ACEHSIANA.COM – Salah Satu Universitas di Selandia Baru Buka Prgram Studi Ilmu Ganja untuk Obat, dan di harapkan dapat membuka lapangan kerja baru bagi lulusan Mahasiswa Universitas tersebut.
Sebuah terobosan besar yang dilakukan oleh Universitas Teknologi Auckland (AUT) Selandia Baru. Lembaga pendidikan tinggi ini akan membuka program pascasarjana yang mempelajari ganja sebagai obat.
Dikutip dari The Stuff, Jumat (12/6), AUT akan menjadi lembaga pendidikan pertama di Selandia Baru yang membuka program studi untuk mempelajari ganja sebagai obat.
Program studi yang dinamai The Science of Medicinal Cannabis atau Ilmu Ganja Medis ini dijadwalkan akan dimulai seiring dimulainya perkuliahan pada 20 Juni 2020. Prodi itu disebut-sebut sebagai ‘Cannabis 101’ bagi mereka yang tertarik dalam industri ini.
Ketua Prodi dan dosen senior Universitas Teknologi Auckland, Dr Ali Seyfoddin, mengatakan pendidikan adalah komponen penting dari skema ganja yang dijadikan sebagai obat di Selandia Baru.
“Sangat penting bahwa penyedia penelitian dan pendidikan menyediakan jurusan bagi mereka yang ingin memasuki industri”, katanya dikutip dari The Stuff.
Penggunaan ganja sebagai obat telah legal di Selandia Baru, memungkinkan warga Selandia Baru untuk secara hukum mengakses produk-produk berbasis ganja melalui resep.
Akan lebih mudah untuk memproduksi obat-obatan di Selandia Baru dari pada mengimpornya.
Dalam perkuliahan nantinya akan memperkenalkan kerangka kerja ganja medis dan memberikan gambaran umum tentang kimia dan farmakologi ganja.
Apa yang Dipelajari oleh Mahasiswa Universitas tersebut?
Perkuliahan itu juga mengajarkan cara menanam ganja yang digunakan untuk obat, cara mengekstrak dan menganalisis kanabinoid dan cara merumuskan produk ganja obat.
Seyfoddin menjelaskan itu akan menjadi makalah yang berguna bagi setiap mahasiswa pascasarjana atau profesional kesehatan yang tertarik untuk memperluas pengetahuan mereka tentang ganja obat, melalui teori dan komponen praktis.
“Mengingat situasi Covid-19 yang sedang berlangsung, jurusan ini dapat dijalankan secara online,” kata Seyfoddin.
Chris Fowlie, kepala eksekutif mitra penelitian AUT ZeaCann, mengatakan industri ganja medis membutuhkan staf yang memenuhi syarat dengan keahlian yang relevan.
“Ratusan pekerjaan baru diharapkan akan mengisi pabrik ganja obat, dengan potensi ekspor ganja obat-obatan yang akan menyaingi pabrik anggur atau wol,” katanya.
“Kursus ini akan mengajarkan keterampilan yang dibutuhkan untuk bekerja di lapangan,” kata Fowlie.
“Kami senang membantu AUT memberikan jurusan ini sebagai bagian dari kemitraan penelitian kami yang sedang berlangsung,” sambungnya
Selain mencakup kimia kanabinoid, jurusan ini juga akan mencakup mempelajari sejarah dan undang-undang ganja obat, skema ganja obat yang lebih luas, aspek botani ganja dan sistem pengiriman dan dosis.
Jauh dari Selandia Baru, isu ganja sebagai obat dan lapangan kerja juga menyeruak dari Aceh, provinsi di ujung Pulau Sumatera Indonesia yang kerap disebut-sebut sebagai salah satu daerah penghasil ganja terbaik di dunia.
Isu ganja sebagai obat dan sumber pendapatan ini sempat menggegerkan Gedung DPR RI Senayan Jakarta, ketika Rafli, anggota DPR RI asal Aceh yang hadir dalam rapat kerja Komisi VI DPR dengan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto, Kamis (30/1), menawarkan ganja menjadi komoditas ekspor.
“Jadi pak, ganja ini bagaimana kita jadikan komoditas ekspor yang bagus,” kata Rafli di Ruang Rapat Komisi VI DPR, Senayan, Jakarta.
Rafli menyebut tanaman ganja tidak berbahaya dan bisa dimanfaatkan sebagai obat. Ia pun bakal menyediakan lahan untuk ditanami ganja, jika usulannya itu diterima.
Sehari setelahnya, sejumlah akademisi, peneliti, dan aktivis di Aceh berkumpul di Kamp Biawak, membahas ganja.
Kajian yang diselenggarakan oleh The Aceh Institute dan Kamp Biawak, Jumat (31/1) sore, mengangkat tema tentang ‘potensi industri ganja Aceh sebagai strategi pengentasan kemiskinan’.
Diskusi rutin yang biasanya hanya dihadiri sekitar 20 peserta saja, tiba-tiba dipenuhi pengunjung dari berbagai kalangan.
Panitia mengatakan, tema tersebut diusung karena baru-baru ini Aceh dihebohkan dengan hasil survei Badan Pusat Statistik (BPS) yang menyatakan Aceh masih sebagai provinsi termiskin di Sumatera.
Sejumlah pihak mengkritik Pemerintah Aceh karena dinilai gagal mengentaskan kemiskinan di tengah uang yang melimpah. Untuk tahun 2020 saja, Pemerintah Aceh mengelola APBA Rp 17,2 triliun.
