ACEHSIANA.COM, Lhokseumawe-“Selamat hari guru nasional”…ucapan dan perayaan yang telah menggema beberapa hari yang lalu. Ya, hari guru untuk guru Indonesia. Perhelaan hari guru tahun ini dibarengi dengan hadirnya sosok milenial Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan, walau tidak berlatar belakang seorang pendidik (guru), tapi di tangan Nadiem berjuta harapan agar wajah baru pengelolaan pendidikan Indonesia lebih baik, baik dari system maupun pengelolaan tenaga pengajarnya.
Tapi ini bukan tentang Nadiem, seorang menteri muda yang “mendunia” karena Gojeknya, tetapi tentang semangat seorang guru honorer yang telah mengabdi selama 12 tahun sebagai guru, tepatnya di salah satu SD Negeri Kota Lhokseumawe. Ratih rahayu, S.Pd, lulusan PGMI STAIN Lhokseumawe (sekarang IAIN Lhokseumawe) yang juga seorang single parent bagi kedua anak yatimnya, merupakan sosok guru enerjik dan guru segudang prestasi.
Walau hanya seorang guru honorer, kiprahnya telah menasional. Guru yang juga aktif membimbing anak didik dalam organisasi seperti pramuka dan organisasi sosial lainnya juga dikenal sebagai purna paskibraka yang telah unjuk kemampuan baik tingkat kota Lhokseumawe, Provinsi Aceh bahkan tingkat Nasional.
Ratih adalah gambaran dari banyak guru honorer yang walaupun prestasinya segudang, tapi masihlah tetap guru honorer bukan PNS, yang tetap menerima upah 300 ribu perbulan dan dibayarkan setiap 3 bulan sekali, bahkan tidak lebih besar dari pekerja penyapu jalan yang ada di kotanya. Ratih tetaplah manusia, 12 tahun pengabdiannya sebagai guru yang terlihat selalu tersenyum dan ceria tiba pada titik nadir kesanggupannya.
Tanggung jawab membesarkan kedua anaknya yang masih kecil tidak cukup dengan upah yang diterimanya, jauh bahkan dari UMR ataupun UMP provinsi Aceh. Pengabdiannya sebagai guru telah usai sebulan yang lalu sebelum perayaan hari guru yang ke 74 Nopember ini. Penutup ceritanya sebagai guru berasa sangat tidak mengenakkan, namun siapa yang peduli.
Ratih adalah satu dari banyak cerita pengabdian guru honorer yang prestasinya kadang tidak perlu dihargai dengan penghargaan dan kesejahteraan yang layak. Mengingatkan kita pada lirik lagu Iwan Fals, guru Oemar Bakri di era tahun 80-an, “…tapi mengapa gaji guru oemar bakri, seperti dikebiri..”. Masa boleh berlalu, era pun boleh berganti, namun tidak pada kesejahteraan guru honorer. Mereka tetap merasa “dikebiri”.
Saat ini Ratih telah berada di Malaysia, hijrah dari keterpurukan nasib seorang guru honorer. Kondisi ekonomi dan tanggung jawab penghidupan yang lebih baik untuk anak-anaknya menjadikan Malaysia tempat mengadu nasib, hengkang dari pengabdian sebagai guru SD yang telah dijalaninya selama 12 tahun.
Ratih sang patriot, tidak terlihat lagi dilapangan upacara bendera sebagai salah seorang penderek bendera merah putih di hari guru tahun ini. Namun semangat merah putihnya tidak pernah pudar, mengutip kata-kata Ratih di akun Facebook nya dihari guru, “merah putih ku masih didada, walau terkadang aku berada seperti anak tiri dinegeriku dengan penghargaan yang tidak ternilai, diabaikan begitu saja hingga 12 tahun lamanya aku bertahan menjadi guru honorer tapi aku membuang waktu untuk mengabdi pada Negara tapi negara tidak bisa menjamin kehidupan para guru yang telah berjasa.”
Semoga hadirnya Nadiem sebagai Menteri Pendidikan yang baru, dapat memberikan suatu pencerahan dan perhatian yang lebih konkrit terhadap peran dan kesejahteraan guru honorer seluruh Indonesia. Serta dapat mengembalikan Ratih sosok guru honorer ramah dan berprestasi untuk menjadi guru yang pantas dihargai. Karena di tangan guru honorer juga banyak lahir professor, Doktor, Insinyur dan sarjana-sarjana lainnya.