Leading News For Education For AGENTOTOPLAY Aceh
IndeksRedaksi
OPINI  

Tantangan Sampah Lhokseumawe, Perjalanan dari Hulu ke Hilir Perlu Dioptimalkan

Oleh : Faisal, ST.,M.Sc
Praktisi Lingkungan
Alumni Magister Teknologi Lingkungan dan Energi Terbarukan UGM Yogyakarta

Sebagai kota yang terus berkembang di pesisir Aceh, Lhokseumawe menghadapi tantangan yang kian nyata: pengelolaan sampah. Dengan produksi sampah harian yang diperkirakan mencapai sekitar 110 ton, pemandangan tumpukan sampah di beberapa sudut jalan atau lahan kosong masih menjadi masalah kasat mata. Kondisi ini menandakan bahwa sistem pengelolaan sampah dari hulu hingga hilir di kota ini belum berjalan optimal dan memerlukan perhatian serius dari semua pihak.

Kita dapat melihat tumpukan sampah di beberapa titik pinggir jalan mulai dari jembatan batas Kabupaten Aceh Utara dan Lhokseumawe desa Blang Naleung Mameh hingga jalan masuk Kota Lhokseumawe, hal ini sangat kurang baik dari pemandangan masyarakat yang melintas jalan Medan – B. Aceh khususnya yang merupakan jalan penghubung antar kabupaten kota, seolah kota ini kekurangan tong sampah sepanjang jalan tersebut sebagai tempat pembuangan sampah awal sebelum diangkut oleh tim lapangan DLHK menuju tempat pembuangan akhir.

Kondisi ini haruslah mendapat penanganan yang konkrit dan segera. Kita ketahui bahwa Kota Lhokseumawe telah memiliki landasan hukum melalui Qanun Kota Lhokseumawe Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pengelolaan Sampah. Namun, implementasi di lapangan menunjukkan perjalanan sampah dari sumber hingga pemrosesan akhir masih menghadapi banyak kendala.

Dukungan terhadap Walikota Lhokseumawe, DR. Sayuti Abubakar, yang menunjukkan komitmen kuat untuk menangani permasalahan sampah dengan target penyelesaian yang signifikan pada tahun 2025-2026, program unggulan Broeh Jeut Keu Peng (sampah menjadi uang) merupakan program 3R (Reduce, Recycle dan Reuse) yang bukan sekedar “cet langet”, tapi hal ini menjadi mungkin jika didukung segala lini dan memiliki program kerja yang sistemik.

Sistematis tersebut selaras pengembangan skema komprehensif dengan tenaga ahli baik melibatkan praktisi akademis juga praktisi lingkungan, inisiatif pengolahan sampah menjadi bahan bakar dengan sarana proses yang berbasis teknologi yang ramah lingkungan, program pembelian sampah warga dengan sebelumnya pemilahan sampah telah dilakukan di rumah-rumah masyarakat, penguatan kapasitas TPA dan infrastruktur, serta gerakan kebersihan dan edukasi masyarakat melalui kegiatan gotong royong di lingkungan dan komunitas. Namun hal tersebut dapat terprogram dan terlaksana dengan baik, jika perjalanan pengelolaan sampah dari hulu ke hilir berjalan optimal.

Problem di Hulu: Kesadaran dan Pemilahan yang Minim

Perjalanan sampah dimulai dari sumbernya: rumah tangga, pasar, perkantoran, dan pusat aktivitas lainnya. Di sinilah titik kritis pertama pengelolaan sampah terletak. Idealnya, sampah dipilah berdasarkan jenisnya (organik, anorganik, B3) sebelum diangkut. Namun, kesadaran dan praktik pemilahan sampah di tingkat sumber di Lhokseumawe secara umum masih rendah, hal ini seperti disampaikan diatas masih banyaknya tumpukan sampah di pinggir jalan bahkan bukan dalam tong sampah yang dengan sadar dilakukan oleh masyarakat, berharap armada DLHK mengangkutnya setiap hari.

Akibatnya, sampah tercampur menjadi satu tanpa dipilah. Hal ini tidak hanya menyulitkan proses pengolahan lebih lanjut di hilir, tetapi juga mengurangi potensi ekonomi dari sampah yang bisa didaur ulang atau diolah (kompos, bahan bakar alternatif). Minimnya pemilahan di sumber juga membuat program seperti Bank Sampah, meskipun ada, kurang efektif karena pasokan sampah terpilah yang terbatas.

Perilaku membuang sampah sembarangan di pinggir jalan seringkali menjadi jalan pintas bagi sebagian masyarakat yang belum terfasilitasi atau belum memiliki kesadaran akan pentingnya pengelolaan sampah yang benar.

