ACEHSIANA.COM, Jakarta – Presiden Republik Indonesia, Ir Joko Widodo (Jokowi), mengakui 12 pelanggaran hak asasi manusia (HAM) masa lalu di Indonesia, 3 diantaranya merupakan tragedi yang terjadi di Aceh. Pengakuan tersebut disampaikan Jokowi saat menerima Laporan Tim Penyelesaian Non-Yudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia yang Berat Masa Lalu (PPHAM), di Istana Merdeka, Jakarta pada Rabu (11/01).
Ketiga pelanggaran HAM di Aceh tersebut adalah tragedi Rumoh Geudong dan Pos Satuan Taktis dan Strategis (Sattis), Simpang KKA, dan Jambo Keupok.
Jokowi mengakui bahwa ia telah membaca dengan seksama laporan dari Tim PPHAM dan mengakui adanya pelanggaran HAM berat yang terjadi pada berbagai peristiwa.
“Dengan pikiran yang jernih dan hati yang tulus, sebagai Kepala Negara Republik Indonesia, saya mengakui bahwa pelanggaran hak asasi manusia yang berat memang terjadi di berbagai peristiwa,” ujar Jokowi.
Dikatakan Jokowi bahwa pihaknya sangat menyesalkan 12 peristiwa pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu. Kedua belas tragedi itu adalah Peristiwa 1965-1966; Peristiwa Penembakan Misterius 1982-1985; Peristiwa Talangsari, Lampung 1989; Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos Sattis di Aceh 1989; Peristiwa Penghilangan Orang Secara Paksa tahun 1997-1998; Peristiwa kerusuhan Mei 1998; Peristiwa Trisakti dan Semanggi 1 dan 2, 1998 dan 1999; Peristiwa Pembunuhan Dukun Santet 1998-1999; Peristiwa Simpang KKA di Aceh tahun 1999; Peristiwa Wasior di Papua 2001-2002; Peristiwa Wamena, Papua di 2003, dan Peristiwa Jambo Keupok di Aceh tahun 2003.
“Saya menyampaikan rasa simpati dan empati yang mendalam kepada para korban dan keluarga korban. Saya dan pemerintah berusaha untuk memulihkan hak-hak para korban secara adil dan bijaksana tanpa menegasikan penyelesaian yudisial,” ucap Jokowi.
Jokowi memerintahkan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah dalam memulihkan hak korban serta menjaga agar pelanggaran HAM yang berat tidak terjadi lagi di masa mendatang.
“Saya minta kepada Menko Polhukam untuk mengawal upaya-upaya konkret pemerintah agar dua hal tersebut bisa terlaksana dengan baik. Semoga upaya ini menjadi langkah yang berarti bagi pemulihan luka sesama anak bangsa, guna memperkuat kerukunan nasional kita dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia,” sebut Jokowi.
Berdasarkan penelusuran dari berbagai sumber, tragedi Rumoh Geudong merupakan sebuah tragedi penyiksaan terhadap masyarakat Aceh yang dilakukan oleh aparat TNI (Kopasus) selama masa konflik Aceh (1989-1998). Tragedi ini terjadi di sebuah rumah tradisional Aceh yang djadikan sebagai markas TNI di desa Bili, Kemukiman Aron, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie.
Setelah Komnas HAM melakukan penyelidikan mendalam atas 65 orang saksi, Komnas HAM menyimpulkan bahwa pada Peristiwa Rumoh Geudong dan Pos-pos Sattis lainnya telah memiliki bukti yang cukup atas dugaan terjadinya kejahatan terhadap kemanusiaan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 7 huruf b jo Pasal 9 Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.
Adapun bentuk perbuatannya adalah perkosaan atau bentuk-bentuk kekerasan seksual lain yang setara penyiksaan, pembunuhan, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain secara sewenangwenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan pokok hukum internasional dan penghilangan orang secara paksa.
Selanjutnya, tragedi Simpang KKA merupakan sebuah peristiwa yang berlangsung saat konflik Aceh pada tanggal 3 Mei 1999 di Kecamatan Dewantara, Aceh Utara. Pasukan militer Indonesia saat itu, menembaki kerumunan warga yang sedang berunjuk rasa memprotes insiden penganiayaan warga yang terjadi pada tanggal 30 April di Cot Murong, Lhokseumawe. Dilaporkan 46 orang tewas, 156 cidera dan 10 orang hilang dalam tragedy tersebut.
Tragedi Jambo Keupok terjadi pada sekitar 17 Mei 2003 setelah DOM dan sebelum Darurat Militer. Peristiwa ini merupakan bagian dari tindakan aparat TNI yang melakukan pencarian terhadap para anggota GAM di Gampong Jambo Keupok, Kecamatan Bakongan, Kabupaten Aceh Selatan.
Sejumlah anggota TNI dengan senjata lengkap melakukan penyisiran terhadap rumah-rumah penduduk guna mencari para anggota dan pendukung GAM. Para TNI memasuki setiap rumah di desa tersebut, memeriksa seluruh tempat, memaksa para penghuni rumah (lelaki, perempuan, anak-anak) untuk keluar dari rumah dan dikumpulkan di depan rumah warga, yang kemudian dipisahkan antara perempuan, laki-laki dan anak-anak.
TNI diduga telah melakukan tindakan di luar batas kemanusiaan sebagaimana pengakuan korban. TNI telah melakukan penembakan terhadap sejumlah warga serta membakar korban lainnya yang masih dalam keadaan hidup, melakukan penyiksaan serta pembakaran terhadap rumah penduduk.
Korban jiwa yang meninggal dunia maupun luka-luka serta hancurnya rumah penduduk selama peristiwa memilukan tersebut. Korban jiwa sebanyak 16 orang laki-laki dimana 12 orang dibakar hidup-hidup dan 4 orang ditembak hingga meninggal di tempat.
Selain itu juga terjadi penyiksaan yang dilakukan terhadap 16 orang yang kemudian meninggal dunia dengan cara ditendang, dipukul dengan popor senjata, 1 orang korban perempuan yang dipukul dan ditembak hingga pingsan, dan 1 orang korban perempuan yang dipukul di bagian belakang kepala dengan popor senjata sampai tidak mampu menelan makanan selama 3 hari, dan 3 korban perempuan lain yang dipukul. (*)
Editor: Ami