoalan yang dihadapi terutama permasalahan yang membuatnya tidak nyaman dalam keluarga atau sekolah.
Wulandari, S dalam “Perilaku Remaja” (2019) mengungkapkan, perilaku menyimpang remaja dipengaruhi oleh faktor internal (faktor dalam diri) seperti krisis identitas, kontrol diri lemah serta reaksi frustasi diri.
Masa remaja merupakan masa pencarian identitas. Remaja mudah mencoba/ meniru perilaku yang disenangi dan mencari sesuatu sesuai konsep dirinya. Sayangnya, emosi yang masih labil membuat remaja belum mampu mempertimbangkan baik buruk sehingga mudah terseret dalam tingkah laku menyimpang. Demikian juga, berbagai permasalahan di sekolah, keluarga maupun lingkungan pertemanan membuat remaja tertekan dan stress sehingga terjerumus dalam tindakan tersebut.
Sedangkan faktor luar diri yaitu suasana rumah yang tidak ramah karena konflik antar saudara, hubungan dengan orang tua kurang baik atau perceraian, media sosial, pengaruh teman sebaya dan lingkungan yang tidak mendukung tumbuh kembang remaja.
Bagi remaja, teman sebaya mempengaruhi tingkah laku mereka. Anak akan berperilaku baik, berprestasi, gemar melakukan kegiatan positif bila memiliki lingkaran pertemanan yang baik dan senantiasa mengajak pada hal-hal baik.
Sebaliknya, ia mudah terlibat tindakan negatif jika berada dalam pertemanan yang buruk, hobi merusak atau melanggar aturan. Agar terhindar dari pengaruh buruk, orang tua penting mengenal dan mengawasi dengan siapa anaknya berteman.
Di era pesatnya perkembangan teknologi informasi, media sosial ibarat pisau bermata dua. Di satu sisi menghadirkan kemudahan, namun di lain sisi berkontribusi merusak mental. Konten-konten yang memamerkan kekerasan sangat mudah diakses. Aksi- aksi tawuran sadis dengan mudah ditonton bahkan oleh anak-anak sekalipun.
Penelitian menyebutkan, anak dan remaja yang banyak mengkonsumsi adegan kekerasan berpeluang mencobanya di kehidupan nyata.
Memutus Rantai Tawuran
Keterlibatan remaja dalam tawuran menjadi persoalan serius yang perlu disikapi karena dapat menghancurkan masa depan mereka. Konsekuensi terburuk adalah cedera fisik serius akibat patah tulang, benturan kepala, luka parah bahkan mengancam nyawa. Cedera fisik serius akan mengganggu aktivitas dan perkembangan mental. Kegiatan akademik juga terganggu karena pelaku harus berhadapan dengan hukum atau korban yang terpaksa menanggung cedera berkepanjangan.
Anak yang terlibat tawuran berpeluang mengalami trauma psikologis. Ada perasaan takut berlebihan, cemas, stress akibat pengalaman mengerikan atau kekerasan yang dialami. Trauma pasca tawuran mempengaruhi perkembangan emosi dan sosial sehingga mengganggu kemampuan mereka menjalani kehidupan secara normal.
Memutus rantai tawuran tidak selesai hanya dengan imbauan atau kesepakatan di atas kertas. Sejauh ini hal tersebut terbukti belum mampu membuat pelaku jera dan tidak ada jaminan mengulangi lagi. Upaya mencegah dan menghentikan aksi kekerasan remaja perlu melibatkan semua pihak, dari keluarga sebagai lingkungan pertama, sekolah, masyarakat dan negara selaku pengambil kebijakan. Semua elemen perlu terlibat dan bertanggung jawab.
Orang tua penting menciptakan lingkungan rumah harmonis, membangun komunikasi yang baik serta menanamkan budi pekerti dan karakter melalui keteladanan. Selanjutnya, kultur sekolah yang mengutamakan nilai-nilai kebaikan, saling menghargai dan memanusiakan perlu diutamakan melalui kegiatan akademis atau non akademis. Satuan pendidikan sebagai rumah kedua dituntut menyeimbangkan antara pencapaian akademis dengan membangun karakter siswa. Karena selama ini, banyak sekolah hanya mementingkan sisi akademis saja serta abai terhadap bidang lainnya.
Masyarakat menjadi lingkungan berikutnya tempat anak beraktivitas. Pengawasan dan kontrol masyarakat diperlukan mencegah terjadinya aksi kekerasan remaja. Kehadiran negara melalui aparat kepolisian menjadi penentu bahwa setiap tindakan yang mengganggu ketertiban dan keamanan tidak boleh dibiarkan.
Tentang Penulis
Biodata Penulis
Nama : Nelliani, M.Pd
Profesi : Guru SMA Negeri 3 Seulimeum, Aceh Besar
Alamat : Darusalam, Aceh Besar
Email : nelliazzahra01@gmail.com