Diskusi di Kamp Biawak, kawasan Limpok, Kecamatan Darussalam, Aceh Besar ini, menghadirkan tiga pembicara yaitu, Prof Dr Musri Musman MSc (peneliti ganja), Dhira Narayana (Ketua Lingkar Ganja Nusantara-lembaga yang fokus mengadvokasi legalisasi ganja untuk kesehatan di Indonesia), dan Jamaica (pemerhati ganja).
Prof Dr Musri Musman yang melakukan penelitian terhadap ganja mengatakan dirinya menemukan banyak manfaat dari tanaman yang di Indonesia masuk dalam kategori terlarang ini.
Mulai untuk kebutuhan medis, tekstil, hingga untuk bahan pembuatan kertas.
“Dari segi kebutuhan pasar saat ini sangat besar, kemudian peluang itu diperoleh karena kandungan CBD minyak (ganja) yang dihasilkan itu tidak dapat dihasilkan dari wilayah lain,” kata Prof Musri.
Menurut Prof Musri, hal ini menjadi satu peluang bagi Indonesia untuk memproduksi minyak dari tanaman ganja karena kandungan cannabidiol (CBD) ganja Indonesia terbaik di dunia.
Tapi pengembangan itu harus melibatkan masyarakat dan tidak boleh ada monopoli harga.
“Bila setiap penduduk memiliki kesempatan untuk menanam (ganja) dan ada regulasinya yang mengatur itu, saya sangat berkeyakinan wilayah Aceh dan penduduknya ini tidak perlu disubsidi oleh negara. Mereka dapat membiayai diri sendiri dan bisa menyumbang untuk daerah lain,” ujar dia.
Jika hal itu terjadi, Prof Musri menyakini Aceh akan terbebas dari belenggu kemiskinan.
“Kesejahteraan itu lahir berangkat dari kebersamaan. Kita selama ini melihat adanya praktik monopoli yang menyebabkan sebagian masyarakat terpinggirkan dan sebagai diuntungkan,” ujarnya.
Karena itu, ia berharap pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat dalam lima tahun saja untuk menanam sendiri tanaman ganja, tetapi tetap diikat dengan regulasi.
“Kalau kita gagal, berarti kita tidak mampu menangani potensi kita sendiri,” tandasnya.
Saat ini, lanjut dia, beberapa negara sudah melegalkan ganja yang kebanyakan untuk keperluan medis, di antaranya Kanada, Amerika Serikat, Thailand, dan menyusul Malaysia yang juga berencana akan melegalkan penanaman ganja.
“Dari batang ganja banyak serat, bisa untuk diproduksi kain dan kayunya bisa diproduksi kertas nomor satu di dunia. Makanya rayap tidak makan uang. Bahkan orang hisap ganja tidak ada panu di tubuhnya,” kata Prof Musri.
Menurut Prof Musri, sebenarnya daun ganja kalau dikonsumsi begitu saja tidak mabuk. Yang menimbulkan mabuk ketika daun ganja dipanaskan.
Sementara Ketua Lingkar Ganja Nusantara, Dhira Narayana dalam kesempatan itu mengatakan saat ini pihaknya sedang melakukan judicial review terhadap undang-undang yang mengatur tentang ganja. Ia berharap ganja bisa dilegalkan untuk kebutuhan medis.
“Bagaimana kita mengentaskan kemiskinan, kita harus melibatkan masyarakat untuk menanam itu. Kita butuh orang seperti Prof Musri sehingga kita tahu cara merawatnya. Tidak asal tanam. Bangsa kita sebenarnya punya potensi yang luar biasa tapi tidak pernah dibicarakan,” ungkap dia.
Pemerhati ganja, Jamaica mengatakan sangat menyakitkan ketika tanaman ganja bisa dimanfaatkan tapi tidak bisa digunakan.
Padahal ada beberapa kegunakaan ganja yang bisa dikembangkan.
“Jika kertas dibuat dari pohon pinus, kita harus menebang pinus. Kita harus menunggu 10 tahun untuk bisa memproduksi pohon pinus sebagai kertas. Sementara ganja bisa panen tiga bulan sekali. Tapi undang-undang tidak membolehkannya,” pungkasnya.
Ditolak Santri
Usulan Rafli dalam sidang DPR RI agar untuk mengkomersilkan ganja, mendapat penolakan dari Rabithah Thaliban Aceh (RTA).
“Kita menolak wacana ini karena salah satunya yaitu disebabkan karena kemudharatan yang akan muncul lebih banyak ketimbang manfaatnya. Memang ada manfaat seperti yang sering kita baca, tapi mudharat tetap lebih banyak,” ujar Zulkhairi Ketua I Rabithah Thaliban Aceh (RTA), dalam siaran pers.
Dosen UIN Ar-Raniry ini berpendapat, jika ganja dilegalkan, maka pengguna ganja akan semakin meningkat.
“Logiknya begini, jika saat dilarang saja banyak yang menghisap ganja, apalagi jika sudah dilegalkan? Nah, jika pengguna ganja meningkat, berarti jumlah orang teler akan meningkat pula. Jika orang teler meningkat, maka masalah yang dihadapi Aceh akan lebih besar ketimbang manfaat yang akan diterima,” ungkap Zulkhairi.
Jika karena alasan kemiskinan, Zulkhairi menyarankan kepada pemerintah dan masyarakat untuk memberdayakan lahan-lahan kosong dengan menanam pohon-pohon yang disebutkan dalam Alquran seperti kurma, zaitun, tin, dan sebagainya.“Bukankah pohon-pohon itu jelas sangat banyak manfaatnya untuk kesehatan dan bukankah harganya juga mahal,” pangkasnya.