ACEHSIANA.COM, Banda Aceh – Empat orang pemuda Kluet Kabupaten Aceh Selatan melakukan kunjungan sejarah ke kuburan Kapten J Paris, komandan serdadu Belanda yang tewas di tangan pejuang dari Kluet, Panglimo Rajo Lelo, pada tahun 1926. Mereka ingin melihat langsung kuburan Kapten Paris sebagai bukti otentik sejarah perlawanan masyarakat Kluet terhadap penjajahan Belanda.
Kunjungan tersebut dilakukan pada Jum’at (16/2/2024) ke Kerkhof Belanda yang berlokasi di belakang Museum Tsunami Aceh. Empat pemuda Kluet tersebut adalah Dr Muhammad Yasar (Dosen USK), Herman RN MPd (Sekretaris Prodi Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP USK), Baihaki (Wakil Ketua Pecinta Bahasa dan Budaya Kluet) dan Khairil Huda (Pemerhati Sejarah Kluet).
Dr Muhammad Yasar mengatakan, mereka ingin menggali sejarah perlawanan masyarakat Kluet yang jarang diketahui oleh generasi muda saat ini. Ia mengatakan, dari ribuan serdadu Belanda yang dikuburkan di Kerkhof Belanda, salah satunya adalah Kapten J Paris yang tewas di tangan Panglimo Rajo Lelo, seorang pejuang dari Kluet.
“Kapten J Paris adalah perwira Belanda yang fasih berbahasa Aceh dan dianggap sakti dan kebal peluru. Namun, ia harus tumbang di tangan Panglimo Rajo Lelo, yang juga memiliki ilmu kebal, dalam pertempuran jarak dekat yang dinamakan Perang Kelulum di Gampong Sapik, Kecamatan Kluet Timur, pada tahun 1926,” ungkap Yasar.
Yasar menambahkan, kuburan Kapten J Paris di Kerkhof Belanda merupakan kuburan kedua bagi komandan Belanda tersebut. Sebelumnya, jenazah Kapten Paris dibawa ke Kutaraja (Banda Aceh) lalu ke Sabang dan dengan kapal Samudra dibawa pulang ke Inggris. Di sana, ia dimakamkan di Kota Hastings atas permintaan istrinya. Namun, pada tahun 1961, kuburan Kapten Paris di Inggris dibongkar dan tulang-belulangnya dikirim kembali ke Aceh dan dikuburkan di Kerkhof Belanda.
Herman RN MPd menyampaikan, perlu ada upaya untuk menuliskan sejarah perlawanan masyarakat Kluet dalam bentuk buku yang memiliki ISBN. Ia mengkritik adanya pembodohan sejarah yang menyebutkan bahwa Kapten J Paris dibunuh oleh Teuku Raja Angkasah, bukan Panglimo Rajo Lelo.
“Teuku Raja Angkasah adalah pejuang dan pahlawan dari Aceh Selatan yang juga berjuang melawan Belanda, tetapi ia tidak terlibat dalam Perang Kelulum. Ia meninggal dunia pada tahun 1930 di Gampong Krueng Kluet, Kecamatan Kluet Utara. Jadi, jangan sampai ada kesalahan sejarah yang merugikan nama baik Panglimo Rajo Lelo,” ujarnya.
Herman juga mendesak pemerintah untuk memberikan gelar pahlawan nasional kepada Panglimo Rajo Lelo, Teuku Cut Ali, dan Teuku Raja Angkasah, sebagai penghargaan atas jasa-jasa mereka dalam mempertahankan tanah air dari penjajah.
Baihaki, yang merupakan Wakil Ketua Pecinta Bahasa dan Budaya Kluet, menuturkan, generasi muda saat ini lupa akan sejarah daerahnya sendiri. Ia mengajak para pemuda Kluet untuk mencintai sejarah negerinya dan mengenal para pahlawan yang telah berkorban demi kemerdekaan.
“Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai sejarahnya. Kita harus bangga dengan sejarah perlawanan masyarakat Kluet yang telah melawan Belanda dengan gigih dan berani. Kita harus mengenang dan menghormati para pahlawan yang telah gugur di medan laga,” ucap Baihaki.
Baihaki juga meminta dukungan dari Pemerintah Kabupaten Aceh Selatan untuk menggali sejarah daerah dan memberikan peluang bagi pemuda khususnya yang berasal dari Kluet untuk menuliskan sejarah tersebut. Ia berharap, ada bantuan dana dan fasilitas untuk mewujudkan hal tersebut.
Khairil Huda, yang merupakan Pemerhati Sejarah Kluet, menjelaskan, Panglimo Rajo Lelo nama aslinya Ibnu Wantaser adalah pejuang dari Kluet, yaitu berasal dari Gampong Sapik Kecamatan Kluet Timur yang dulunya Kluet Selatan. Ia adalah keturunan dari Wannamid bin Wan Andun dan Sanniati binti Barlam. Ia diangkat menjadi Panglima oleh Raja Kluet Kejeurun Mukmin pada tahun 1913.
“Rabu, 3 April 1926 M atau 20 Ramadhan 1346 H, terjadi peperangan yang dinamakan Perang Kelulum di Gampong Sapik dipimpin oleh Panglimo Rajo Lelo. Dalam perang tersebut, Panglimo Rajo Lelo berhasil membunuh Kapten J Paris dengan cara menarik alat kelaminnya hingga putus. Aksi heroik Panglimo Rajo Lelo ini membuat Belanda geram dan mengirim pasukan besar untuk memburunya,” sebut Khairil.
Khairil mengatakan, Panglimo Rajo Lelo tidak pernah tertangkap oleh Belanda. Ia meninggal dunia pada tahun 1932 di Gampong Sapik dan dimakamkan di sana. Makamnya masih ada hingga sekarang dan menjadi tempat ziarah bagi masyarakat Kluet.
“Kita harus menghormati dan mengenang Panglimo Rajo Lelo sebagai salah satu pahlawan dari Kluet yang telah berjuang melawan penjajah. Kita harus menjaga warisan sejarahnya agar tidak hilang dan terlupakan,” tutup Khairil. (*)