ACEHSIANA.COM– Para pegiat hak asasi manusia (HAM), liberalisme, dan kesetaraan akhir-akir ini gencar melakukan kajian bertemakan intoleransi di Indonesia. Hasil kajian dipublikasikan dalam bentuk beragam. LSM Setara Institute misalnya menyajikan dalam bentuk perankingan, dengan Jakarta sebagai kota yang intoleran pada urutan ke-1, Banda Aceh pada urutan ke-2, dan Sabang pada urutan ke-10.
Simpulan kajian tersebut dinarasikan bahwa intoleransi di Indonesia sudah pada stadium membahayakan. Paparannya meluas, tersangkut dengan ekstremisme, radikalisme dan terorisme. Kondisi ini diyakini akan membayakan keutuhan NKRI, sehingga negara harus turun tangan lebih cepat dan serius.
Terakhir, salah satu wujud turun tangan negara dalam mencermati masalah ini adalah keluarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri, yakni Mendikbud, Mendagri dan Menag. Inti SKB tersebut adalah peserta didik dan tenaga kependidikan diberikan hak kebebasan untuk menentukan seragam kekhususan atau tidak kekhususan agama tertentu.
Makna yang tersirat dari meluncurnya SKB ini adalah bahwa lembaga pendidikan ikut berperan mempekuat sikap intoleransi dengan beragam aturan yang dibuat selama ini. Sebaliknya, boleh jadi lembaga pendidikan harus menjadi garda terdepan dalam membangun sikap toleran sesama warga negara.
Walaupun SKB ini tak berlaku untuk Aceh, agaknya masalah ini menarik juga untuk ditelaah lebih jauh. Namun telaahan dibatasi dari sudut pandang pendidikan, sosio kultural kekinian, dan narasi kesejarahan.
Miskonsepsi
Salah satu persoalan dilematis dalam ilmu sosial adalah mendefinisikan suatu konsep sehingga memiliki makna tunggal, tidak bias dan tidak ambigu. Artinya banyak konsep dalam ilmu sosial bersifat disparitas dan debatable. Efek dari dilemmatika ini adalah tidak tepatnya merumuskan indikator yang mewakili konsep tersebut. Ketika indikator yang digunakan tidak tepat, maka instrumen untuk mengukur konsep tersebut juga tidak tepat. Data yang diperoleh tidak tepat, dan akhirnya simpulan yang diambil eror.
Kaitannya dengan makna intoleransi juga demikian adanya. Kalau makna intoleransi pada stadium survey yang menggunakan indikator instrumental-administratif atau pada tataran kebijakan, belum tentu hasilnya singkron dengan realita pada tataran praktik. Teori boleh saja disanjung-sanjung, tapi pada tataran praksisnya sering kali paradoks. Persoalan kontekstual tak selalu sejalan dengan narasi tertekstual.
Tatkala konsep intoleransi atau toleransi dibawa pada ranah sekolah sebagai lembaga pendidikan, tentu saja tak bisa disandingkan begitu saja dengan diksi rumusan akademis yang dibangun pada tataran teoretis. Ketika ada sekolah yang membuat aturan agar peserta didik melaksanakan syariat agama, baik sunnah maupun wajib di sekolah, apakah masuk kategori intoleransi. Jika ada aturan di sekolah yang mengharuskan peserta didiknya berpakaian sesuai syariat dikatakan aturan “menyemai” sikap intoleransi, atau melanggar HAM karena ada unsur “pemaksaan” di sana.
Bagi kaum muslim, contoh kasus di atas adalah bentuk implimentasi kewajiban orang tua dan atau orang dewasa terhadap anaknya. Anak-anak yang dilahirkan bagaikan kertas putih bersih. Kewajiban orang tua atau orang dewasa untuk mengisi kertas putih itu berisi dengan goresan apa kelak.
Konsekuensi dari tanggung ini adalah sejak kecil putra-putri Islam harus dibiasakan rajin beribadah. Sejak kecil pula putra-putri Islam harus dibiasakan berpenampilan sesuai dengan syariat. Dalam konteks ini sekolah sebagai salah satu pilar pendidikan – di samping orang tua dan masyarakat – harus terlibat menanamkan nilai-nilai agama dalam diri peserta didiknya sebagai bagian dari upaya meningkatan kualitas empiris islamisitas di kalagan generasi muda Islam.
