ACEHSIANA.COM, Jakarta – Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menyebutkan bahwa Kurikulum Merdeka membuat Pendidikan Indonesia memasuki fase konflik. Hal itu disebutkan Sekretaris Jenderal FSGI, Heru Purnomo, pada Minggu (1/1) di Jakarta.
Menurut Heru, Kurikulum Merdeka Belajar yang berjilid-jilid disebut-sebut sebagai kebijakan paling menghebohkan dan menimbulkan pro kontra di lapangan dari Menteri Pendidikan, Kebudataan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), Nadiem Makarim. Sebab, lanjut Heru, kebijakan yang sejatinya bagus secara konsep, ternyata di lapangan tidak berhasil membumi.
“Kami menyaksikan di lapangan, kebijakan yang sebenarnya bagus secara konsep, namun tidak berhasil membumi sehingga menimbulkan potensi pendidikan Indonesia tengah berada pada fase konflik,” ujar Heru.
Dikatakan Heru bahwa program Merdeka Belajar yang berjilid-jilid dan tidak pernah selesai seolah akan menuju akhir episode yang menghawatirkan. FSGI, tambah Heru, menilai bahwa gagasan kebijakan sampai implementasi di lapangan masih jauh panggang dari api.
Heru menambahkan bahwa Merdeka Belajar yang diusung Kemendikbudristek memiliki tujuan untuk mencapai pendidikan berkualitas bagi seluruh rakyat Indonesia melalui transformasi pada empat hal. Empat hal itu, yakni infrastruktur dan teknologi, kebijakan, prosedur dan pendanaan untuk kepemimpinan masyarakat dan budaya, serta kurikulum pedagogis dan penilaian.
“Akan tetapi, tampaknya di level pemahaman kebijakan ini saja, masih jauh dari harapan,” sebut Heru.
Selaku organisasi profesi guru, tutur Heru, FSGI telah memberikan kritik dan rekomendasi sejak konflik merek Merdeka Belajardiperkenalkan. Tetapi, kata Heru, kebijakan tersebut terus ditayangkan bahkan kini telah mencapai 22 episode. Hal itu pada akhirnya kemudian menimbulkan pertanyaan baru.
“Benarkah semuanya telah menuju kearah transformasi Pendidikan Indonesia? Apakah setiap episodenya berjalan berkesinambungan? Apakah dapat terlihat masa depan pendidikan Indonesia yang berkualitas ataukah justru terbaca tujuan spekulatif yang tidak berkelanjutan?” tutur Wakil Sekjen FSGI, Mansur.
Mansur memberikan contoh terobosan Merdeka Belajar yang cukup memberi angin segar bagi pendidikan Indonesia, yakni pada episode I. Di mana kala itu ada empat bidang sasaran, di antaranya mengganti UN menjadi Asesmen Nasional. Tapi, ternyata tidak semua episode berdampak seperti itu.
“Kenyataannya adalah tidak semua episode Merdeka Belajar berdampak bagi pendidikan, bahkan tidak sedikit yang dinilai kontra produktif terhadap kelangsungan program pendidikan di Indonesia,” ucap Mansur.
Salah satu contoh, ketika episode empat diluncurkan, yakni tentang Program Organisasi Penggerak (POP). Saat program tersebut diluncurkan, berbagai reaksi ketidakpercayaan publik mengemuka. FSGI memberikan kritik keras dimulai dari proses rekrutmen hingga model implementasinya.
“Apa yang terlihat hingga paruh kedua tahun bukanlah sebuah kemajuan yang diharapkan,” imbuh Kepala Bidang Diklat FSGI, Eka Ilham.
Eka menyatakan bahwa dari fakta lapangan diketahui, kebanyakan pelatihan model online yang diikuti oleh para guru sekolah sasaran sebatas pelatihan satu hingga tiga jam atau paling lama dengan durasi tiga hari. Itu pun kebanyakan berisi teori tanpa dibekali praktik dan tidak disertai pendampingan.
“Kebanyakan guru justru bingung saat akan mencoba mengimplementasikan, karena tidak ada contoh-contoh praktik yang sudah dilakukan. Akibatnya, pelatihan hanya tinggal pelatihan yang berujung sekedar pengetahuan tanpa implementasi,” tutup Eka.
Sejak awal menjabat sebagai Mendikbudristek, Nadiem memang telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam tajuk Merdeka Belajar. Mulai dari episode kesatu pada 2019, hingga pada akhir 2022 sudah mencapai episode ke-22. Berbagai pro kontra timbul dari sejumlah episode yang dihadirkan. (*)
Editor: Darmawan