ACEHSIANA.COM, Jakarta – Seorang guru di Madrasah Aliyah (MA) di Pilangwetan, Kecamatan Kebonagung, Demak, Jawa Tengah menjadi korban serangan seorang siswa yang dibacok pada Senin (25/9) lalu. Kejadian tersebut terjadi setelah guru tersebut melarang siswa tersebut mengikuti ujian tengah semester karena tidak menyelesaikan tugas. Menyikapi insiden ini, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mendorong Kementerian Agama RI untuk melakukan evaluasi dalam proses pembelajaran dan pendisiplinan di MA tersebut.
FSGI menegaskan bahwa segala bentuk tindakan kekerasan, tidak peduli dengan alasan apapun, adalah tidak dapat diterima dan melanggar hukum. Mereka juga mencatat bahwa guru yang menjadi korban juga telah dikenal melakukan tindakan kekerasan dalam mendisiplinkan peserta didik, yang kemungkinan telah menimbulkan rasa dendam pada siswa, termasuk pelaku.
“Pihak kepolisian telah memberikan keterangan bahwa guru yang menjadi korban sering melakukan kekerasan ketika mendisiplinkan peserta didik. Ini dapat menciptakan situasi yang memicu pembalasan dari peserta didik, termasuk pelaku,” jelas FSGI dalam pernyataannya yang ditandatangani oleh Ketua Dewan Pakar FSGI Retno Listyarti, Sekjen FSGI Heru Purnomo, dan Ketua Tim Kajian Hukum FSGI Guntur Ismail pada Rabu (27/9).
FSGI juga mendorong Kementerian Agama untuk mengevaluasi aturan di sekolah terkait ketentuan yang melarang peserta didik mengikuti ujian jika tidak menyelesaikan tugas dari guru. Mereka mengusulkan bahwa jika seorang siswa tidak dapat menyelesaikan tugas, ujian tetap harus diizinkan dilakukan dalam ruangan yang berbeda, bukan dengan melarang siswa mengikuti ujian sama sekali.
Mereka mengingatkan bahwa mengikuti ujian adalah hak siswa yang harus dihormati. Dalam situasi di mana seorang siswa tidak dapat menyelesaikan tugas, langkah yang lebih baik adalah dengan berdialog untuk mencari pemahaman tentang penyebabnya. Dalam kasus ini, siswa pelaku ternyata bekerja sebagai tukang nasi goreng setiap malam untuk membiayai sekolahnya, mungkin sehingga tidak memiliki cukup waktu dan energi untuk menyelesaikan tugasnya. FSGI berpendapat bahwa pendekatan yang lebih mendukung adalah memberikan bimbingan dan waktu tambahan kepada siswa tersebut.
FSGI juga mendorong pihak kepolisian untuk menerapkan Undang-Undang No 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Mereka menekankan bahwa anak yang melakukan pelanggaran hukum masih dianggap sebagai anak di bawah umur jika usianya di bawah 18 tahun. UU SPPA mengharuskan proses hukum terhadap anak dilakukan dengan cepat, dan tuntutan hukuman terhadap anak pelaku harus setengah dari hukuman yang diterima oleh orang dewasa.
FSGI berharap bahwa tindakan ini dapat membawa perubahan positif dalam pendidikan dan penanganan kasus kekerasan di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. (*)
Editor: Darmawan