Leading News For Education For Aceh
IndeksRedaksi

Pandemi Covid-19, Guru Diminta Tidak Pukul Rata Cara Mengajar

Kemdikbud Minta Guru Tidak Langsung Mengajar Saat Pembelajaran Tatap Muka Dimulai
Dirjen GTK Kemdikbud, Iwan Syahril PhD (doc. kemdikbud.go.id)

ACEHSIANA.COM, Jakarta – Saat pandemi Coronavirus disease 2019 (Covid-19), guru diminta untuk tidak memukul rata cara mengajar semua siswa. Permintaan tersebut disampaikan Direktur Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan (GTK) Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud), Iwan Syahril PhD via konferensi video pada Selasa (15/9) di Jakarta.

“Harus ada yang namanya [mengajar secara] student centered, yang personalisasi, seperti itulah kira-kira. Walaupun dalam konteks yang mungkin berbeda, tapi orientasi cara berpikir betul-betul kita ditempa pada masa Covid. Jadi enggak bisa lagi one size fits all,” ujar Iwan.

Selain siswa memiliki kemampuan yang bervariasi, Iwan mengatakan dalam kondisi pandemi situasi dan keterbatasan siswa juga bermacam-macam. Hal ini berdampak pada kemampuan siswa mengakses kegiatan pendidikan.

“Sekarang dengan muridnya ada yang macam-macam kondisi keluarganya di rumah kan. Ada yang dengan gadget, ada yang nggak ada. Ada gadget enggak ada kuota. Atau gadget-nya dipakai ramai-ramai,” tambah Iwan.

iwan mengimbau agar guru berorientasi pada situasi dan kemampuan masing-masing siswa selama pembelajaran. Mengajar di tengah pandemi, kata Iwan, harus berbeda dengan cara guru umumnya yang hanya menggunakan satu metode untuk semua siswa.

Dikatakan Iwan bahwa guru juga perlu membawa pendidikan yang holistik, relevan dan bisa diwujudkan pada masa pandemi. Ia mengatakan guru harus mau belajar menggunakan teknologi terbaru untuk membantu proses mengajar.

Iwan menilai upaya ini bisa menjadi lompatan untuk meningkatkan kualitas guru dan pendidikan di Indonesia. Ia mengingatkan bahwa kualitas guru sesungguhnya berperan besar dalam capaian pendidikan siswa.

Menurut riset dan teori yang ia telusuri, dampak kualitas guru dan capaian pendidikan siswa dapat dinilai dalam kurun waktu tiga tahun. Jika sebuah kelas diajar guru dengan kualitas baik, capaian pendidikannya bisa meningkat dalam tiga tahun tersebut. Sebaliknya berlaku untuk kelas yang diajar guru dengan kualitas dibawah rata-rata.

“Selama tiga tahun dalam penelitian ini, itu bisa membawa perbedaan hasil belajar murid yang cukup signifikan. Yang satu bisa terus meningkat, yang satu akan drop. Jaraknya bisa sampai 53 percentile points,” pungkas Iwan.

Sebelumnya Mendikbud Nadiem Makarim menyampaikan wacananya mengubah kurikulum pada 2021. Harapannya, kurikulum baru bisa mendorong guru mengidentifikasi siswa dan mengajar sesuai kemampuan mereka.

Namun langkah Nadiem memperbaiki kurikulum sebelum memperbaiki kualitas guru dinilai kurang tepat. Pengamat pendidikan berpendapat kurikulum baru kerap tak sampai target, karena guru tak mampu menerjemahkan cara belajar yang dimaksud kurikulum.

Pendapat ini disetujui Ketua Tim Perumus dan Pengembang Kurikulum 2013 Said Hamid Hasan yang menilai pembelajaran di sekolah tak sesuai harapan kurikulum susunannya, karena guru gagal paham mempraktekkan Kurikulum 2013.

“Itu [evaluasi] langkah paling baik. Kita lihat kelemahannya pada implementasi. Saya pergi ke sekolah SD di Subang, itu masih dekat Jakarta. Ada SD negeri yang gurunya cuma satu. Belum lagi di daerah lain. Itu kan jadi persoalan,” ujar Nadiem, Selasa (8/9). (*)

Aritkel ini sudah tayang di cnnindonesia.com dengan judul “Dikbud Minta Guru Tak Pukul Rata Cara Mengajar Kala Pandemi“.