Oleh. Syariful Azhar dan Abdul Hamid
Pagi ini saya membuka Facebook terbaca sebuah tulisan di dinding Facebook Syariful Azhar, isi tulisannya mengkomplain opini Dr. Samsuardi MA Ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh (LP2A).
Syariful Azhar menuliskan ini, ….
Membaca opini pada salah satu media lokal tentang 15 Tahun Pendidikan Aceh Terpuruk, sebagai Guru kita perlu meluruskan beberapa argumen sehingga kita tidak ikut ikutan tersesat, karena biasanya tulisan seorang Doktor itu komprehensif, argumentatif dan dan sarat dgn logika yg didasarkan pada fakta, bukan asumsi apalagi bersifat hipotatif, karena Doktor adalah gelar akademik tertinggi untuk seorang akademisi/atau mereka-mereka yg mencintai dunia ilmiah…
Ada beberapa kesesatan logika dlm opini tersebut, namun kami hanya mencoba memaparkan 2 saja :
1. Dalam dunia pendidikan dikenal teori Input + proses + output + out come, sang Doktor dalam opininya hanya membahas outcome, tanpa menyentuh sedikitpun aspek lainnya, aspek input umpamanya, peserta didik SMA dan SMK termasuk MA, berasal dari jenjang pendidikan dasar telah mengalami proses belajar yg panjang lebih kurang 9 atau 10 tahun.
Pada jenjang ini siswa diberikan dasar yg kokoh untuk memahami pengetahuan, bahasa dan matematika, pada jenjang ini Pemerintah Daerah Tk. 2, untuk jenjang SMP dan Kemenag Kab/Kota untuk jenjang MTS, mempunyai peran utama untuk menjamin agar siswa tersebut siap secara kompetensi untuk masuk ke jenjang SMA dan SMK, bahwa input ini amat mempengaruhi proses, output dan outcome, sama sekali tidak dibahas pada opini Sang Dokter yang notabene ketua Lembaga Pemantau Pendidikan Aceh. Sang pemantau tidak memantau ke lapangan mungkin hanya memantau dalam mimpi sang doktor.
Seolah olah keterpurukan pendidikan cuma tanggung jawab SMA dan SMK saja, anda menutup mata peran jenjang dibawahnya atau jenjang lembaga lain yang selevel dengan SMA dan SMK, padahal kalau kita analogikan dengan membuat kue, kue yg enak dan kualitasnya bagus tentu harus dibuat dari bahan yg punya kualitas bagus.
Bahan tadi dapat kita ibaratkan sebagai input pada jenjang SMA dan SMK, pada level input tentu ini bukan tanggung jawab SMA dan SMK, sehingga outcome sesunggunya menjadi tanggung jawab seluruh komponen masyarakat, tidak hanya Dinas Pendidikan Aceh umpanya an sich, tapi juga tanggung jawab Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kab/Kota, dan Kantor Kemenag pada level Madrasah, jadi sekali lagi menyalahkan Satu Dinas untuk keterpurukan Pendidikan di Aceh merupakan salah satu bentuk kesesatan logika yg saya tidak tahu, disengaja atau….sengaja tulis Syariful di lamannya.
2. Pada proses, hasil penelitian menunjukan 80 persen keberhasilan proses belajar mengajar dikelas sangat ditentukan oleh Guru dalam mengelola kelas, artinya Gurulah menjadi garda utama dalam meningkatkan mutu pendidikan, mari kita bicara sejarah rekrutmen mahasiswa calon guru pada LPTK atau FKIP pada Universitas.
Berapa passing grade mereka, kenapa tidak disamakan seperti passing grade calon mahasiswa Kedokteran Universitas Indonesia umpamanya yg dalam opini ini katanya sampai pada angka 750, andaikata Passing Grade calon guru seperti itu, tentu kita akan mendaptkan Guru guru yg mumpuni, ini belum lagi kita buka kisah Kelas jauh FKIP dari PTN dan PTS yang menghasilkan ribuan calon guru, dan sekarang menjadi Guru diberbagai jenjang pendidikan, tentu ini amat mempengaruhi mutu pendidikan sampai puluhan tahun, dan ini menjadi tanggung jawab perguruan tinggi, dan dalam opini sama sekali tidak masuk dalam argumen pak Doktor Samsuardi selaku ketua lembaga pemerhati pendidikan Aceh, mengapa 15 tahun ini pendidikan aceh terpuruk, ini juga sangat menyesatkan…
Sebagai ketua LP2A perlu turun kesekolah sekolah di kampung kampung termasuk kampung doktor jangan buat opini di meja Doktor hingga memicu polemik menurunnya kinerja guru, ini akan lebih berbahaya untuk masa depan Aceh.
Tulisan Syariful Azha Kasi Pengembangan Mutu GTK Cabdin Aceh Timur dan Abdul Hamid Kacabdin Bireuen.