ACEHSIANA.COM, Jakarta – Senator asal Aceh, M. Fadhil Rahmi, menyampaikan kritik keras terkait larangan penggunaan jilbab bagi Pasukan Pengibar Bendera Pusaka (Paskibraka) putri saat upacara Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-79 Republik Indonesia di Ibu Kota Nusantara (IKN).
Menurut Fadhil, tindakan tersebut tidak sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh Bangsa Indonesia, terutama bagi utusan dari Aceh yang menjalankan syariat Islam.
“Ini adalah bentuk pelanggaran hak asasi manusia. Terlebih lagi, hal ini menimpa Paskibraka asal Aceh yang menjalankan syariat Islam,” kata Fadhil dalam pernyataannya pada Rabu (14/8).
Fadhil menegaskan bahwa tindakan pelepasan jilbab yang dikenakan oleh anggota Paskibraka putri menjadi sorotan tajam di Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), khususnya di Komite Tiga yang membidangi agama dan kebudayaan.
Ia menekankan pentingnya mengusut tuntas kasus ini dan memberikan sanksi tegas kepada pihak yang mengusulkan larangan penggunaan jilbab tersebut.
Menurutnya, pemberian sanksi diperlukan agar kejadian serupa tidak terulang kembali di masa mendatang.
“Kejadian ini harus diusut dan pelaku yang mengusulkan pelepasan jilbab harus diberi sanksi tegas. Ini agar kejadian serupa tidak terjadi lagi,” ujar Fadhil.
Lebih lanjut, Fadhil bahkan menyarankan agar utusan Paskibraka dari Aceh sebaiknya pulang jika penggunaan jilbab tetap dilarang.
Baginya, syariat Islam dan kewajiban menggunakan jilbab adalah hal yang tidak bisa ditawar, khususnya bagi masyarakat Aceh yang hidup di bawah hukum Islam.
“Pesan saya, pulang saja kalau diminta lepas jilbab,” tegas Fadhil.
Kasus ini bermula ketika sejumlah anggota Paskibraka putri diminta untuk melepaskan jilbab mereka saat mengikuti perayaan HUT ke-79 RI tahun ini di IKN.
Sebanyak 18 Paskibraka putri, termasuk delegasi dari Aceh, semula mengenakan jilbab dalam persiapan mereka. Namun, pada saat sesi foto dengan Presiden Joko Widodo, mereka diminta untuk melepas jilbab.
Dua Paskibraka yang mewakili Aceh dalam upacara ini adalah Muhammad Yusran Ar-Razzaq dan Dzawata Maghfura Zuhri.
Kasus ini telah menimbulkan polemik di kalangan masyarakat dan berbagai pihak yang menilai bahwa tindakan tersebut tidak menghormati hak beragama dan nilai-nilai toleransi yang seharusnya dijunjung tinggi di Indonesia. (*)
Editor: Darmawan