Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi

Tahun 2022, Terdapat 17 Kasus Kekerasan Seksual di Satuan Pendidikan

KPAI: Kuota Umum Internet Harusnya Diperbesar
Komisioner KPAI, Retno Listyarti (doc. jawapos.com)

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Sepanjang tahun 2022, terdapat 17 kasus kekerasan seksuan di satuan pendidikan. Demikian rilis Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) yang diterangkan oleh Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, pada Senin (2/1) di Jakarta.

Menurut Retno, beberapa daerah sudah memulai pembelajaran tatap muka (PTM) semester genap untuk tahun pelajaran 2022/2023. FSGI, lanjut Retno, mengingatkan kembali seluruh stakeholder dunia pendidikan untuk meningkatkan sistem pencegahan dan penanggulangan tiga dosa besar di satuan pendidikan.

“Hal ini untuk mengingatkan kembali seluruh stakeholder pendidikan agar meningkatkan sistem pencegahan dan penanggulangan tiga dosa besar di satuan pendidikan. Melindungi anak-anak Indonesia dari berbagai bentuk kekerasan adalah tanggungjawab semua pihak, tak hanya pemerintah,” ujar Retno.

Dikatakan Retno bahwa ketiga dosa besar dalam dunia pendidikan, yakni perundungan, kekerasan seksual dan intoleransi. Ketiga dosa besar itu merupakan istilah dan bentuk pengakuan negara melalui Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek) Nadiem Makarim bahwa di dunia pendidikan masih terus terjadi berbagai bentuk kekerasan.

“Hasil pengumpulan data FSGI, diperoleh jumlah total kasus kekerasan seksual di satuan pendidikan yang sampai pada proses hukum pada 2022 mencapai 17 kasus. Angka tersebut turun sedikit jika dibandingkan dengan 2021 yang berjumlah 18 kasus,” papar Retno.

Retno menambahkan bahwa berdasarkan jenjang pendidikan, sepanjang 2022 kasus kekerasan yang terjadi di jenjang sekolah dasar (SD) ada sebanyak dua kasus, jenjang SMP sebanyak tiga kasus, jenjang SMA dua kasus, pondok pesantren enam kasus, madrasah tempat mengaji atau tempat ibadah tiga kasus, dan satu tempat kursus musik bagi anak usia TK dan SD. Rentang usia korban antara 5 hingga 17 tahun.

“Korban berjumlah 117 anak dengan rincian 16 anak laki-laki dan 101 anak perempuan. Sedangkan pelaku total berjumlah 19 orang yang terdiri dari 14 guru, satu pemilik pesantren, satu anak pemilik pesantren, satu staf perpustakaan, satu calon pendeta, dan satu kakak kelas korban,” ucap Retno.

Rincian guru yang dimaksud, tutur Retno, di antaranya adalah guru pendidikan agama dan pembina ekskul, pembina OSIS, guru musik, guru kelas, guru ngaji, dan lain-lain. Dari total 19 pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan, 73,68 persennya berstatus guru.

Retno merinci bahwa terdapat beberapa modus pelaku kekerasan seksual di satuan pendidikan. Modus-modus itu, yakni seperti mengisi tenaga dalam dengan cara memijat, memberikan ilmu sakti, dalih mengajar fikih akil baliq dan cara bersuci, mengajak menonton film porno, mengancam korban dikeluarkan dari keanggotaan ekstrakurikuler.

Modus berikutnya, yakni melakukan pencabulan saat proses kegiatan pembelajaran, memaksa korban melakukan aktivitas seksual dalam ruangan kosong dan toilet satuan pendidikan, dalih tes kedewasaan dan kejujuran dalam pemilihan pengurus OSIS. Ada juga modus pelaku mengirimkan konten pornografi melalui whatsapp kepada anak atau korban yang meminjam buku di perpustakaan, dan lain-lain.

Kasus kekerasan seksual yang menimbulkan jumlah korban terbesar tahun 2022, yaitu mencapai 45 siswi, di mana 10 diantaranya diduga mengalami perkosaan. Kasus itu terjadi di salah satu SMPN di kabupaten Batang, Jawa Tengah. Pelaku adalah oknum guru agama yang juga menjabat sebagai pembina OSIS.

“Modus pelaku adalah terlibat aktif dalam seleksi pemilihan pengurus OSIS yang kemudian menggunakan dalih tes kejujuran dan kedewasaan untuk dapat melakukan kejahatan seksual pada 45 siswi yang mengikuti pemilihan pengurus OSIS tersebut, bahkan kejahatan seksual dilakukan di lingkungan sekolah,” pungkas Retno. (*)

Editor: Darmawan