Hal itu dilakukan dengan maksud agar anak tumbuh menjadi generasi Islam yang bertanggung jawab terhadap agama yang dianutnya. Bukan malah sebaliknya, yaitu menjadi generasi Islam yang bersikap eskapisme terhadap agamanya dan berpenampilan eksklusif.
Sejalan dengan narasi ini, maka sebaiknya negara tidak perlu terlalu intervensif, sebab bisa kontraproduktif terhadap persoalan yang ditangani. Bahkan bisa menjadi potensi konfliktual pada tataran aplikasi. Kalaupun harus turun tangan, maka konsep-konsep sosial teologis yang sensitif di dalam masyarakat perlu diformulasikan setegas mungkin sehingga tidak terjadi miskonsepsi. Ini dimaksudkan agar tidak terjadi multitafsir, yang akhirnya dapat menimbulkan konsekuensi politik, sosial dan hukum yang tak diinginkan.
Toleransi alami
Sejak Indonesia merdeka sampai dengan akhir tahun 1970-an, pengaturan kegiatan persekolahan yang berada di luar kurikulum tidak pernah dilakukan. Kalaupun ada yang dilakukan pemerintah, itupun sebatas aspek legalistik formalis saja. Misalnya masalah warna pakaian peserta didik untuk setiap jenjang pendidikan.
Kebijakan ini juga dimaksudkan sebagai bagian dari upaya menyikapi realitas keberagaman bangsa Indonesia. Bukan hanya keberagaman etnis, sosial budaya dan agama, tapi keragaman latar belakang ekonomi.
Kodisi masyarakat saat itu ternyata adem-adem saja. Istilah intoleransi dan toleransi memang mengemuka, tapi jarang dipertentangkan secara terbuka di ruang publik. Kalaupun kedua istilah tersebut muncul di dalam masyarakat, ternyata yang sering kita dengar adalah istilah toleransi, bukan intoleransi.
Bukti konkrit adalah kehidupan warga non muslim di Aceh dari masa ke masa, baik etnis China maupun etnis lain dari kalangan aparat negara. Khusus etnis China, mereka bisa diterima di seluruh pelosok Aceh sampai ke ibu kota kecamatan. Mereka hidup rukun dengan warga, terlibat aktif dalam kegiatan sosial dan olah raga secara bersama-sama.
Antara penduduk lokal dengan etnis China bisa bersama dalam kegiatan yang bersifat simbiosis mutualisme. Misalnya, saat masyarakat lokal berburu babi karena menjadi hama tanaman, maka pada saat itu etnis China ikut berperan membantu dengan keuntungan akan memperoleh daging babi hutan.
Interksi simbiosis mutualis ini juga dengan mudah ditemukan di kota-kota. Kawasan Peunanyong, Banda Aceh adalah bukti konkrit lain yang masih ada hingga saat ini. Tak pernah terdengar ada konflik antara masyarakat Aceh dengan etnis China. Tak ada gesekan dalam persoalan agama. Etnis China leluasa beraktivitas dan beribadah sesuai dengan agamanya.
Inilah bentuk toleransi alami yang sudah ada sejak masa Kesulthanan Aceh terhadap etnis China yang non muslim. Bahkan berdasarkan sejarah, kedatangan etnis China pada masa itu disambut hangat dengan tradisi “Peupayong” – asal kata Peunayong, dan mereka diberikan tempat tinggal secara layak. Mereka disambut dengan suka cita asalkan aktivitasnya tak masuk ke dalam wilayah merubah aqidah orang Aceh.
Jika Aceh bisa, mengapa daerah lain tak bisa? Pasti bisa, sehingga negara tak perlu direpotkan dengan masalah ini. Hanya saja bagaimana mengelola persoalan intoleransi ini menjadi toleransi dengan cara mempersandingkan. Tak malah dipertentangkan menjadi toleransi versus intoleransi.
Penulis: A. Wahab Abdi ,Dosen FKIP Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh