Karya: Maulida,S.Pd,Gr
‘’Tidak Mas, saya tetap kukuh tidak setuju, bukankah berulang kali kita telah membahas hal ini. Mengapa kau kembali mengungkitnya?
‘’Mas,,Mas ini tidak mudah bagiku, dan juga anak-anak, jangan egois dong Mas? Dengan rada-rasa kesal aku terus membereskan meja makan membersihkan sisa makanan yang berserakan.
Ke tiga anakku baru selesai sarapan pagi. Sementara suamiku masih duduk di meja makan usai mencuci tangannya lepas menikmati sarapan pagi ini. Samar aku melirik dia menatapku dengan sangat serius, seolah meminta ku agar konsisten mendenger perkataannya.
‘’Dek?? Coba pertimbangkan kembali seharusnya kamu setuju dengan keputusanku demi kebaikan kita bersama’’ Tegasnya.
Berdesir ulu hatiku mendenger kata dia menyuarakan demi kebaikan bersama?? Ingin aku menggebrak meja, namun kucoba redamkan emosi yang meluap ini. Perkataan orang tua tidak salah, api dengan api jangan disandingkan jadinya meledak tak karuan.
‘’Apa Massss?, kebaikan bersama siapa??, kebaikan dirimu saja… ia!!!. Aku teguh dengan pendirian ku, Mas!!
‘’Aku tetap tidak setuju sampai kapanpun, kau ingat itu Mas!!.Akupun tak kalah tegas darinya.
Tatapan ku begitu mengundang kebencian, kesal dan marah. Kemudian aku berlalu dari hadapannya tidak ingin mengadu mulut lagi, takhanyak nanti piring dan gelas akan menjadi sasaran selama ini piring dan gelas belum pernah terbang karena setiap masalah dan pertikaian kami selesaikan dengan proses semedi diam. Langkah ku secara spontan menuju jendela depan, dekat ruag TV, dari jauh aku melihat anak-anak bermain sepeda dengan riang, rasanya mereka sangat menikmati hari libur seperti ini, seharusnya akupun demikian. Tapi nyatanya……
Hari libur seperti ini yang jauh dari rutinitas formal dapat menikmati kebersamaan dengan keluarga kecilku, namun lagi lagi Mas Alfi membahas soal itu. Dengan langkah gontai dan pikiran yang masih menjalar aku menuju kamar pribadi kami, ku hempaskan tubuhku di atas ranjang sambil menatap langit-langit kamar dengan tatapan sendu rasanya panas bola mataku ingin menumpah bening-bening kristal.
Aku Vora Diana gadis pribumi asli Aceh Pidie menikah dengan Mas Alfi beliau pendatang kelahiran Kalimatan Tarakan. Tepatnya usia pernikahan kami menjelang 11 tahun telah memiliki 3 putra yang masih menempuh Pendidikan Dasar dan TK. Sementara aku bekerja di sebuah lembaga Pendidikan,,, ya Aku PNS, makanya instens waktuku 24 jam mengajar dalam satu minggu, belum lagi disibukkan admistrasi lainnya. Terus berusaha menyeimbangkan tugas antara prioritas dan kewajiban.
Mas Alfi wirausaha selain itu beliau dipercayakan menjadi ketua pemuda dan kepercayaan salah satu Tungku kawasan kemukiman kami tinggal, bahkan aktif dalam pengajian dan berbagai kegiatan tak hayal juga dengan kenduri.
Namun dalam kurun 3 bulan ini ia kerap meminta izin selalu membahas keinginan Pulang kembali ke kampung Halaman Kalimatan. Bukan tanpa alasan sih? Orang tua Mas Alfin seorang Kiaya beliau mengampu pesantren kecil di dekat kediamannya, sudah setahun Ayah Mas Alfi almarhum sehingga keluarga meminta Mas Alfi pulang atau lebih tepatnya pindah ke Kalimatan, dengan tujuan meneruskan pengelolaan pesantren agar tidak jatuh ke tangan orang lain.
Bukannya aku istri yang tidak berbakti pada suami. Banyak alasan yang melatarbelakangi sehingga tersendak keinginan Mas Alfin untuk kembali ke tanah asalnya, meskipun kerap memaksa kehendak kepada anak-anak dan juga diriku. Dia tidak pernah tau apa yang aku risaukan dan yang terbenam dalam pikiran dengan ekspektasi suram. Karena secara kebetulan Mantan Mas Alfin di Kalimatan kampung halamannya baru delapan bulan menjanda.
Karya Maulida,S.Pd,Gr. Guru PPPK Bireuen