ACEHSIANA.COM, Banda Aceh – Ketua Umum Pemuda Ikatan Cendekiawan se-Indonesia (Ketum Pemuda ICMI), Dr Ismail Rumadhan MH, menyebutkan bahwa Undang-Undang (UU) Omnibus Law merupakan produk kolaborasi yang menggerogoti kewenangan daerah. Hal itu disampaikan Ismail saat memberikan sambutan pada pengukuhan Majelis Pengurus Wilayah (MPW) Pemuda ICMI Aceh pada Sabtu (19/11) di gedung AAC Dayan Dawood, Banda Aceh.
Menurut Ismail, sistem pemerintahan yang berasaskan otonomi daerah dengan mendesentralisasikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah (Pemda) untuk mengelola dan memanfaatkan segala potensi baik sumber daya manusia (SDM) maupun sumber daya alam (SDA) yang ada di wilayahnya secara mandiri untuk kesejahteraan rakyat, saat ini telah diamputasi dan dikebiri oleh Pemerintah Pusat melalui UU Cipta Kerja atau UU Omnibus Law.
“Konsekuensi dari pencabutan kewenangan Pemda oleh pemerintah pusat khususnya dalam bidang pengelolaan pertambangan misalnya, membuat daerah hanya menjadi penonton di negeri sendiri,” ujar Ismail.
Dikatakan Ismail bahwa aktivitas penjarahan yang dilegalkan melalui UU Pertambangan yang terbaru oleh korporasi-korporasi yang diberikan izin usaha pertambangan. Bahkan, lanjut Ismail, daerah menanggung beban kerusakan lingkungan akibat eksploitasi yang berlebih terhadap SDA di daerahnya.
“Hak-hak masyarakat dan masyarakat adat setempat yang hidup berdampingan bertahun-tahun dengan alam di sekitarnya terancam dikriminalkan jika mereka mencoba melakukan aksi-aksi protes dan perlawanan terhadap aktivitas pertambangan yang merusak alam dan lingkungannya,” sebut Ismail.
Ismail menambahkan bahwa tanggung jawab besar kaum intelektual dan kelompok cendekiawan dengan berkontribusi konkrit dalam setiap pengambilan kebijakan pemerintah, agar setiap kebijakan yang diputuskan tepat dan adil dalam pengelolaan dan pemanfataan sumber daya alam untuk kesejahteraan masyarakat.
“Terutama masyarakat di daerah sehingga daerah dan masyarakatnya bisa menikmati berkah dari SDA di daerahnya. Mari kita control dan evaluasi setiap kebijkan yang terkesan diskriminatif, misalnya kebijakan yang menghalangi akses masyarakat terhadap kehidupan yang layak dan adil,” pungkas Ismail. (*)
Editor: Darmawan