ACEHSIANA.COM, Jakarta – Buku teks jenjang SD bertentangan dengan kebijakan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi (Mendikbudristek). Hal itu disampaikan Ketua Dewan Pakar Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Retno Listyarti, pada Rabu (29/3) di Jakarta.
Menurut Retno, FSGI mendukung kebijakan Merdeka Belajar Episode ke-24. Salah satu poinnya menghilangkan tes baca, tulis, dan menghitung (calistung) dalam PPDB SD.
Dikatakan Retno bahwa langkah tersebut harus disertai juga dengan pembenahan buku teks kelas 1 SD yang terlalu berat bagi anak yang masih belajar baca dan berhitung.
“Buku-buku teks jenjang SD saat ini justru bertentangan dengan kebijakan Mendikbudristek, karena buku teks kelas 1 SD sudah penuh dengan tulisan dan bacaan yang panjang-panjang,” ujar Retno.
Retno menambahkan bahwa pelajaran berhitung dalam buku kelas 1 SD juga sudah rumit. Misalnya, lanjut Retno, berupa sudah adanya pengurangan dengan angka-angka yang cukup besar. Retno menilai, hal tersebut dapat membuat anak bingung dengan istilah-istilah dalam berhitung.
“Dengan disimpan angkanya atau pinjam ke angka sebelahnya yang puluhan atau yang ratusan. Ini PR yang harus juga dipertimbangkan, buku-buku teks SD kelas 1 seharusnya sejalan dengan kebijakan ini,” ungkap Retno.
Retno menuturkan bahwa apabila ada SD yang melakukan tes calistung dalam PPDB, maka satuan pendidikan itu telah melanggar Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan dab Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB).
“Umumnya tes calistung dilakukan oleh sekolah berbasis masyarakat atau SD swasta, karena untuk SD negeri atau sekolah milik pemerintah ketentuannya sangat jelas, yaitu seleksi menggunakan usia anak, hanya itu,” tutur Retno.
Retno menjelaskan bahwa calistung semestinya dimulai ketika anak berusia tujuh tahun atau saat anak memasuki usia SD. Karena itu, Retno menilai menerapkan tes calistung ketika anak mau mendaftar SD tidaklah tepat. Umumnya, anak-anak baru bisa fokus untuk belajar hitung-hitungan ketika mereka memasuki usia enam atau tujuh tahun.
“Calistung merupakan pembelajaran dasar yang perlu anak pahami sejak dini guna memermudahnya menerima pelajaran-pelajaran di masa depan,” ucap Rteno.
Dengan calistung, sebut Retno, anak akan diajarkan untuk mengenal huruf dan angka. Namun, harus berhati-hati saat mengajarkan calistung pada anak dengan mengajarkan sesuai porsinya.
“Orang tua disarankan untuk menghindari mengajarkan calistung pada si Kecil terlalu berat. Sebab, hal tersebut dapat mengganggu mentalnya,” imbuh Retno.
Selain menghapuskan tes calistung untuk masuk ke SD, Merdeka Belajar Episode ke-24 juga menargetkan satuan pendidikan di PAUD dan SD/MI/sederajat untuk perlu menerapkan pembelajaran yang membangun enam kemampuan fondasi anak.
Mendikbudristek, Nadiem Makarim, menyampaikan, pihaknya sudah melakukan penyesuaian lewat Kurikulum Merdeka untuk menunjang hal tersebut, termasuk buku teks.
“Di dalam Kurikulum Merdeka sudah tidak ada lagi asumsi bahwa anak itu bisa calistung pada saat dia masuk SD,” kata Nadiem dalam pemaparannya terkait Merdeka Belajar Episode ke-24 yang disiarkan secara daring, dikutip Rabu (29/3).
Nadiem memberikan contoh perubahan capaian pembelajaran yang ada pada Kurikulum Merdeka dengan dibandingkan dengan kurikulum lama. Untuk bahasa Indonesia misalnya, di kurikulum lama disebutkan capaian pembelajarannya adalah mengenal teks deskriptif tentang anggota tubuh dan pancaindera. Hal itu, menurut Nadiem, kaku dan sangat detil.
Di Kurikulum Merdeka, kata Nadiem, capaian pembelajaran untuk bahasa Indonesia adalah peserta didik memiliki kemampuan berbahasa untuk berkomunikasi dan bernalar sesuai dengan tujuan, kepada teman sebaya dan orang dewasa di sekitar dirinya. Dia menjelaskan, perubahan capaian pembelajaran serupa itu dilakukan untuk memenuhi enam fondasi yang perlu dimiliki oleh anak.
Contoh lain yang dia berikan terkait dengan pelajaran matematika. Di kurikulum lama capaian pembelajaran sangat spesifik, seperti anak harus bisa mengurai sebuah bilangan asli sampai dengan 99 dan lain sebagainya. Menurut Nadiem, hal itu membuat anak lebih didorong untuk menghapal, bukan memahami intuisi bilangan.
“Kalau dihapal semua juga bisa dengan sangat mudah. Tapi sekarang kita ubah itu menjadi, pada akhir fase A, peserta didik dapat menunjukkan pemahaman dan memiliki intuisi bilangan. Number sense. Sense of number. Hal-hal yang memang lebih rumit untuk dimengerti oleh guru-guru PAUD dan SD. Tapi bukan alasan untuk tidak bisa menguasainya,” sebut Nadiem.
Pengubahan juga dilakukan terhadap buku-buku teks siswa kelas satu dan dua SD. Menurut Nadiem, Kemendikbudristek sudah mengurasi buku-buku yang diperlukan untuk belajar sehingga dipastikan tidak ada asumsi dalam buku-buku tersebut bahwa anak sudah bisa calistung. Salah satu langkah yang dilakukan adalah dengan menyertakan berbagai macam gambar visual dalam buku pelajaran Kurikulum Merdeka.
“Sehingga kalaupun anak itu belum bisa membaca, dia masih bisa mengerti alur cerita daripada materi yang ada dalam buku teks tersebut. Dan konsep-konsep matematika juga visual agar yang dimengerti itu bukan hapalan, tapi konsep daripada numerasi,” pungkas Nadiem. (*)
Editor: Darmawan