Tantangan di Tengah: Pengumpulan dan Pengangkutan

Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Lhokseumawe sebagai ujung tombak di lapangan bertugas melakukan pengumpulan dari Tempat Penampungan Sementara (TPS) atau sumber-sumber besar dan mengangkutnya ke Tempat Pemrosesan Akhir (TPA). Meskipun armada pengangkut sampah beroperasi, cakupan layanan, frekuensi pengangkutan, dan ketersediaan TPS yang memadai di semua wilayah mungkin masih menjadi tantangan, keterbatasan TPS dan belum tertibnya peletakan kontainer di TPS menjadikan masyarakat enggan membuang sampai ke TPS tersebut.

Keterbatasan ini, berdampak dengan volume sampah yang terus meningkat, bisa menyebabkan penumpukan di TPS atau bahkan mendorong munculnya TPS liar di pinggir jalan, memperburuk estetika kota dan menimbulkan masalah lingkungan. Disini perlu disegerakan pengadaan dan peletakan tong-tong sampah di sepanjang jalan dengan tampilan yang baik dan tidak mengganggu pemandangan. Ini tidak menjadikan tanggung jawab Pemerintah kota semata, namun haruslah melibatkan stakeholder semisal industri atau proyek vital maupun lembaga perbankan untuk mengalokasikan tong-tong sampah yang estetik.

Ujung Hilir: TPA dan Pengolahan yang Terbatas

Seluruh sampah yang terkumpul akhirnya bermuara di TPA Alue Lim. TPA seringkali menjadi solusi akhir, namun tanpa pengelolaan yang baik (misalnya metode sanitary landfill atau pengolahan lanjutan), TPA dapat menjadi sumber pencemaran baru (bau, lindi, gas metana) dan menghadapi masalah kapasitas.

Saat ini, TPA Alue Liem masih menjadi tempat pembuangan akhir yang terbuka, sentral menumpuk sampah tanpa pengolahan lebih lanjut. Padahal diketahui jika dalam gedung di lingkungan TPA Alue Liem terdapat mesin-mesin pengolahan yang sepertinya belum digunakan dengan maksimal seperti pengolahan sampah menjadi pupuk.

Upaya pengolahan sampah di Lhokseumawe, seperti melalui Bank Sampah dengan program Broh Jeut Keu Peng (Sampah Jadi Uang) dan rencana pengolahan sampah menjadi bahan bakar, merupakan langkah positif. Namun, skala dan efektivitasnya sangat bergantung pada keberhasilan di tahap hulu (pemilahan) dan tengah (pengumpulan).

Tanpa pasokan sampah terpilah yang konsisten, potensi ekonomi sirkular sulit terwujud secara maksimal. Pengelolaan sampah yang belum optimal berdampak luas: pencemaran lingkungan (tanah, air, udara), risiko kesehatan (penyakit akibat vektor lalat/tikus), potensi banjir akibat drainase tersumbat sampah, dan hilangnya potensi ekonomi dari material daur ulang.

Namun, harapan untuk perbaikan tetap ada. Komitmen Pemerintah Kota Lhokseumawe baru-baru ini, termasuk pelibatan tenaga ahli untuk merancang skema komprehensif dan fokus pada target 2025-2026, menunjukkan keseriusan dalam mengatasi masalah ini. Program “Broh Jeut Keu Peng” dan inisiatif pembelian sampah dari warga adalah langkah konkret yang perlu didukung dan diperluas serta dapat terlaksana.

Kolaborasi Menuju Lhokseumawe Bersih

Menangani sampah dari hulu ke hilir memerlukan upaya kolaboratif dan berkelanjutan. Pemerintah Kota perlu memperkuat infrastruktur (armada, TPS, TPA yang dikelola baik), menegakkan regulasi (Qanun No. 9 Tahun 2015), dan terus menggalakkan edukasi. Namun, peran aktif masyarakat adalah kunci: memilah sampah dari rumah, tidak membuang sampah sembarangan, dan berpartisipasi dalam program pengelolaan sampah seperti Bank Sampah.

Perjalanan menuju Lhokseumawe yang bersih dan bebas dari sampah di pinggir jalan memang tidak mudah sebagaimana perjalanan dari jembatan batas Blang Naleung mameh hingga kota tanpa tumpukan sampah disepanjang jalan, tetapi dengan sinergi antara pemerintah, masyarakat, dan pihak terkait lainnya, tantangan ini dapat dijawab demi lingkungan yang lebih sehat dan kota yang lebih nyaman untuk ditinggali. (*)

Editor: Darmawan