Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

Unesco Sebut Dampak Learning Lost Akan Lama

Unesco Sebut Dampak Learning Lost Akan Lama
Learning lost (doc. facebook.com/lostinlearning)

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Organisasi pendidikan, keilmuan, dan kebudayaan Perseikatan Bangsa Bangsa (PBB), United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (Unesco) menyebutkan bahwa dampak learning lost akan bertahan lama. Hal itu disampaikan Asisten Direktur Jenderal Pendidikan Unesco, Stefania Giannini sebagaimana dilansir CBC News pada Senin (1/2).

Menurut Giannini, peralihan antara pembelajaran jarak jauh (PJJ) dan tatap muka di masa pandemi Covid-19, membuat siswa mengalami kekacauan pengalaman pendidikan. Ahli pendidikan dan pakar internasional, tambah Giannini, menyoroti sekolah yang terganggu karena pandemi. Mereka khawatir kehilangan pembelajaran atau learning lost dalam jangka panjang akan terus berlanjut.

Dikatakan Giannini, setahun setelah pandemi virus corona pertama diketahui, lebih dari 800 juta siswa terus mengalami gangguan besar dalam sekolah mereka. Sekolah tatap muka ditutup selama rata-rata 3,5 bulan sejak darurat global pandemi dimulai. Angka tersebut meningkat menjadi rata-rata 5,5 bulan ketika penutupan sekolah lokal diperhitungkan.

“Pergeseran global ke pembelajaran jarak jauh tidak melayani semua orang secara setara di dunia,” ujar Giannini.

Lebih lanjut Giannini menambahkan bahwa lebih dari 450 juta siswa di seluruh dunia tidak dapat mengakses pendidikan selama pandemi, termasuk banyak yang dikeluarkan dari pembelajaran daring karena kurangnya akses internet di rumah. UNESCO saat ini memperkirakan ada sekitar 24 juta anak dan remaja berisiko putus sekolah di seluruh dunia. Kanada tidak bisa mengabaikan permasalahan gangguan sekolah ini.

Temuan UNESCO tersebut tidak mengejutkan salah seorang guru di Toronto, Sam Tecle. Dia bekerja dengan Success Beyond Limits, sebuah organisasi dukungan pendidikan, pengayaan, dan pendampingan. Success Beyond Limits dibentuk pada tahun 2010 untuk membantu mengatasi tingkat putus sekolah menengah di lingkungan Jane dan Finch, Toronto.

“Jenis kesenjangan pembelajaran yang baru saja dirinci UNESCO dalam laporan baru mereka, kami telah melihat itu di komunitas seperti Jane dan Finch selama 10 tahun terakhir,” ungkap Tecle.

Tecle menyebut pandemi memperburuk perjuangan para siswa dalam mengeyam pendidikan. Perubahan mendadak dan perubahan struktural besar pada pendidikan yang dilakukan di tengah pandemi telah menghantam komunitas. Butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri.

Banyak keluarga yang terpinggirkan menghadapi berbagai tantangan. Misal, akses internet yang tidak memadai, orang tua yang tidak bekerja, dan kurangnya pengawasan orang tua kepada anak-anak. Pemerintah kata dia harus memperhatikan dan memperbaiki masalah ini.

“Ini selalu kembali menghantui kami ketika kami tidak berinvestasi dalam pendidikan dan masa depan anak muda kami yang merupakan masa depan kami,” sebut Tecle.

Dibutuhkan Investasi Pendidikan

Di luar pandemi, para guru biasanya sudah mencari siswa yang berjuang dengan kesulitan belajar. Mereka berupaya untuk menghilangkan kesenjangan itu. Kanada juga memiliki program sekolah musim panas yang dirancang untuk membantu siswa mengejar ketinggalan. Contohnya Provinsi Ontario yang mendanai program musim panas selama dua hingga tiga pekan.

Juru Bicara Menteri Pendidikan Ontario, Stephen Lecce mengatakan saat ini Ontario sedang mencari langkah untuk mendukung pemulihan pembelajaran dan mengerjakan rencana untuk mengatasi kehilangan belajar pada siswa.

Giannini menyebut peningkatan investasi dalam pendidikan menjadi hal pertama yang diprioritaskan. Selain investasi, pembukaan kembali sekolah disertai protokol kesehatan Covid-19 pun disoroti.

“Itu tentunya diikuti dengan memprioritaskan para guru sebagai ‘pekerja lini depan kelas’ dalam kampanye vaksinasi,” ucap Giannini.

Giannini menjelaskan tugas lain Unesco adalah menjembatani kesenjangan digital dan menata ulang sistem pendidikan secara adil. Hal ini agar sekolah menjadi lebih tangguh dan mudah beradaptasi di masa depan.

“Para pemimpin politik harus menyadari bahwa tidak berinvestasi dalam pendidikan saat ini adalah tentang mengkompromikan masa depan anak muda kita dan membahayakan pembangunan ekonomi. Ini tentang memprioritaskan pendidikan sebagai hak asasi manusia yang sesungguhnya,” pungkas Giannini. (*)